Pembagunan Ekonomi dalam Persektif Islam


                                       Assalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
                                           HIMPUNAN MAHASISWA EKONOMI ISLAM (HIMAEKIS)
                                                              FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
                                                               UNIVERSITAS TANJUNGPURA

Hai Sahabat Ekonom Rabbani!!
Kembali lagi dalam MIMBAR EKIS,selanjutnya kita akan membahas mengenai hakikat:
"Pembagunan Ekonomi  dalam Persektif Islam"
A. Pengertian dan Aspek Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi (economic development) dan ekonomi pembangunan (development economics) sering kali dipakai saling bergantian dengan pengertian yang sama, padahal, dua istilah ini memiliki arti dan orientasi yang berbeda. “Economic development is the development of economic wealth of countries or regions for the well-being of their inhabitants. The study of economic development is known as development economics” (Pembangunan ekonomi adalah pembangunan kemakmuran ekonomi negara atau daerah guna kesejahteraan penduduknya. Studi tentang pembangunan ekonomi dikenal sebagai ekonomi pembangunan).
Pembangunan ekonomi merupakan istilah yang digunakan secara bergantian dengan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan ekonomi, dan kemajuan ekonomi. Schumpeter mengungkapkan perbedaan yang lebih lazim antara pertumbuhan ekonomi dan perkembangan ekonomi, pertumbuhan ekonomi mengacu kepada negara maju sedangkan perkembangan ekonomi mengacu pada negara berkembang. (Ihingan, 2013)

 Perkembangan ekonomi, mempunyai arti dan tujuan yang sama dengan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan ekonomi, dan kemajuan ekonomi. Kelika hal tersebut sudah terwujud secara nyata dan berlangsung secara terus-menerus, maka hal im dikatakan scbagai pembangunan ekonomi yang bersifat jangka panjang. Pembangunan ekonomi diartikan sebagai proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk bisa meningkat. Di sini, terdapat tiga elemen penting yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi secara umum. (Okun dan Richardson, 1961

B. Paradigma Pembangunan Ekonomi dalam Perspektif Islam


          Paradigma sebagai ruang lingkup berpikir dan aktivitas menjadi variabel yang cukup signifikan dalam membedakan paradigma pembangunan ekonomi konvensional dan paradigma pembangunan ekonomi Islam. Kemudian variabel inilah yang menunjukkan perbedaan antara keduanya, karena perbedaan cara pandang ini kemudian memunculkan kesimpulan yang berbeda tentang paradigma pembangunan ekonomi. Paradigma pembangunan ekonomi konvensional memiliki pengukuran yang sudah biasa dilakukan, seperti growth bagaimana Islam memandang hal tersebut dan bagaimana solusi yang tepat dalam mengatasinya, serta kebijakan apa yang perlu dilakukan oleh negara di saat pertumbuhan semakin tinggi namun kesenjangan juga tinggi. Konsep Islam tentang pembangunan ekonomi lebih luas dari konsep pembangunan ekonomi konvensional walaupun dasar pcmbangunan ekonomi Islam adalah multidimensional.Z (Mannan, 1997). Pembangunan ekonomi Islam bukan hanya pembangunan materiel, tetapi segi spiritual dan moral sangat berperan, pembangunan moral dan spiritual harus terintegrasi dengan pembangunan ekonomi.
Qurthubi (1995) mengatakan bahwa, sebagian ulama mengartikan kata “nafs” sebagai Nabi Adam, namun sebagian yang lain mengartikannya secara umum, yaitu jiwa manusia. Menurut Asyur (1984) kata “nafs” dalam ayat berbentuk nakimh (tanpa alif lam takrif), ini menunjukkan nama jenis, sehingga mencakup jiwa seluruh manusia. Kata mengandung penjelasan bahwa Allah SWT menciptakan diri setiap manusia dalam kondisi yang sama, tidak berbeda antarsatu dengan lainnya. Sebab kesempurnaan bentuk manusi. tercapai setelah proses pembentukan janin sempurna. yaitu pada awal masa kanak kanak. Karena  merupakan pembentukan fisik manusia, penyiapan kemampuan motorik, dan lntelektual. Seiring Penumbuhannya. potensi dalam diri manusia meningkat sehingga la siap menerima ilham dari Allah SWT. Kata ilham sebagaimana pengertian dalam ayat tidak dikenal di kalangan orang Arab sebelum Islam sehingga penjelasan untuk kata ilham tidak bisa dicari dalam syair syair Arab Kuno. Tidak diketahui kapan pertama kali kata ini muncul, namun diyakini Al-Qur’an yang pcrtama kali menggunakan kata ini, sebab ia adalah kata yang mengandung makna kejiwaan.
Asyur (1984) kata ilham diambil dari kata alham yang berarti tegakan dalam sekali gerak. Pengertian seperti di alas, Abbas menafsirkan kata bahwa Allah SWT mengajarkan manusia tentang jalan fasik dan jalan takwa. Tidak jauh berbeda. Mujahid juga menafsirkan kata  sebagai bahwa Allah memperkenalkan jalan taat dan jalan maksiat bagi manusia. Diriwayatkan dari Muhammad ibn Ka‘ab. ia berkata:
"Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba. maka diilhamkan kebanyakan baginya sehingga ia berbuat baik. Sebaliknya, jika Allah menghcndaki keburukan terhadap seseomng. maka diilhamkanlah keburukan dalam jiwanya sehingga ia berbuat jahat.” (HR. Muslim)
1.Pandangan Islam Terhadap Kemiskinan
a. Aspek Dasar Kemiskinan dalam Islam
Al-Ghazali (1980) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidak~ mampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Ketidakmampuan untuk memenuhi apa yang tidak dibutuhkan bukanlah kemiskinan. Jika barang yang dibutuhkan tersedia dan terjangkau oleh seseorang, maka dia tidak akan diperlakukan sebagai orang miskin. Al-Ghazali membagi kemiskinan menjadi dua bagian: l) kemiskinan dalam kaitannya dengan kebutuhan materiel dan 2) kemiskinan dalam kaitannya dengan kebutuhan rohani. Argumen serupa juga dibuat oleh Ahmed (2004). Dia mengatakan kemiskinan bukan hanya merupakan perampasan barang dan jasa, tetapi juga kurangnya kemiskinan dalam roh. Bahkan Rehman (1980) berpendapat bahwa umat Islam dapat meningkatkan kehidupan rohani mereka dengan meningkatkan kehidupan materiel mereka. Selanjutnya, Chapra (2001) berpendapat bahwa Islam, menjadi agama keseimbangan, telah memberikan penekanan yang sama pada kedua spiritual dan urusan duniawi.
Islam memandang kemiskjnan merupakan satu hal yang mampu membahayakan akhlak, kelogisan berpikir, keluarga, dan juga masyarakat. Islam pun menganggapnya sebagai musibah dan bencana yang seharusnya memohon perlindungan kepada Allah atas kejahatan yang tersembunyi di dalamnya. Jika kemiskinan ini makin merajalela, maka ini akan menjadi kemiskinan yang mampu membuatnya lupa akan Allah dan juga rasa sosialnya kepada sesama. Ini bagaikan seorang kaya yang apabila terlalu menjadi seperti raja, maka kekayaannya menjadikannya seperti seseorang yang zalim, baik kepada Allah maupun kepada manusia lainnya, ada beberapa bentuk kezaliman seperti zalim kepada Allah, zalim kepada manusia, dan zalim kepada dirinya sendiri. (Qardhawi, 2005)
Banyak sahabat Rasulullah SAW yang meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah SAW sendiri pernah memohon perlindungan Allah SWT dari kemiskinan. Apabila memang kemiskinan tidak berbahaya, maka tentunya Rasulullah tidak perlu meminta permohonan perlindungan kepada Allah dari kemiskinan. Sebagaimana yang diterangkan dalam Hadis berikut, yang berarti:
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung pada-Mu dari fitnah api neraka, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kekayaan dan juga berlindung pada-Mu atas fitnah kemiskinan.” (HR. Abu Daud, Nasa’l, dan Ibnu Majjah)
Tampak dari Hadis tersebut sesungguhnya Rasulullah SAW berlindung kepada Allah SWT dari semua hal yang melemahkan baik secara materi maupun secara maknawi, baik kelemahan itu karena tidak mempunyai uang (kemiskinan), atau tidak mempunyai harga diri dan juga karena hawa nafsu (kehinaan).
Menurut Manawy (2003) antara kekafiran dan kekufuran mempunyai keterkaitan yang sangat kuat, karena kekufuran merupakan satu langkah menuju kekafiran. Seorang yang fakir miskin. pada umumnya akan menyimpan kedengkian kepada orang yang mampu dan kaya. Adapun iri dengki mampu melenyapkan kebaikan. Mereka pun mulai menumbuhkan kehinaan di dalam hati mereka, di saat mereka mulai melancarkan segala daya upanyanya demi mencapai tujuan kedengkian mereka tersebut. Kesemuanya ini mampu meniadai agamanya dan juga menimbulkan adanya ketidakridhaan atas takdir yang telah ditetapkan yang akhirnya tanpa sadar akan membuatnya mencela rezeki yang telah datang padanya. Walaupun ini semua belum termasuk ke dalam kekaiiran, namun sudah merupakan langkah untuk mencapai kekaflran itu sendiri.
Qardhawi (1996) menyatakan beberapa pendirian terhadap masalah kemiskinan. Pertama, pendirian yang menyucikan kemiskinan. Bagi golongan ini kemiskinan bukan masalah yang harus dipecahkan, tetapi harus dibiarkan, karena dengan demikian manusia bisa berkonsentrasi berhubungan dengan Tuhannya, tidak diganggu dengan urusan duniawi. Kedua, pendirian para fatalis yang menganggap bahwa kemiskinan itu merupakan takdir Allah dan manusia harus sabar dengan ujian itu. Ketiga, pendirian ketiga sama dengan fatalis, namun mereka maju selangkah, yaitu secara perorangan mereka harus membantu orang-orang miskin. Mazhab ini dikenal sebagai “kebajikan pribadi.” Keempat, kaum kapitalis memandang kemiskinan menimbulkan problem yang harus diselesaikan dengan orang miskin sendiri, sedangkan orang kaya bebas dalam menggunakan hartanya. Kelima, kaum Marxis yang menyatakan bahwa kemiskinan itu bisa diatasi kalau kaum borjuis dan kekayaannya tidak dimusnahkan, tetapi ditata kelas-kelas baru.
Menurut al-Maududi (1980), untuk mengatasi kemiskinan, maka yang akan digunakan dan diterapkan yaitu sistem ekonomi Islam dengan karakteristik, sebagai berikut: (1) Berusaha dan bekerja; (2) Larangan Menumpuk Harta; (3) Zakat; (4) Hukum Waris; (5) Gianimah; (6) Hemat. Dari model yang dikemukakan Abul A’la al-Maududi, tentu yang masih relevan untuk diterapkan tentunya lima poin dari enam poin di atas, kerena saat ini konsep ganimah sudah tidak ada lagi.
b. Keseimbangan Ekonomi dalam Masyarakat Luas
Islam telah mewajibkan sirkulasi kekayaan terjadi pada semua anggota masyarakat dan sangat mencegah sirkulasi kekayaan hanya sebatas orang tertentu saja (Taqiyuddin, 1999) sebagaimana firman Allah  dalam QS. al-Hasyr [59]: 7
”Apa saja harta rampasan (fai-1)yangdiberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orangorang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, makatinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya.”
Menurut kebanyakan mufasir, ayat tersebut merupakan bayc‘m (penjelasan) terhadap ayat sebelumnya. Dalam ayat sebelumnya dijelaskan tentang hakikat harta al-fay’ (QS. al-Hasyr [59]: 6). Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa al-fay’ adalah semua harta yang diambil dari kaum kafur tanpa melalui jalan peperangan, tanpa mengrahkan pasukan unta dan kuda, seperti halnya harta bani Nadhir, yang kemudian semua harta yang mereka tinggalkan itu disebut al-fay. Ketentuan itu tidak hanya berlaku pada harta bani Nadhir, namun juga semua negeri yang ditaklukkan dengan cara yang sama, yakni tanpa mengerahkan kuda maupun unta. lika dalam ayat 6 disebutkan dari mereka, yakni dari kaum Yahudi itu, maka dalam ayat 7 digunakan kata yang lebih bersifat umum dengan sebutan  dari penduduk kota-kota ta
Artinya, semua negeri yang ditaklukkan tanpa melalui peperangan. Harta fay’ tersebut diberikan secara khusus kepada Rasulullah SAW. Mengenai alokasi harta fay’ yang dijelaskan ayat ini, sebagai berikut:
a. Li Alldh (untuk Allah). Dialah yang berhak menetapkan alokasi harta rampasan itu sebagaimana yang dikehendakinya. Allah SWT telah memberikan harta tersebut kepada Rasulullah SAW; otoritas pembagiannya pun diserahkan kepada beliau. Sekalipun ungkapan seolah tampak memberikan makna ada nya dua bagian, sesungguhnya itu untuk menunjukkan satu bagian. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa setelah beliau wafat, bagian tersebut digunakan untuk kemaslahatan kaum Muslim.
b. Dzi al-qurbd (kaum kerabat Rasul). Kerabat Rasulullah SAW yang dimaksudkan yaitu bani Hasyim dan bani Muthallib. Dua kerabat Rasulullah SAW. ini, baik kaya maupun miskin, berhak mendapat bagian harta rampasan. Menurut para mufasir, hal itu karena mereka tidak dibolehkan menerima harta sedekah.
c. Al-yatdmd (anak-anak yatim). Anak yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh ayahnya. Status yatim itu terus berlangsung hingga mereka baligh.
d. Al-masdkina (orang-orang miskin). Yang dimaksud yaitu orang yang tidak mempunyai apa-apa, tidak memilikj rumah, sedikit pakaian atau makanan. Mereka bahkan ditimpa kelaparan. Kata miskin dalam ayat ini juga mencakup kaum fakir. Menurut al-Biqai dua kelompok ini, yakni fakir dan miskin, jika hanya disebutkan salah satunya, maka itu mencakup kedua-duanya. Kedua kelomopok itu baru dibedakan jika disebutkan bersama-sama.
e. Ibn al-sabil. Yang dimaksud yaitu orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan menuju ke tempat tinggalnya sehingga dia membutuhkan harta yang dapat mengantarkannya sampai ke tujuannya. Ath-‘Ihabari memberikan catatan, petjalanan yang dilakukan itu bukan dalam rangka maksiat kepada Allah SWT.
Allah SWT menjelaskan ‘illah (sebab disyariahkan) inti hukum yang terkandung dalam , Al-Hasyr ayat 59  tersebut adalah supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu saja. Karena huruf kay termasuk harf al-‘illah (huruf yang menunjukkan makna penyebab ditetapkannya suatu hukum), maka kalimat berikutnya merupakan ‘illah atas ketentuan hukumnya.
Kandungan ayat ini menjadi bukti konkret totalitas Islam dalam mengatur seluruh aspek kehidupan khususnya dalam distribusi kekayaan. Kekayaan yang diciptakan Allah SWT dan dianugerahkan kepada manusia itu tidak boleh hanya dinikmati segelintir orang saja, pemerataan dalam distribusi kekayaan menjadi sebuah keharusan di dalam Islam, agar tidak menimbulkan kesenjangan yang tinggi. Apabila masyarakat mengalami kesenjangan yang tinggi, lalu ingin dibangun kembali masyarakat, maka negara wajib mewujudkan konsep keseimbangan dalam masyarakat khususnya dalam pendistribusian kekayaan. Islam tidak menghendaki kekayaan hanya mengalir pada kalangan kaya saja, akan tetapi harus juga mengalir pada kalangan yang mempunyai keterbatasan ekonomi. Ini merupakan tujuan utama kebajukan ekonomi dalam Islam. Tujuan ini tidak hanya diambil dari ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunnah yang berkaitan dengan perilaku konsumtif seperti larangan bermewah-mewahan, “tetapi juga diambil dari dua prinsip utama Islam, yaitu prinsip kesamaan harga diri dan persaudaraan, dan prinsip tidak dikehendakinya pemusatan dan penghasilan (pada sejumlah kecil orang tertentu),(Khaf, 1995).

C. Ekonomi Pembangunan Dalam Persepektif Sejarah Islam
1        1. Pembagunan Masa Rasullah
Di masa sebelum kenabian, Mekkah merupakan sebuah titik perhentian dalam perdagangan antara jalur utara (Syria) dan jalur selatan (Yaman). Keberadaannya di tengah-tengah gurun pasir bertindak menjadi sebuah oasis bagi para pedagang yang menempuh jalur menuju kc dua arah ini. Selain membawa keuntungan ekonomi, Mekkah menjadi tempat terjadinya kontak budaya dari berbagai suku. Untuk mempertahankan sistem ekonomi dalam potensi konflik yang mungkin terjadi antar suku. berhagai berhala dibangun untuk mewakili semua suku. Pembangunan begitu banyak berhala ini bukan memberikan keuntungan budaya. namun juga berkaitan dengan Para pedagang dapat membayar sejumlah uang bagi pengelola Ka‘bah untuk dapat menyembah berhalanyn yang disimpan di dalam Ka’bah (Emcrick, 2002). Hal ini memicu perkembangan ekonomi Mekkah Yang selain menjadi pusat persinggahan, juga menjadi pusat ziarah, Sebagai pusat persinggahan, Mekkah pra-Islam menjadi pusat hiburan yang dalam standar Islam sekarang merupakan hiburan-hiburan yang terlarang. seperti pelacuran, minuman keras. dan perbudakan. Warga yang tidak terlalu tertarik dengan perdagangan di dalam kota dapat melakukan perjalanan sendiri atau mengikuti kafilah ke arah utara dan selatan menuju pusat perdagangan di kedua sisi. Ayah Nabi Muhammad misalnya, pergi berdagang ke Damaskus di jalu, Utara hingga akhimya meninggal dalam perjalanan pulang, sebelum Muhammad dilahirkan. Ia merupakan anggota sub klan Quraisy yang terkenal karena perdagangannya. Suku Quraisy menjual kulit dan pakaian yang lebih murah daripada yang dijual di Damaskus dan Yaman Suku-suku lain dapat menitipkan barang dagangannya pada kafilah Quraisy dengan perjanjian di muka. (Crone, 1987). Selain itu, terdapat praktik mudarabah di mana terdapat dua pihak, satu pihak sebagai pemegang dana dan satu pihak sebagai mitra yang menyumbangkan usaha dan kecakapannya untuk membiayai perjalanan dan perdagangan kafilah. (Malkawi, 2006)
Muhammad sebelum menjadi Nabi juga adalah seorang peda. gang dan terpilihnya sebagaj Nabi menunjukkan pentingnya perdagangan bagi ajaran Islam. Penekanan pada aspek perdagangan ini dipandang bahkan melebihi ajaran Yahudi dan Kristen. (Mallat, 2000). Kelahiran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad menghapus praktik-praktik hedonik yang berlangsung di Mekkah. Ka’bah dibersihkan dari berhala-berhala dan umat Islam diseru untuk menyembah satu dan satu-satunya Tuhan yaitu Allah. Hal ini membuat marah para pedagang konservatif yang kemudian mendorong umat Islam untuk hijrah ke Madinah.
Peristiwa hijrah ini sebenarnya merupakan titik balik secara ekonomis. karena Madinah benrada di jalur utara dan praktis memblokir ) alur perdagangan dari Mekkah ke jalur tersebut. (limerick. 2002). Madinah yang awalnya terbelakang secara ekonomi kemudian menjadi kota yang makmur karena Muhammad menyatukan para suku yang berkonflik di kota tersebut.
Setelah membangun masjid untuk ibadah dan pendidikan, Muhammad segera membangun sejumlah peraturan terkait masalah perdagangan berdasarkan prinsip perdagangan bebas, keadilan, kejujuran. dan antimonopoli. (Malkawi, 2006). Prinsip perdagangan bebas merupakan prinsip yang utama. Pemerintah dilarang turut campur dalam menentukan harga kecuali dalam situasi pelanggaran atas tiga prinsip lainnya, seperti kecurangan dalam perdagangan. Barang-barang yang diperdagangkan harus barang yang halal yaitu barang yang tidak diharamkan oleh islam dan perolehan setiap orang harus didasarkan pada pekerjaannya sendiri. (Din.2006)
Kebebasan dalam perdagangan tersebut sejalan dengan kebebasan dalam beragama. Muhammad memberikan kebebasan mutlak bagi Yahudi dan Kristen untuk berdagang dan beragama di Madinah dalam Piagam Madinah. (Bustamam-Ahmad, 2007). Lebih dari itu, Piagam Madinah adalah undang-undang dasar pertama Islam yang mendasari pendirian negara Madinah. (Alwi dan Zuriati, 2011). Sebagian bahkan menilai ini merupakan undang-undang dasar tertulis panama di dunia. (Abdillah. 2008). Piagam Madinah dibuat pada 627 M dan sebagian menilai ia dibangun berdasarkan prinsip pluralisme. (Azra, 2010). la terdiri dari sebuah pembukaan dan 47 pasal yang mengatur berbagai hak dan kewajlban berbagai pihak. seperti Muhajirin, Anshar, dan suku-suku Yahudi dan Nasrani. (Tahir al-Qadri, 2012). Bidang yang diatur mencakup organisasi masyarakat, hubungan antar suku, hingga pertahanan keamanan. (Hosen, 2005)
Dari beberapa riwayat yang ada, terlihat bahwa ada dua bentuk perjanjian dalam piagam madinah ini. Pertama, menyangkut hubungan dengan Yahudi yang ditulis sebelum Perang Badar ketika Rasulullab SAW pertama kali datang ke Madinah. Kedua, menyangkut aliansi amara Muhajirin dan Anshar dan ditulis setelah Perang Badar. Kemudian para ahli sejarah menyatukan perjanjian ini dalam satu dokumen.(Umari,1999)
            Piagam Madinah dibuat bertujuan untuk memberikan wawasan pada kaum Muslimin waktu itu tentang bagaimana cara bekerja sama dengan penganut bermacam-macam agama ketuhanan yang lain yang pada akhirnya menghasilkan kemauan untuk bekerja bersama-sama dalam upaya mempertahankan agama. Dengan adanya Piagam Madinah telah membuktikan bahwa dengan waktu yang tidak lama masyarakat Islam, baik Muhajirin maupun Anshar telah mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Keberhasilan ini tidak terlepas dari kepiawaian Rasulullah SAW dalam melihat kondisi masyarakat sekitarnya yang sangat memerlukan arahan dan teladan dari pemimpin guna menciptakan keadaan yang lebih baik Perubahan tatanan masyarakat di Madinah merupakan tolak ukur dari keberhasilan atas perjanjian damai yang dibuat oleh nabi. (Bakar, 2008)
Sistem ekonomi yang dibangun oleh Nabi berbasis pada empat pendapat utama untuk pemerataan kekayaan dan pelayanan Publik Empat pendapatan ini merupakan zakat, sedekah, ganimah, dan jizyah. Zakat dan sedekah langsung diberikan kepada pihak yang tidak beruntung secara ekonomi, sementara ganimah dan jizyah diberikall pada pemerintah, dan pemerintah menggunakannya untuk berbagai keperluan publik. Zakat dan sedekah berbeda dari segi kewajiban di mana zakat bersifat wajib dan dalam jumlah tertentu sementara Sedekah bersifat sukarela baik dari segi kewajiban maupun jumlah. Sementara itu, ganimah berhubungan dengan porsi pemerintah untuk kemenangan dalam peperangan dan jizyah merupakan pajak khusus yang dibayarkan non-Muslim. Jizyah dapat dikatakan sebagai pengganti zakat bagi non-Muslim karena zakat hanya berlaku untuk umat Islam. Pihak yang mengumpulkan pajak di Iuar empat sumber tersebut dan dalam jumlah yang melebihi ketentuan dinyatakan tidak akan masuk ke dalam surga oleh Nabi,selama masa Nabi Muhammad dan khulafaur rasyidin, perdagangan di Madinah bebas dari pajak. (Malkawi, 2006)
Karena berkembangnya Madinah, para pedagang di Mekkah berupaya sedapat mungkin menguasai Madinah yang semakin kuat karena penerimaannya terhadap Islam. Hal ini memicu terjadinya Perang Badar yang menambah kekuatan Madinah akibat kemenangan telak pasukan Islam. Dalam masa awal ini, Muslim menaklukkan banyak wilayah yang memberikan banyak tanah lapang untuk dimanfaatkan. Hadist mengatakan kalau siapa saja yang menghidupkan tanah yang mati berhak atasnya dan burung, manusia, dan hewan yang memakan makanan yang ditumbuhkan di sana dipandang mendapatkan sedekah dari pemilik lahan tersebut. (Malkawi, 2006)
Dalam haji terakhirnya pasca-penaklukan kembali Mekkah, Muhammad menekankan aspek kepemilikan harta benda. Dalam khotbahnya, ia menekankan kalau individu Muslim memiliki hak atas barang yang ia miliki secara eksklusif dan siapa pun tidak dapat mengambilnya atau menggunakannya kecuali diberikan atau diizinkan oleh pemilik tersebut berdasarkan kebaikan hati. (Malkawi: 2006)

2..Masa Khulafaur Rasyidin
Khulafaur rasyidin adalah empat pemimpin yang meneruskan kepemimpinan Muhammad setelah beliau wafat: Abu Bakar Ashsidiq, Omar al-Khattab, Usman bin Affan, klan Ali bin Abi Thalib. Tiga dari empat khalifah ini adalah pedagang yang setelah berkuasa menghentikan aktivitas perdagangannya. Hanya Ali yang bukan berlatar pedagangWalau begitu, ia berasal dari keluarga pedagang yaitu dari keluarga Nabi Muhammad sendiri. (Calder, 2010) .
  
a.Abu Bakar Ashsidiq (632-634 M)
Abu Bakr Ashsidiq (632-634 M) pada hari pertama terpilih langsung berencana melakukan tinjauan langsung ke pasar. Pencapaiannya di bidang ekonomi mencakup pendirian baitulmal, sebuah badan organisasi keuangan publik yang menjadi pengendali ekonomi makro lewat struktur fiskal. (Din, 2006). Walaupun demikian, karena masa kekuasaannya terjadi guncangan politik, banyak suku yang awalnya setia dengan membayar zakat menolak untuk membayarnya. Hal ini ditanggapi dengan toleransi oleh Abu Bakar yang tidak memberikan sanksi kepada mereka. (Tangali, 2010)
Perluasan wilayah Islam terus berlanjut di masa ini. Setelah Umar terpilih menggantikan Abu Bakar, ia menyerukan kembali hadist Nabi bahwa siapa pun yang menghidupkan tanah yang mati berhak memilikinya. (Malkawi, 2006). Selain itu, bagi non-Muslim, besar jizyah dinaikkan menjadi sebesar 1,2 dinar untuk pekerja dan petani, 2,5 dinar untuk kelas menengah, dan 4,8 dinar untuk kelas atas. (Din, 2006)
Menurut laporan dari Abu Yusuf, kalifah Abu Bakar menerima sebagian pendapatan dari rampasan perang. Ia segera menggunakannya untuk didistribusikan pada semua orang, anak kecil maupun dewasa, merdeka atau budak, laki-laki dan perempuan, dalam jumlah yang sama besar. (Ahmad, 1984). Sebagian sahabat menolak metode ini karena setiap orang memilikj peran yang berbeda. Walau begitu, Abu Bakar menyatakan kalau kesetaraan lebih diutamakan daripada keadilan dari segi peran.
Dalam upaya penaklukan, kebijakan Abu Bakar juga menunjukkan pentingnya pembangunan ekonomi. Dalam peperangan, Abu Bakar memerintahkan untuk tidak melakukan perusakan pada pencaharian penduduk lawan seperti lahan pertanian atau hak milik mereka. (SathaAnand, 2011). Selain itu, beliau memerintahkan untuk melarang membunuh anak kecil, perempuan, atau orangtua Kebijakan ini tampak memungkinkan harta rampasan perang yang sekaligus menjamin pembangunan ekonomi tidak banyak terganggu ketika terjadi pengalihan kekuasaan dari Islam sebagai penakluk ter hadap kawasan yang dikuasai.
Abu Bakar sendiri adalah orang yang sangat sederhana. Ia hanya memiliki dua helai pakaian untuk digunakan dan memakan makanan yang sederhana. Hal mi sama dengan Umar yang hidup dengan Seder hana. Ia bahkan melarang gubernumya mengendarai kuda Arab, memakan gandum mahal, atau menggunakan pakaian mewah ataupun membuat penjagaan pada tempat kediamannya. (Akhtar, 1996)
b. Umar al-Khattab (634-644 M)
Khalifah Umar al-khattab (634-644 M) membangun lebih lanjut baitulmal dengan melakukan sistematisasi proses fiskal. Sistematisasi dilakukan dengan mengelola sumber dan pengeluaran pendapatan. Sumber pendapatan diperluas menjadi bukan hanya sedekah, zakat ganimah, dan jizyah, namun juga bea cukai, pajak pertambangan, rumah yang ditinggal karena tidak ada pewaris, pajak perdagangan, dan pajak barang hilang dan ditemukan (luqalah). (Din, 2006)
Sejumlah pejabat diangkat untuk mengumpulkan pajak ke suku. suku terpencil di Iazirah Arab. Abi Waqqas diperintahkan untuk me. ngumpulkan pajak sedekah dari suku Hawazin di Najd, sebelmn dirinya diangkat menjadi komandan pasukan untuk berperang ke al-Qadisiyah. Uthba bin Abi Sufyan diangkat untuk mengumpulkan pajak dari suku Kinana, dan begitu juga sejumlah pejabat lain diangkat untuk berbagai suku. Sedekah tidak dikumpulkan bagi Bedouin biasa Sementara itu, bagi suku dalam agama berbeda, pajak yang diminta bukan sedekah tapi jizyah. Jizyah dapat dibebaskan bagi non-Muslim jika mereka membantu umat Islam dalam berperang. Hal ini terjadi misalnya dalam kasus pasukan berkuda Persia yang walaupun non-Muslim, tetapi karena membantu pasukan Islam, dibebaskan dari jizyah. Sebagian lagi, baik Muslim atau bukan, dapat meminta bayaran khusus untuk ikut berperang bersama kaum Muslimin. Mereka disebut sebagai orang-orang yang dimenangkan hatinya (al-mu’allafa qulubuhum). (Donner, 1981)
Para pasukan bayaran, tentara Muslimin dengan gaji tetap, para suku yang membayar pajak, para suku non-Muslim yang bebas pajak, semuanya menciptakan pasukan perang yang berstrata. Hal ini pada gilirannya menghasilkan kaum elite dalam kalangan prajurit, yaitu para pasukan pemerintah, yang mendapatkan keistimewaan bukan saja dari segi gaji tetapi dari segi pendahuluan pasokan-pasokan penting seperti bahan makanan. Pihak yang paling merugi yaitu kaum nomaden dan ini menunjukkan kalau Umar cenderung menolak nomaden. Hal ini dibuktikan dengan diberikannya hadiah bagi kaum nomad yang memilih untuk menetap dan membangun ekonomi di satu kota tertentu dan tidak lagi hidup berpindah-pindah. (Donner, 1981)
Sejalan dengan perspektifnya yang menolak kesetaraan langsung, Umar tidak setuju dengan pendapat Abu Bakar kalau hadiah dari perang harus diberikan secara setara. Ia merasa orang yang pernah memerangi Nabi dahulu tidak berhak mendapatkan hadiah yang sama besar dengan orang yang tidak pernah memerangi Nabi. Atas pendapat ini, beliau segera membangun sistem gaji berjenjang pada Diwan al-atta. Walau begitu, pada akhir pemerintahannya, ia merasa bahwa Abu Bakar lebih benar karena adanya korupsi pada kalangan pejabat bawah yang tidak mendapatkan gaji sama besar dengan gaji pegawai atas. Selain itu, telah ada cukup uang yang dapat dibagikan secara setara untuk menggaji semua pegawai tanpa melihat jenjang. (Ahmad, 1984)
Umar juga membangun peraturan terkait mode transaksi perdagangan yang mengatur lebih lanjut mengenai pertukaran sehari-hari berbasis iman dan amal. (Din, 2006). Di antara peraturan ini, berkaitan larangan untuk semata berdoa tanpa berikhtiar dengan harapan hujan emas turun dari langit. (Chapra, 1992). Dalam inspeksinya di pasar, Umar menemukan seorang pedagang, Hatib ibn Abi Balta’ah Yang menjual barangnya jauh di bawah harga pasar dengan tujuan mengalahkan pesaingnya, dan berarti dapat memperoleh keunggulan monopoli. (Malkawi, 2006). Umar melarang hal tersebut dengan memberi pilihan untuk menaikkan harga atau meninggalkan pasar (Beekun dan Badawi, 2005). Selain itu, ia membangun standar nilai tukar di mana 7 dinar (uang emas) setara dengan 10 dirham (uang per. ak) dan berat l dinar adalah setara dengan 4,25 gram dengan kemurnian 91,7 persen (Din, 2006). Beberapa dari kebijakannya, termasuk di bidang ekonomi, dipandang tidak sejalan dengan Al-Qur’an dan hadist. (Zayd, 2006). Hal ini diargumenkan karena Umar harus berhadapan dengan kondisi sosial yang telah berubah di mana kekuasaan saat itu jauh lebih luas dari di masa Nabi dan Abu Bakar.
         Dalam masa pemerintahan Umar juga sempat terjadi wabah kelaparan. Wabah ini membuat Umar membatalkan sementara hukuman potong tangan bagi pencuri. (Ende, 2008). Selain itu, dari kepribadiannya, Umar selalu sederhana dan menggunakan harta umat secukupnya. (Tangali, 2010). Hal ini selaras dengan pandangannya mengenai perpajakan. Terkait perpajakan, Umar tetap tidak ingin menarik pajak dari umat Islam. Ketika ia bertanya pada sahabatnya Salman apakah ia seorang khalifah atau raja, Salman menjawab kalau “jika engkau mengambil satu dirham atau kurang lebih dari seorang Muslim dan menggunakannya secara batil, engkau adalah raja dan bukan khalifah.” (Ende, 2008). Iawaban ini membuat dirinya menangis dan berupaya sedapat mungkin menjadi seorang khalifah yang ideal.

         Seperti halnya Muhammad ketika dipilih sebagai Nabi dan Abu Bakar ketika terpilih menjadi khalifah, umar juga ketika terpilih menghentikan kegiatannya sebagai seorang pedagang. Pandangannya yaitu bahwa perdagangan bersifat individualis sehingga ketika seseorang menjadi pedagang, maka ia mementingkan dirinya sendiri. Konsekuensi dari ini yaitu bahwa akan terjadi persaingan di mana satu pihak akan lebih unggul sementara pihak lain dikecewakan. (Malkawi: 2006).

c. Usman bin Affan (644-656 M)
Usman bin Affan (644-656 M) memerintah menggantikan Umar. Pada masa ini, uang tembaga diperkenalkan sebagai pecahan dari uang dirham. (Din, 2006). Perilaku Usman mirip dengan Umar dalam segi kesederhanaan. Selain itu, banyak uangnya digunakan untuk membebaskan para budak. (Tangali, 2010). Tidak ada perkembah radikal dalam pembangunan ekonomi di masa ini karena Usman berfokus pada pembangunan agama dan terjadi pertikaian politik yang panas di masa ini. Hidupnya yang sederhana bertentangan dengan posisinya sebagai salah satu orang terkaya di Madinah. (Akhtar, 1996)
Pemerintahan Usman merupakan pemerintahan yang sulit karena harus berhadapan dengan masalah-masalah iinansial yang disisakan dari masa Umar. (Caetani, 1915). Walau begitu, tekanan politik memabuat tidak ada perkembangan radikal dalam pembangunan ekonomi di masa ini. Usman berfokus pada pembangunan agama dan terjadi pertikaian politik yang panas di masa ini. Usman misalnya, melakukan perluasan pada Masjidilharam lebih besar walaupun di masa Umar telah dilakukan perluasan. Hal ini mengundang tentangan keras dari pihak oposisi. (Andersson, 2013)
Para pejabat terus diangkat untuk mengumpulkan pajak. Al-Hakam bin Abi l-‘As diperintahkan untuk mengumpulkan pajak dari suku Quda’a. Kebijakan perumahan para suku terus dilakukan. Sejumlah tanah yang luas diberikan pada para penduduk dari suku-suku nomad sementara sebagian lagi dijadikan para prajurit yang tinggal menetap di asrama atau benteng. (Donner, 1981)
d. Ali bin Abi Thalib (656-661 M)
Ali bin Abi Thalib (656-661 M) memerintah menggantikan Usman. Dalam masa ini pun, tidak terdapat pembangunan ekonomi radikal selain meneruskan kebijakan-kebijakan umum dari pemerintahan sebelumnya. Diketahui kalau di masa Ali terdapat usaha untuk memberikan jaminan bagi individu pekerja riegara mengenai kondisi ekonomi di masa krisis. Iaminan untuk tetap mendapatkan gaji ini tidak berlaku bagi pegawai swasta. (Elgari, 2003). Peerzade (2014) walau begitu, berhasil mengumpulkan banyak upaya pembangunan ekonomi oleh khalifah Ali. Sumber utama kebijakan Ali dalam bidang ekonomi datang dari suratnya pada al-Ashtar dalam Nahjul Balagha. Sejumlah prinsip yang berhasil disarikan oleh Perzadee (2014) mencakup: (1) tidak boleh ada diskriminasi berdasarkan agama, suku, kekayaan dan status sosial: (2) keadilan kesetaraan, persaingan sehat , inklusivitas, dan akuntabilitas moral harus yang menjadi utama dalam kebijakan publik maupun kepemerintahan; (3) masyarakat miskin dan tidak beruntung harus memperoleh tempat yang benar dalam agenda publik dan ekonomi sebelum pemerintah; (4) pemerintah, dengan memandang kaum miskin, harus berperan proaktif pro masyarakat miskin hingga menyentuh mereka; (5) sumber daya publik harus tidak digunakan untuk tujuan pribadi; (6) dasar Penarikan pajak harus lebih penting daripada tarif pajak maupun pendapatan dari pajak; dan (7) penghasilan dari pajak harus digunakan cara utama untuk membiayai kesejahteraan umum dan tidak boleh untuk mendorong kesejahteraan penguasa.

4. Masa Dinasti Umayyah (661-750 M)
Dalam masa dinasti Umayyah, Kerajaan Islam telah sangat luas dan pemerintah tidak dapat semata bertopang pada sumber Penghasilan lama untuk mengelola negara. Begitu pula, hadist yang berbunyi “di dalam uangmu, terdapat pajak selain zakat' memungkinkan para penguasa dinasti untuk mengumpulkan uang selain dari empat sumber tersebut. (Malkawi, 2006). Sementara itu, pembangunan dilakukan dengan ambisius. Pada masa Walid bin Abdul Malik (705-715 M), rumah ibadah, pusat pendidikan, infrastruktur, dan pertanian dibangun dan diperbaiki serta program jaminan sosial dibuat untuk melindungi orang miskin dari meminta-minta. (Din, 2006). Selain itu, banyak pula dibangun monumen-monumen besar. (Hoyland, 2006). Karena pembangunan besar-besaran ini, walaupun negara mendapatkan banyak uang dari penaldukan hingga ke Afrika Utara dan Semenanjung Iberia, pcmerintah masih harus menciptakan banyak jenis pajak Pajak perdagangan dibcrlakukan di Madinah. Pada akhir pemerintahan Umayyah, jumlah pajak yang harus ditanggung warga negara dipandang sudah terlalu besar. (Malkawi. 2006)
Pada tahun 690-an,di masa khalifah Abd al-Malik. koin-koin kcmudian diberikan ayat-ayat untuk membedakan koin Islam dan bukan. Ayat-ayat yang ditulis berhubungan dengan akidah yang ditulis di tengah dan pinggir koin. Frasa yang digunakan yaitu “tidak ada Tuhan selain Allah. Ia tidak mempunyai sekutu” di tengah koin, dan di pinggir terdapat kalimat “Muhammad adalah rasulullah, yang mengirimnya dengan petunjuk dan agama kebenaran untuk mengatasi semua agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukainya” (QS. at-Taubah, [9]: 33) dan isi surah al-Ikhlas. Model ini terus digunakan hingga berakhir masa dinasti Umayyah. Pada masa dinasti Abbasiyah, koin menggunakan kalimat yang lebih sederhana. (Porter, 2006)
Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) termasuk khalifah besar yang berupaya lebih spiritualis dibanding khalifah Umayyah sebelumnya. Ia berupaya kembali memberlakukan perdagangan bebas dengan argumen kalau lautan dan daratan adalah milik Allah dan negara tidak boleh menghalangi umat dalam berdagang. Hal ini ditandai dengan dihapuskannya bea cukai. Walau begitu, ternyata negara lain memberlakukan pajak bagi ekspor dari negara Islam sehingga Umar menarik kernbali kebijakan ini dengan memberlakukan pajak. Pajak ini dinamakan usur dan besarnya 10% dari impor barang. (Malkawi, 2006). Lebih lanjut, khalifah Umar abd. al-Aziz juga melakukan pembedaan antara jizyah dan pajak tariah (kharaj), yang tidak lagi diidentifisikasikan semata untuk non-‘Muslim. (Heck, 2006)
5. Masa Dinasti Abbasiyah (750-1516)
           Masa dinasti Abbasiyah merupakan masa keemasan bagi ilmu pengetahuan di dunia Islam karena dalam masa ini terdapat gerakan penerjemahan yang intensif atas karya-karya Yunani, India, dan Syria menjadi bahasa Arab untuk dipelajari. (Zulkifli dan Daneshgar, 2011). Kekhalifahan Abbasiyah beribu kota di Baghdad yang dibentengi oleh tembok tiga lapis sehingga diberi julukan kota bulat. Aktivitas pembangunan ekonomi terjadi di dalam tembok sebagai bentuk peradaban yang memisahkan antara dunia luar yang luar dan dunia dalam yang makmur. Di Kota Baghdad terdapat beberapa rumah sakit umum gratis yang dibangun oleh negara untuk melayani masyarakat miskin. (Sardar, 2003). Rumah sakit umum gratis ini didanai oleh zakat sebagai bagian dari bentuk kewajiban negara dalam mendistribusikan zakat yang dibayarkan oleh umat Muslim yang berkecukupan. Sistem rumah sakit umum gratis untuk masyarakat miskin ini dipandang sebagai sistem pelayanan kesehatan nasional pertama di dunia.

           Dalam masa awal, masih terdapat para gubernur Umayyah dari kemunculan Abbasiyah menimbulkan konflik terutama di kawasan. kawasan perbatasan. Kawasan perbatasan seperti Tabaristan (Iran Utara), berupaya membangun ekonominya dengan membangkitkan sejumlah tentara lokal yang berjuang baik melawan Umayyah maupun Abbasiyah. Karenanya, pembangunan ekonomi di masa ini berhubungan erat dengan pembangunan militer untuk pertahanan daerah berkembang. Pada akhirnya, Tabaristan jatuh ke tangan Abbasiyah dan menjadi salah satu hubungan ekonomi bagi pembangunan di kawasan kekhalifahan lewat pengumpulan pajak dan aktivitas perdagangan.
Dalam konteks ekonomi, Arab telah melakukan perjalanan dagang ke berbagai lokasi. Perdagangan Islam di Teluk Benggala dan Nusantara dimulai pada masa ini. Sebagai contoh, berdasarkan penemuan koin-koin, setidaknya pada masa Harun al-Rasyid (786-809 M), telah terjadi kontak dagang dengan beberapa kota seperti Paharpur dan Mainamati di kawasan Bangladesh masa kini menunjukkan adanya jalur dagang kuno antara Arab dan Benggala. (Siddiq, 2012). Sejarah Nusantara juga mencatat para pedagang Arab yang datang dari kawasan pada abad ke-ll dan 12 sambil menyebarkan ajaran Islam dan politik. (Hunt, 1997). Banyak aspek ekonomi dari penjelajahan armada dagang Arab era Abbasiyah dapat dipelajari dari kitab Sharaf al-Zaman Tahir Marvazi on China, the Turks and India yang diterbitkan tahun 1120. (Minorsky, 1942).
              Di arah barat, Abbasiyah membangun relasi dengan koin dinar Abbasiyah digunakan sebagai model untuk mencetak koin emas oleh Raja Offa dari Mercia lengkap dengan legenda yang masih dalam bahasa Arab dan penanggalan yang menggunakan tahun Hijriah. (Kinoshita, 2007). Stabilitas ini didasari pula oleh sifat kekhalifahan yang relatif non-invasif dibandingkan Umayyah.
Pembangunan ekonomi di masa Abbasiyah didasarkan pada Al-Qur’an sebagai langkah justifikasi religius atas sistem fiskal dan pajak tanah. (Heck, 2002: bab 4). Kerangka untuk pajak tanah membedakan mtara dua jenis tanah yaitu tanah yang ditaklukkan lewat kekerasan (anwa) dan tanah yang diserahkan secara damai pada umat Islam (sulh)(Heck, 2006). Koin baru dibuat menggantikan koin lama dengan menambah kalimat “kalimat al-Rasul” dan “kalimat al-tawhid” di koin baru mereka sehingga mencerminkan syahadat. (Radscheit, 2006) 

Sejumlah pemikir Islam dalam pembangunan ekonomi di masa ini, antara lain:
1. Ibnu Hazm (994-1064).
Ibnu Hazm merupakan ahli ekonomi praktis yang juga merupakan ahli hukum dan filsafat. Ia merupakan ulama dari mazhab Zahiri yang tidak mengakui kebebasan berkontrak. (Yulianti, 2008: 104). Baginya, syarat-syarat berkontrak mencakup tujuh jenis: (l) syarat gadai dalam jual beli tidak tunai; (2) syarat penundaan pembayaran harga sampai waktu yang ditentukan; (3) syarat pembayaran harga pada waktu longgar; (4) syarat sifat tertentu pada barang; (5) syarat tidak ada pengecuhan; (6) syarat harta benda milik budak yang dijual tuannya ialah untuk pembeli; dan (7) syarat buah pohon yang telah dikawinkan yang dijual pemiliknya ialah untuk pembeli (Yulianti, 2008). Selain itu, Ibnu Hazm melihat bahwa pemerintah harus ikut campur dalam ekonomi (Malkawi, 2006).
2. Al-Ghazali (1058-1111).
Al-Ghazali adalah pemikir yang mencakup banyak bidang ilmu seperti umumnya pemikir masa Abbasiyah yang bersifat ensiklopedik. Salah satu pemikiran al-Ghazali terletak pada pandangan ekonomi moral yang disuguhkannya dalam teori negara berdasarkan keadilan sosial. (Mehmet, 1997). Dalam teorinya, muncul konsep “individu dalam masyarakat” yang dicirikan sebagai sintesis antara etika dan ekonomi. (Mehmet, 1997). Konsep ini menandakan bahwa manusia berada dalam sebuah mang multilapisan, mulai dari diri, keluarga, masyarakat sekitar, dan berpuncak pada umat. Tuhan berada di luarnya sebagai pemandu. Kegiatan ekonomi manusia sebagai individu kemudian berpusat pada Tuhan dan umat. Kepada Tuhan, kegiatan ekonomi merupakan bentuk ibadah sementara kapada umat, kegiatan ini diartikan sebagai muamalah (pembangunan hubungan persaudaraan antarsesama Muslim). Ekonomi hanya dipandang sebagai sebuah jalan menuju kehidupan yang etis dalam lingkup ibadah dan muamalah. Karena berada dalam kerangka ibadah dan muamalah, maka pembangunan ekonomi harus berdasarkan prinsip moderasi, kejujuran clan integritas. Sistem ekonomi al-Ghazali kemudian bukan terarah pada maksimalisasi keuntungan individu tetapi pada maksimalisasi keuntungan umat di mana individu yang melakukan kegiatan ekonomi menyumbangkan sebagian keuntungannya “ masyarakat sebagai bentuk tanggung jawabnya pada umat da lhenjalankan ibadah kepada Allah.

3. Ibnu Khaldun (1332-1406).
            Dalam masa di mana pengetahuan masih terbatas dalam volumenya, ilmuwan Muslim dapat dengan mudah menjadi seoran ensiklopedik dengan mempelajari dan menguasai banyak bidang ilmu sekaligus. Sebagian dapat lebih memilih untuk mendalami ilmu tersebut ketimbang meluaskannya sehingga banyak menghasilkan teori-teori besar. Ibnu Khaldun adalah salah satunya. Ia merupakan ahli sosiologi sekaligus ekonomi.
             Ibnu Khaldun menekankan bahwa manusia dari segi ekonomi adalah mahluk sosial, bukan makhluk individu. Sebuah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan merupakan hasil kerja sama dari banyak individu, bahkan untuk kebutuhan dalam jangka waktu satu hari. (Malkawi, 2006). Dalam kondisi seperti ini, masyarakat harus dibiarkan dalam kerja sama bebas. Pemerintah tidak dapat ikut campur dalam perdagangan karena peran utamanya yaitu tu. gas pertahanan dan keamanan. Iika pemerintah ikut serta dalam ekonomi, maka mereka akan lebih berorientasi pada pembatasan dan merusak perkembangan ekonomi. Asumsi inilah yang kemudian membuat Ibnu Khaldun sedapat mungkin mengeluarkan pemerintah dari pasar dan menciptakan kondisi pasar bebas.
Kondisi pasar bebas memungkinkan terjadinya materielisme berlebih pada beberapa individual di masyarakat seperti halnya sis tem kapitalisme di Barat. Kemungkinan ini disadari oleh Khaldun dan karenanya, ia melarang materielisme berlebih. Materielism ian kemewahan dapat membawa pada individualisme dan kerenanya melemahkan solidaritas, padahal ekonomi berdasarkan pada prinsip kerja sama ini. (Malkawi, 2006). Ibnu Khaldun mengatakan
“janganlah tamak. Biarkan harta dan kekayaan yang engkau kumpulkan untuk keadilan; kesejahteraan orang-orangmu, perbaikan negerimu, pengawasan urusan mereka, perlindungan mereka, dan mendukung orang yang tidak beruntung. Engkau harus tahu kalau barang, ketika ia dikumpulkan dan disimpan di penyimpanan, tidak memberikan hasil, namun jika ia diinvestasikan pada kesejahteraan masyarakat dan digunakan untuk memberi mereka apa yang menjadi hak mereka dan mencegah mereka dari meminta-minta, maka ia akan tumbuh dan berkembang. Masyarakat akan maju. Manfaat uang yang sesungguhnya yaitu sebagai hiasan pada pejabat tinggi dan itu artinya waktu untuk kebahagiaan. Ia memberikan kekuatan dan perlindungan. Karenanya, kumpulkanlah hartamu di penyimpanan dan gunakan untuk membangun Islam dan Muslim. Sebarkan pada para pemimpin orang beriman. Berikan orangmu bagian mereka. Perhatikan hal-hal yang dapat memperbaiki situasi dan kehidupan. jika engkau melakukan itu, bantuan akan selalu bersamamu. Allah wajib membantumu. Dengan cara ini, engkau juga akan lebih mampu menaikkan pajak tanah dan mengumpulkan barang orang-orang Anda dan wilayah kekuasaan anda. Karena setiap orang merasakan keadilan dan kebaikanmu, setiap orang akan mudah mematuhimu dan lebih mudah memenuhi apa yang engkau inginkan. Karenanya, bawalah dirimu ke jalan yang telah aku gariskan di bab ini. Perhatikan baik-baik. Semua uangmu, hanya akan tersisa apa yang dihabiskan secara jujur dalam jalan Tuhan.” (Ibn Khaldun, 1958 Vol. II)
Aspek-aspek di atas membedakan Ibnu Khaldun dengan Adam Smith, tokoh ekonomi Barat, yang menggunakan asumsi individualis dalam latar ekonomi bebas. Sementara Adam Smith lebih berfokus pada masalah ekonomi, Ibnu Khaldun membahas lebih komprehensif dengan mengikutsertakan pembahasan pada politik dan sosiologi.
6. Masa Dinasti Usmani (1516-1918)
Awal penguasaan dinasti Usmani di dunia Islam yaitu ketika Konstantinopel akhirnya jatuh kc tangan penalduk Turki tahun 1453. Hal ini mengakhiri kekuasaan Barat, yang diwakili oleh Romawi, di kawasan Timur Tengah. Semenjak itu, jalur perdagangan utama Barat China dikuasai Turki dan karenanya, banyak yang lebih memilih untuk memutar Afrika dan menempuh jalur Samudra Hindia. Sebagian bahkan mencoba untuk menguji teori Bumi bulat dengan memutari Amerika dan tiba di Asia Tenggara dari arah timur, dan memulai periode imperialisme dan kolonialisme Barat.
Adanya langkah memutar itu mendorong Usmaniyah untuk melakukan aktivitas ekonomi baru di Samudra Hindia. Aktivitas int membuat jalur laut menjadi jalur yang giat secara ekonomi dan keagamaan (termasuk jalur laut ke Nusantara) namun juga berbahaya karena persaingan dengan Portugis dan lnggris. (Ozay, 2013). Dalam kondisi ini, tampaknya Portugis menang karena berhasil meraih posisi penting dalam perdagangan di berbagai pelabuhan penting di Samudra Hindia. Mereka bukan saja menjadi perantara perdagangan antamegara Eropa dan Asia namun juga antarnegara Asia itu sendiri. Sementara itu, Usmaniyah lebih berorientasi dalam upaya penaldukan kawasan Balkan untuk mempenetrasi Eropa dari arah timur. Langkah ini menekankan pentingnya pajak tanah sebagai sumber pemasukan bagi negara dan militer. (Ozay, 2013: Pamuk, 2009; Hess, 2005). Walau begitu, beberapa pedagang Turki memiliki posisi penting dalam perdagangan di Selat Malaka. (Cassale, 2010)
             Pembangunan ekonomi di awal era Usmaniyah berpusat pada kawasan Turki, khususnya Istanbul. Hal ini disebabkan luasnya kawasan yang dikuasai sementara kawasan-kawasan tersebut sebagian terisolasi. Sementara Laut Hitam menjadi kawasan yang terjaga dengan ketat, kawasan Yaman dan beberapa wilayah lain dibiarkan telantar. dengan asumsi mereka terlalu lemah untuk memberontak, walaupun semangat pemberontakan besar. alur dagang utara dipercayakan pada bangsa Tartar dari Krimea untuk mengawasi jalur perdagangan budak, bulu, dan barang-barang lain. (Finkel, 2005). Di arah selatan. Usmaniyah berhasil pula menguasai Laut Merah dan menjadi pelindung Mekkah dan Madinah, sekaligus melindungi jalur perdagangan rempah-rempah dari Samudra Hindia. (Finkel, 2005, lnalcik, 1994) Dalam perkembangannya, posisi Usmaniyah yang berada di antara Eropa dan Asia sangat penting bagi karakteristik ekonomi negara ini. Akhir dari periode ekspansi ini yaitu kegagalan dalam menguasai Wina pada 1683 yang menandakan titik balik peradaban di mana Eropa mulai menjadi pihak yang melakukan ekspansi ke dunia Muslim. (Dalrymple, 2005). Ketidakmampuan Usmaniyah untuk bergerak lebih dalam lagi ke Eropa membuat kekhalifahan ini menghentikan upaya perluasan dan berorientasi pada upaya menjaga kestabilan negara. Upaya ini termasuk sulit karena keanekaragaman budaya yang sangat besar dan telah mengalami keterpisahan lama sehingga memiliki perbedaan tajam, baik dari segi ideologi maupun sosial. Pada gilirannya, Usmaniyah menjadi sebuah lokasi kompromi yang menjadi ajang konflik maupun integrasi antara peradaban Barat dan Timur, Negara harus mengambil langkah sekularisme dengan memisahkan agama dari pemerintahan karena ada banyak agama dengan komposisi relatif seimbang dan Islam tidak dapat diutamakan dari yang lain. (Spivak, 1999). Di sini, perekonomian versi Islam tidak dapat dipaksakan karena tekanan dari ekonomi versi Barat yang juga sama besar.
Pada akhirnya, tahun 1774, Laut Hitam lepas dari monopoli Usmaniyah. Kekaisaran Rusia berkembang dan menjadi pemain baru yang semakin kuat. Sementara itu, di selatan, Napoleon pada 1798 berhasil menguasai Mesir dan akhirnya Usmaniyah mengalami kemunduran dengan kekuasaan hanya meliputi kawasan Turki dan Balkan. Kemunduran terus berlangsung seiring meningkatnya imperialisme Barat.
              Setelah dua abad ketegangan antara negara, produsen barang, dan pedagang (Karpat, 2001), pada akhirnya, Pemerintah Usmaniyah secara ekonomi harus menyerah pada perusahaan-perusahaan kapitalis Eropa. (Spivak, 1999). Pemerintah harus memberikan subsidi ekonomi pada bangsa Eropa agar mereka tetap loyal secara politik pada negara. (Karpat, 2001). Setelah tahun 1830-an, komersialisasi lahan pertanian lewat Land Code tahun 1858, swastanisasi lahan negara, dan penggantian lembaga budaya vakifs dan imarets menandai kemenangan sistem kapitalis Eropa di wilayah Usmaniyah. Pada 1882, Ottoman Bank berdiri, namun sebenarnya merupakan bank yang dikelola Perancis dengan label bank negara. Langkah ini berakjbat pada rusaknya landasan ekonomi dasar masyarakat Muslim, terutama pada masyarakat yang paling membutuhkan. (Karpat, 2001: 29)
Situasi inl bukannya tanpa tandingan. Banyak kelas ekonomi baru Muslim yang sadar situasi berupaya tetap mempertahankan sistem ekonomi Islam. Mereka menguasai jabatan penting di kota kota agraris. Walau demikian, mereka cenderung kurang berani. Ketika ancaman datang, mereka mengisolasi diri dengan mengupayakan perlindungan pada harta benda mereka sendiri. Malahan. generasi generasu muda mereka selanjutnya lebih berorientasi pada modernisasi dan cenderung mengarah pada upaya politik untuk menduduki jabatan penting pemerintahan yang “stabil”. Karenanya, penguasaan ekonomi di dalam negeri Usmaniyah sendiri merupakan persaingan antara kelas ekonomi barn dan otoritas lama dalam bayang-bayang kapitalisme Eropa. Pemisahan biner terjadi ketika khalifah Abdulhamid n mengarahkan ekonomi pada kapitalis sementara menyatakan dirinya scbagai pclindung umat Islam dan meminta agar umat Islam lebih mcngcjar pada masalah ukhrawi daripada duniawi. Sejalan dengan itu, banyak masjid dan lokasi religius Iainnya dibiarkan telantar semcntara bangsa Eropa mendirikan banyak bangunan megah sebagai penanda kapitalisme modern. 
              Di sisi lain, penduduk desa selain kekurangan secara ekonomi, juga mengalami wabah penyakit akibat sanitasi dan kcsehatan yang buruk dan terabaikan (Karpat, 2001).
Pada akhir kekuasaan Usmaniyah, wacana penyatuan Islam telah redup berganti dengan nasionalisme, seiring semakin mengecilnya kawasan kekuasaan Usmaniyah. Sementara umat Islam terpecah-pecah dan ekonomi dikuasai oleh kapitalisme Eropa, wacana nasionalisme muncul sebagai semangat baru yang mengombinasikan antara latar belakang pendidikan Barat dan semangat mengembalikan kejayaan Islam. (Karpat, 2001). Generasi baru pemikir Islam lahir di mana di satu sisi, mereka tidak lagi tertekan oleh otoritarian negara namun di sisi lain mendasari perkembangannya pada prinsip-prinsip kapitalisme yang dibawa Barat. (Karpat, 2001). Karenanya, para intelektual muda ini baik dari segi pemikiran untuk pengembangan Islam namun bidang ckonomi tetap merupakan bidang yang terisolasi dan tidak dapat dikxitisi oleh para pemikir ini karena mereka hidup dan berkembang olehnya. Tentu saja, hal ini masih dapat dibenarkan jika kita merujuk pada doktrin pasar bebas baik dari praktik di masa Nabi di Madinah maupun ajaran Ibnu Khaldun. Walau begitu, pasar bebas versi Islam Yaitu pasar bebas terbatas. Negara memang tidak perlu turut campur, tetapi suatu syarat harus terpenuhi, negara harus dipenuhi oleh orang orang beriman yang mengatasi kepentingan pribadinya dan mengutarakan kepentingan umat. Ini mengapa Ibnu Khaldun dan al-Ghazali menolak kekayaan berlebih dan tidak pekanya orang kaya terhadap kebutuhan masyarakat miskin.

7. Pandangan Ekonom Muslim Modern
Pandangan-pandangan ekonom Muslim modern, dapat diungkap sebagai berikut:
1. Afzalur-Rahman
Afzalur-Rahman merupakan pengarang sebuah trilogi sistem ekonomi Islam berjudul Economic Doctrines of Islam. Menurutnya, norma-norma Islam memberikan solusi praktis atas masalah ekonomi modern. Afzalur-Rahman berpendapat bahwa penghasilan yang diperoleh tanpa risiko yaitu tidak adil. Dalam masalah zakat, Afzalur-Rahman berpendapat bahwa tujuan zakat yaitu memperoleh kenikmatan dari Allah dengan jalan mendorong individu untuk menggunakan modal mereka sebaik mungkin untuk berproduksi sehingga mendapatkan lebih banyak kekayaan dan karenanya lebih banyak lagi zakat. Walau begitu, nisab maupun sumber zakat tidak boleh berubah, walaupun ia sendiri menyadari kalau di masa Umar ada inovasi zakat berupa sumber zakat baru berupa kuda dan didasarkan alasan kalau di masa Nabi tidak banyak kuda. Posisi membingungkan juga terlihat ketika di satu sisi Afzalur-Rahman memberikan daftar tugas-tugas negara dalam ekonomi namun dalam buku yang sama, juga menolak intervensi negara pada ekonomi. (Kuran, 1986)
2. Abdul Hamid eI-Ghazali
Abdul Hamid el-Ghazali adalah seorang profesor dari Islamic Research and Training Institute Ieddah. Dalam karyanya berjudul Man is the Basis of the Islamic Strategy for Economic Development, el-GhazaIi (1994) memberikan pendekatan aksiomatis untuk membenarkan adanya ekonomi polilik Islam. Hal ini dilakukan dengan menjadikan etika Islam sebagai sebuah ideal lalu kebijakan ekonomi dan sosial ditarik darinya. Al-quran menyatakan bahwa kepentingan individual melekat dalam nilai-nilai etis yang aksiomatis dan bekerja sebagai Variabel endogen dalam mekanisme ekonomi dan bekerja sebagai kekuatan pcngendali utamanya. Menurutnya, tujuan dan produksi sumber daya diarahkan pada pembangunan manusia dan hanya ber manfaat sebagai alat mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Zakat dapat digunakan untuk meningkatkan partisipasi dalam produksi dalam pembangunan manusia secara ekonomi. Baginya, seluruh konsep pembangunan harus ditinjau ulang untuk menempatkan kebutuhan dasar manusia dan bukan saja laju pertumbuhan komponen pembangunan yang sederhana.
3. ER. Faridi
ER. Faridi adalah ekonom Muslim dari Universitas King Abdul aziz. (Kuran. 1986). ia memandang pentingnya peran pemerintah dalam ekonomi. Peran pemerintah yaitu membuat target-target untuk berbagai variabel seperti simpanan agregat ataupun target ketenagakerjaan. Pemerintah kemudian berupaya mengejar target ini dengan memilih tingkat pajak yang sesuai. Skema pendapatan negara yang digunakan yaitu zakat ditambah dengan sebuah sistem pajak Islam yang menjadi instrumen kebijakan flskal. Iika transfer akibat zakat menghasilkan alokasi sumber daya masyarakat antarsektor yang tidak seimbang, maka koreksi perlu dilakukan lewat sistem pajak. Umat Islam sendiri dilarang untuk mengambil untung dari masyarakat yang perdagangannya mengandung bunga. (Faridi, 1983). Hal ini dilakukan dengan mencegah mobilitas modal dalam masyarakat yang bebas bunga dan masyarakat berbunga. (Kuran, 1986)
4. lkram Azam
Azam adalah seorang penulis dari Pakistan yang mewacanakan masyarakat ekonomi ideal berbasis Islam. Menurutnya, masa kekhalifahan sclama satu milenium merupakan kondisi ideal ekonomi Islam. (Kuran, 1986). Hal ini ditandai dengan tidak adanya penumpukan kekayaan pada beberapa orang, tidak ada monopoli, keuntungan berlebih, dan negara bertanggung jawab dalam memberikan upah hidup dan kesejahteraan bagi setiap warga negara sehingga tidak ada rakyat miskin maupun miliarder.
5. M. Fahim Khan
Fahim Khan adalah ahli ekonomi dari Universitas Islam Islam abad. (Kuran, 1986). Menurutnya, ekonomi memerlukan adanya rationing (pengaturan barang yang langka untuk mencapai kesetaraan distribusi). (Ahmed, Iqbal, dan Khan, 1983). Rationing terjadi karena dalam iklim ketiadaan bunga, permintaan pinjaman konsumsi dapat melebihi pasokan, sehingga pasokan menjadi langka. (Ahmed et aL, 1983). Menurut Khan, rationing harus berdasarkan catatan kredit klien dan sifat kebutuhannya. Dalam peneliteiannya, bank Islam tidak ada yang memberikan pinjaman konsumsi bebas bunga dan bank cenderung memberikan pinjaman yang memberikan pengembalian cepat. Hasil peneliteian ini membuat kecewa Khan karena pada akhirnya bahkan bank Islam bekerja menggunakan landasan individualis ketimbang kolektif. (Kuran, 1986)

6. M. Umer Chapra
Chapra membedakan antara sistem ekonomi sekuler dan Islam. Menurutnya, sistem ekonomi sekuler didasarkan pada manusia ekonomi rasional, hukum pasar Say, dan positivisme, sementara sistem ekonomi Islam didasarkan pada penyatuan antara yang lahir dan yang batin dan hidup di dunia dan di akhirat. Chapra mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia lewat alokasi dan distribusi sumber daya langka yang sejalan dengan ajaran Islam tanpa mengekang kebebasan individual atau menciptakan ketidakseimbangan makroekonomi dan ekologi secara berkelanjutan.” Berdasarkan definisi ini, Chapra memberikan kebebasan dalam metodologi sejauh dalam upaya untuk menyejahterakan manusia dan karenanya, ekonomi Islam bertopang pada ijtihad dan maqashid asy-syariah. (Addas, 2008)
7.  Muhammad Abdul Manan
Mannan merupakan ekonom Muslim dari International Ceter for Research in Islamic Economics Mannan mcndefinisikan islam sebagai “ilmu sosial yang mempelajari masaiah ekonomi masyarakat yang terikat oleh nilai-nilai Islam." (Addas, 200). Zakat  lebih penting dari pajak sekuler karena zakat tidak memberikana kemungkinan adanya penghindaran atau manajemen laba. (Kura 1986). Mannan kemudian mendukung upaya pengembangan konsep zakat pada pendapatanpendapatan yang sebelumnya tidak dikenal denganmasa awal Islam (Kuran, 1986)

8. Muhammad Nejatullah Siddiqi
Siddiqi mendeiinisikan ekonomi Islam sebagai respons pemilik Muslim pada tantangan ekonomi masa mereka dengan berdasarkan pada Qur’ an, Sunnah, nalar, dan pengalaman” Siddiqi mengkritikan asumsi rasionalitas dan perilaku memaksimaikan keuntungan individu dalam ekonomi. Menurutnya, basis ekonomi manusia yaitu altruisme dan memaksimalkan keuntungan masyarakat. Konsekuensi dari basis ini yaitu akan ada sebuah kecenderungan bagi permintaan barang mewah menurun sementara permintaan barang kebutuhan dasar meningkat. Berbeda dengan ekonom lainnya yang mengambil posisi fikih atau maqasid, Siddiqi mengambil posisi yang benar-benar bebas. Menurutnya, jika seseorang mendasari pembangunan ekonomi pada prinsip maqasid, apalagi fikih mazhab tertentu, maka pembangunan akan gagal karena tidak didasarkan pada realitas dasar. Karenanya ia berupaya memisahkan antara pembangunan ekonomi dan fikih mazhab ataupun maqashid. (Addas, 2008). Hal ini karena menurutnya, ekonomi islam bukanlah chauvinistik atau merujuk pada masa lalu, tetapi harus mampu menggantikan visi ekonomi Anglo-Saxon (Kuran, 1995), misalnya dengan melarang eksploitasi tenaga kerja dan lingkungan. Walau begitu, dalam karya ensiklopediknya tidak disebut. kan topik khusus mengenai kemiskinan. Hal ini kemudian disadari nya dan diatribusikan pada perkembangan umum ekonom Islam yang berorientasi lebih pada keuangan Islam ketimbang pengentasan kemi. skinan. (Farooq, 2009)
9.Sarjana Lainnya
Mohammad dan Shahwan (2013) melakukan tinjauan sejumlah Pendapat sarjana Muslim mengenai tujuan pembangunan ekonom. Islam. Tokoh yang ditinjau mencakuplah Khurshid Ahmad, Muhammad Sharif Chaudhry, Muhammad Akram Khan, Sayyid Abul Ala al-Maududi, M. Umer Chapra, dan Asad Zaman. Menurut mereka pendapat para sarjana tersebar dalam aspek ekonomi, sosial, keadilan diri, penghapusan penderitaan, dan partisipasi negara.
Dari paparan di atas, kita dapat menemukan bahwa terdapat Peningkatan kompleksitas yang semakin tinggi seiring berkembangnya Waktu. Kompleksitas ini tercermin dari berkembangnya masyarakat Islam dari komunitas Mekkah dan Madinah menjadi masyarakat Islam global di masa modern. Perkembangan kompleksitas ini memunculkan permasalahan mengenai apakah sebenarnya ekonomi Islam itu berkembang atau hancur? Di satu sisi, kita dapat melihat dalam perkembangan kekhalifahan Islam bahwa terdapat masa di mana Islam sebagai suatu kekuatan politik menanjak, mencapai masa keemasan di era Abbasiyah, dan mencapai masa kemunduran di masa Usmaniyah. Walau begitu, khalifah Usmaniyah bukan lagi sebuah kawasan politik Islam satu-satunya di dunia. Islam juga berkembang di berbagai kerajaan kecil di India, Persia, Afrika, dan Nusantara. Masing-masing mengalami perkembangannya sendiri-sendiri. Dalam era modern ini) Eksistensi masyarakat Islam yang tersegmentasi tersebut semakin jelas dalam batas-batas negara. Sebagian negara menyatakan dirinya negara Islam, sebagian lagi negara sekuler dengan penduduk mayoritas Islam atau penganut Islam dalam proporsi tertentu. Dalam negara-negara ini, banyak masyarakat kelas menengah atau kelas atas yang menganut Islam. Hal ini menghasilkan banyak pemikir Islam dengan latar berbeda. Seperti pada bahasan terakhir, ada banyak pemikir dengan berbagai pendapat. Hal ini belum lagi mencakup pemikir seperti Sayyid Abul A’la Maududi, Syekh Mahmud Ahmad, Syed Aftab Ali, Syed Nawab Haider Naqvi, dan Waqar Ahmed Husaini.
Di sisi lain, secara praktis, wacana ekonomi Islam arus utama melihat kemunduran yang semakin memburuk dimulai dari masa penguasaan kapitalisme atas aset-aset Usmaniyah. Walau sekarang bertebaran bank syariah, sistem yang dijalankan tetap konvensional, Dengan kata lain, landasan teoretis kalau ekonomi Islam untuk pembangunan adalah ekonomi bebas bunga, maka praktik yang dijalam kan bank syariah saat ini masih jauh dari itu. Perubahan yang ada nya berupa perubahan nama yang berfungsi pemasaran. Bank syariah masih berinduk pada konvensional dan praktik maupun aset masih berlandaskan sekuler. Hal ini tidak berbeda jauh dari kondisi 20-30 tahun lalu seperti diamati oleh para pakar ekonomi Islam. Tekanan dari kapitalisme justru semakin besar dan sangat kuat sehingga wacana syariah tidak lain adalah wacana kapitalisme berdasarkan konsep ekuitas merek dan komunikasi pemasaran.
Jika kita berpindah pada teori ekonomi islam yang menyatakan kalau ekonomi islam itu yang dinilai bukanlah landasannya tetapi hasil akhirnya seperti maqashid asy-syariah, atau lebih bebas lagi, versi pasar bebas Madinah, Khaldun, dan Siddiqi, maka kondisi yang ada sekarang sebenarnya jauh lebih baik. Adanya wacana syariah justru memperburuk keadaan, begitu juga penanganan zakat oleh negara atau majelis besar. Wacana syariah menjadi sebuah wacana yang membawa pada kecemburuan sosioreligius di mana di beberapa daerah muncul pula wacana untuk peraturan daerah berbasis agama non-Islam. Penagelolaan zakat oleh negara membawa pada korupsi dan tidak mengalir pada masyarakat miskin



                                                              Daftar Pustaka
P3EI UII.2008. Ekonomi Islam. Cetakan ke 4. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Huda Nurul dkk.2015.Ekonomi Pembagunan Islam edisi pertama.Jakarta: PT Adhitya Andrebina Agung

Sukirino Sadono. 1994. Makroekoekonomi teori pengantar  edisi ketiga . Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Wallahu a’alam bishshawab.,Alhamdulillah. Jazakumullah Khoyr, atas partisipasi sahabat sekalian untuk membaca dan mengunjungi kami. Semoga ilmu yang sedikit ini dapat bermanfaat untuk sahabat semua. Aamiin allahuma aamiin..

                         Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANAN DAN FUNGSI PEMERINTAH DALAM PEREKONOMIAN

Pengaruh Pengetahuan, Religiusitas, dan Promosi Perusahaan terhadap Minat Menabung di Perbankan Syariah (Studi Kasus Mahasiswa Muslim Kota Pontianak)

Makalah Pasar dan Harga dalam Ekonomi Islam