Hak Milik


أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
                                         Assalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
                                               HIMPUNAN MAHASISWA EKONOMI ISLAM (HIMAEKIS)
                                                                  FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
                                                                        UNIVERSITAS TANJUNGPURA



Hai Sahabat Ekonom Rabbani!!
Kembali lagi dalam MIMBAR EKIS,selanjutnya kita akan membahas mengenai hakikat:
HAK MILIK, PENDAPATAN, Dan KERJA.
Sebagai Ekonom Rabbani, kita harus memahami hakikat hak milik. Apa itu hak milik? Sebagian pemahaman ekonomi konvensional memahami bahwa hak milik berarti manusia berhak memiliki secara penuh harta benda dan bahkan apa saja yang ada di bumi dan mungkin saja bahwa apa yang ada disuatu negara adalah hak milik negara secara penuh. Perbedaannya dengan EKONOMI ISLAM bahwa kita sebagai ekonom Rabbani memahami hak milik berarti Sang Khaliq, Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai pemilik mutlak segala sesuatu yang ada di bumi ini. Manusia hanyalah sebagai khalifah, dimana segala benda yang kita miliki hanyalah titipan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Bagaimana pula dengan pendapatan? Pendapatan bagi kaum ekonomi konvensional hanyalah sebagai balasan, imbalan, upah, gaji, dan sebagainya, atas usaha atau kerja keras yang dilakukan manusia. Akan tetapi dalam pandangan ekonomi Islam, menganggap bahwa pendapatan merupakan bagian dari rezeki yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikan kepada manusia. Yang mana bagian dari rezeki tersebut terdapat pila rezeki bagi orang lain.
Selanjutnya mengenai kerja. Bagi sebagian manusia menganggap bahwa kerja adalah sesuatu aktivitas yang dilakukan untuk mencari nafkah, mencari uang, memenuhi kebutuhan pribadi atau kebutuhan keluarga. dalam ekonomi Islam kita tak hanya mengenal hal tersebut. Sebab dalam pandangan Ekonomi Islam menganggap bahwa kerja adalah bentuk ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.


Berikut adalah ulasan lebih lanjut mengenai hak milik, pendapatan, dan kerja.
A.    HAK MILIK
1.      Pengertian Hak Milik
Istilah milik berasal dari bahasa arab yaitu milk. Dalam kamus Almunjid dikemukakan bahwa kata-kata yang bersamaan artinya dengan milk (yang berakar dari kata kerja malaka) adalah malkan, milkan, malakatan, mamlakatan, mamlikatan, dan mamlukatan.
Milik dalam lughah (arti bahasa) dapat diartikan Memilki sesuatu dan sanggup secara bebas terhadapnya (Hasbi Ash Shiddieqy 1989 : 8).
Menurut istilah milik dapat didefinisikan, “ Suatu ikhtisas yang menghalangi yang lain, menurut syariat, yang membenarkan pemilik ikhtisas itu bertindak terhadap barang miliknya sekehendaknya, kecuali ada penghalang (Hasbi Ash Shiddieqy, 1989 : 8).
Ada juga hak didefinisikan sebagai berikut:
السُّلْطَةُ عَلَى الشَّيْئٍ أَوْمَا يَجِبُ عَلَى شَخْصٍ لِغَيْرِهِ
Artinya: “Kekuasaan mengenai sesuatu atau sesuatu yang wajib dari seseorang kepada yang lainnya.”
Islam juga memberikan batas-batas tentang hak milik agar manusia mendapat kemaslahatan dalam pengembangan harta tadi dalam menafkahkan dan dalam perputarannya, yaitu melalui prinsip-prinsip diantaranya:
a)      Hakikatnya harta itu adalah milik Allah SWT.
Firman Allah dalam surat Al-Hadid ayat 7 yang artinya: “Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.”
b)      Harta kekayaan jangan sampai hanya ada atau dimiliki oleh segolongan kecil masyarakat
Firman Allah dalam surat Al Hasyr ayat 7 artinya: “Apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al Hasyr : 7)
2.      Konsep Kepemilikan dalam Islam
Semua yang ada di muka bumi adalah milik Allah SWT Menurut ajaran Islam, Allah SWT adalah pemilik yang sesungguhnya dan mutlak atas alam semesta. Allah lah yang memberikan manusia karunia dan rezeki yang tak terhitung jumlahnya. Manusia dengan kepemilikannya adalah pemegang amanah dan khalifah. Semua kekayaan dan harta benda merupakan milik Allah, manusia memilikinya hanya sementara, semata-mata sebagai suatu amanah atau pemberian dari Allah.
Manusia menggunakan harta berdasarkan kedudukannya sebagai pemegang amanah dan bukan sebagai pemilik yang kekal. Karena manusia mengemban amanah mengelola hasil kekayaan di dunia, maka manusia harus bisa menjamin kesejahteraan bersama dan dapat mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah SWT. Ikhtiyar dalam bentuk bekerja, bisnis dan usaha lain yang halal adalah merupakan sarana untuk mencapai kepemilikan pribadi dalam Islam, kewajiban datang lebih dahulu, baru setelah itu adalah Hak.
Oleh sebab itu kepemilikan mutlak atas harta tidak di akui dalam islam. Sebelum membahas nya lebih lanjut, kita harus melihat hakikat kepemilikan dalam Islam, sebagaimana terdapat dalam firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah (5) ayat 120.
Artinya: Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”  (Q.S Al- Maidah [5]: 120)
Ayat di atas adalah landasan dasar di dalam kepemilikan islam. Ayat di atas menunjukkan bahwa pemilik mutlak sesungguhnya adalah Allah, karena Dia – lah yang menciptakan segala sesuatu, manusia hanya memiliki hak untuk mengelola sumber daya yang telah Allah siapkan memanfaatkan, karena sesuai dengan tugas manusia di muka bumi sebagai khalifah Allah.
Setiap Individu, masyarakat dan negara memiliki kewajiban tertentu. Dan sebagai hasil dari pelaksanaan kewajiban tersebut, setiap orang akan memperoleh hak-hak tertentu. Islam sangat peduli dalam masalah hak dan kewajiban ini. Kita diharuskan untuk mencari harta kekayaan dengan cara ikhtiyar tetapi dengan jalan yang halal dan tidak menzalimi orang lain. Selain itu, Kita juga tidak dibiarkan bekerja keras membanting tulang untuk memberikan manfaat kepada masyarakat tanpa balasan yang setimpal.
Dalam kepemilkan Pribadi ada hak-hak umum yang harus dipenuhi Islam mengakui hak milik pribadi dan menghargai pemiliknya, selama harta itu diperoleh dengan jalan yang halal. Islam melarang setiap orang menzalimi dan merongrong hak milik orang lain dengan azab yang pedih, terlebih lagi kalau pemilik harta itu adalah kaum yang lemah, seperti anak yatim dan wanita.
Selain itu dalam Islam kepemilikan dikenal dengan nama almilkiyah. Almilkiyah secara etimologi berarti yang kepemilikan. Almilkiyah memiliki arti yaitu sesuatu yang dimiliki dan dapat dimanfaatkan oleh seseorang. Dan pengertian lain almilk adalah pemilikian atas sesuatu (almal atau harta benda) dan kewenangan seseorang bertindak bebas terhadapnya. Dalam bahasa Arab "milk" berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum. Kepemilikan merupakan ikatan seseorang dengan hak miliknya yang disahkan syariah.  Kepemilikan berarti pula hak khusus yang didapatkan si pemilik sehingga ia mempunyai hak untuk menggunakan barang tersebut sejauh tidak melakukan pelanggaran pada garis-garis syariah.
Islam juga mengakui kepemilikan pribadi yang memiliki perhatian tersendiri dalam kajian fiqh. Dalam hal ini manusia diperbolehkan mencari sebanyak-banyaknya harta yang ia kehendaki, ataupun mencari keuntungan dengan harta tersebut dengan jalan jujur selagi tidak ada hal yang melanggar aturan syara (seperti riba, penipuan, penyeludupan, perjudian) serta tidak merugikan orang lain. Itu sebabnya dalam aturan kepemilikan islam terdapat batasan yang bisa dianalogikan dengan kalimat “Hak seseorang dibatasi oleh hak orang lain, kesenangan seseorang dibatasi oleh kesenangan orang lain”.
Selain itu islam juga mengatur cara seseorang memperoleh harta atau memperoleh kepemilikan, landasan dasarnya adalah surat Al-Baqarah (2) ayat 188. Artinya:  “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.” (Q.S Al-Baqarah [2]: 188)
Sangat jelas aturan dalam islam terkait kepemilikan harta. Tidak boleh ada kata “bathil” dalam cara memperoleh kepemilikan apakah dalam jual beli, ijarah, wakaf, infak, ataupun warisan.
Dalam sebuah hadis juga disebutkan: Harta seorang muslim haram dipergunakan oleh muslim lainnya, tanpa ada kerelaan hati pemiliknya (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam konsep kepemilikan juga melarang melakukan kegiatan yang merugikan orang lain baik itu hak moril atau hak materil, misalnya dua keluarga tinggal dalam satu perumahan, rumah keduanya bersebelahan, dinding rumah mereka merupakan dinding tunggal. Dalam kondisi seperti antara mereka dilarang untuk merusak dinding yang menyatu tersebut dengan alasan apapun. Apakah dengan membongkar, merenovasi, atau kegiatan lain yang mengganggu atau merugikan tetangga di sebelahnya. Tidak memberi mudharat kepada orang lain dan bahkan seharusnya tetangga kita pun ikut menikmati manfaatnya. 

Misalnya apabila seseorang berkebun dan mengaliri air ke kebunnya, sebaiknya ia juga mengaliri juga air ke lahan/kebun/sawah tetangganya.
Maka tidaklah heran jika peraturan Islam dalam hukum dasar (ushul al-fiqh) mengakui eksistensi pemilikan individu, bahkan menganjurkan manusia agar mereka memilikinya, dan melindungi hak miliknya itu dari orangorang zalim yang akan merampasnya. Pemotongan tangan pencuri merupakan ganjaran yang setimpal atas apa yang mereka perbuat. Dibenarkan membela dan mempertahankan harta bendanya dan memerangi perampasnya, dan kalau ia terbunuh dalam membela harta miliknya, ia mati syahid sebagaimana orang syahid dalam membela agama, atau darah, atau keluarganya.
Kehadiran Islam dimuka bumi sebagai bentuk dari keberadaan Allah dan sebagai bukti terhadap kehadiran manusia sebagai khalifahNya. Melalui pikiran ajaran Islam dengan roh Al-Qur’an dan hadis nabi yang membolehkan kepemilikan individu serta membatasi kepemilikan tersebut dengan mekanisme tertentu, bukan dengan cara pemberangusan (perampasan). Sehingga dengan begitu, cara (mekanisme) tersebut sesuai dengan fitrah manusia serta mampu mengatur hubungan-hubungan antar personal di antara mereka. Islam juga telah memberikan jaminan kepada manusia agar bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara menyeluruh.
Islam memiliki konsep yang khas mengenai hak kepemilikan, yang berbeda dengan kapitalisme dan sosialisme. Meskipun pandangan Islam seolah berada pada pertengahan pandangan kapitalisme dan sosialisme, tetapi ia merupakan konsep yang orisinal. Dalam ekonomi Islam bukan hanya sekedar wacana yang harus ditumbuh-kembangkan dalam kebebasan kepemilikan dan kebebasan berusaha tapi makna dari kebebasan dikebiri menjadi titik pemisah dari kebolehan kepemilikan dan kebolehan berusaha sepanjang tidak bertentangan dengan kaidahkaidah syariah. Konsep hak kepemilikan ini didasarkan atas sumber utama agama Islam, yaitu Al Qurʹan dan Hadist.

1.      Prinsip-Prinsip Dasar Hak Kepemilikan Dalam Pandangan Islam
Pertama, bahwa pemilik mutlak (the absolute owner) alam semesta ini, termasuk sumber daya ekonomi, adalah Allah swt. Karenanya, pemanfaatan dan pengelolaan alam semesta tentu saja harus (secara mutlak) tunduk dengan ketentuan yang digariskan oleh Allah swt. Ketundukan terhadap segala ketentuan Allah swt sebenarnya merupakan prinsip yang paling dasar dalam Islam sehingga berbeda dengan sistem ekonomi lainnya. Allah telah menciptakan manusia dan memberikannya kekuatan jasmani dan rohani untuk menegakkan kekhalifahan di muka bumi dan memakmurkannya. Semua itu tidak terlepas dari hubungan manusia dengan Allah. Terlihat hikmah penciptaan manusia dengan segala tabiat yang dimilikinya.Selanjutnya, Allah menurunkan syariat yang tidak bertentangan dengannya.
Allah tidak menciptakan makhluk yang mulia ini, yang kepadanya disediakan segala fasilitas di langit dan di bumi, lalu membiarkannya merumuskan sendiri syariat, hukum, dan peraturan, untuk dilaksanakan oleh sebagian manusia yang lain. Ringkasnya, manusia tidak boleh memutuskan sesuatu kecuali harus sesuai dengan syariat dan peraturan yang telah ditentukan untuknya yang ia diciptakan.
Kedua, bahwa manusia diberikan hak milik terbatas (limited ownership) oleh Allah swt atas sumber daya ekonomi, di mana batasan kepemilikan dan cara pemanfaatannya telah ditentukanNya. Jadi manusia hanyalah mewarisi hak milik yang diberikan Allah. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa: (1) hak milik tidak merupakan sesuatu yang permanen, dalam arti berlaku selamanya secara mutlak. Ia dapat berubah sesuai dengan ketentuan perubahan yang diatur dalam agama Islam; (2) di samping ada hak kepemilikan, terdapat pula kewajibankewajiban yang harus ditunaikan. Hak dan kewajiban merupakan sebuah pasangan yang logis, sehingga keduanya harus ditunaikan. Bahkan, terkadang datangnya kewajiban ini mendahului datangnya hak yang harus dipenuhi oleh manusia atas manusia lainnya.
Ketiga, bahwa pada dasarnya Allah menciptakan alam semesta bukan untuk diriNya sendiri, melainkan untuk kepentingan sarana hidup (wasilah al hayah) bagi makhluk (alam semesta dan isinya) agar tercapai kemakmuran dan kesejahteraan. Allah tidak membutuhkan apa pun yang ia ciptakan (makhluk), tetapi makhluklah yang membutuhkan Allah. Ia adalah Tuhan sekalian alam, pemilik dan pengatur segala urusan. Hanya di tanganNyalah penciptaan dan letak rezeki, mati dan hidup, penentuan halal dan haram. Hanya Allah yang berhak diagungkan, disucikan. Jika kita menemukan individu atau komunitas manusia yang berkata, ʹakulah pemilik rezeki, pengatur segala urusan, pemimpin manusia serta penentu undangundang, maka itu berarti mengeluarkan manusia dari cahaya tauhid dan menjerumuskannya ke dalam kegelapan penyembahan selain Allah. Konsep dasar ketiga elemen ini yang menjadi penentu13 terhadap keberhasilan pikiran manusia dalam melaksanakan kewajiban, baik berhubungan secara horizontal maupun vertikal.
2.      Jenis Kepemilikan
Secara umum ulama fiqh membagi pemilikan itu kepada dua bentuk, yaitu :
a)      Al-Milk Al-Tamm atau milik yang sempurna, yaitu apabila materi dan manfaat harta itu dimiliki sepenuhnya oleh seseorang, sehingga seluruh hak terkait dengan harta itu di bawah penguasaannya. Milik seperti ini bersifat mutlak, tidak dibatasi dan tidak boleh digugurkan oleh orang lain.
b)      Al-Milk An-Naqish atau milik yang tidak sempurna, yaitu apabila seseorang menguasai fisik suatu benda, tetapi manfaatnya dibawah penguasaan orang lain, seperti sawah yang pemanfaatannya diserahkan kepada orang lain, baik melalui sewa menyewa maupun peminjaman. Bisa disimpulkan bahwa seseorang hanya memiliki salah satu dari fisik atau manfaatnya saja. Seperti wakaf, ijarah, atau washiyah.
Dilihat dari segi salah satu yang dimiliki, milik dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a)      Milk Al-'Ain, yaitu memiliki semua  benda, baik benda tetap maupun benda-benda yang dapat dipindahkan  seperti pemilikan terhadap rumah, kebun, mobil dan motor, pemilikan terhadap benda-benda disebut milk al-‘ain.
b)      Milk al-Manfaah, yaitu seseorang yang hanya memiliki manfaatnya saja dari suatu benda, seperti benda hasil meminjam, wakaf dan lainnya.
c)      Milk al-Dayn, yaitu pemilikan karena adanya hutang, seperti sejumlah uang dipinjamkan kepada seseorang atau pengganti benda yang dirusakkan, hutang adalah sesuatu yang wajib dibayar oleh orang yang berhutang.
3.      Macam-Macam Kepemilikan
Islam memiliki suatu pandangan yang khas mengenai masalah kepemilikan yang berbeda dengan pandangan kapitalisme dan sosialisme. Islam tidak mengenal adanya kebebasan kepemilikan karena pada dasarnya setiap perilaku manusia harus dalam kerangka syariah termasuk masalah ekonomi. Islam mengatur cara perolehan dan pemanfaatan kepemilikan. Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani ada tiga macam kepemilikan yaitu :

a)      Kepemilikan Individu atau Pribadi (Milkiyah Fardhiah)
  Individu (Milkiyah Fardhiah) adalah idzin syariat pada individu untuk memanfaatkan suatu barang melalui lima sebab kepemilikan (asbab al-tamalluk) individu yaitu :
Ø  Bekerja (al-’amal).
Ø  Warisan (al-irts).
Ø  Keperluan harta untuk mempertahankan hidup.
Ø  Pemberian negara (i’thau al-daulah) dari hartanya untuk kesejahteraan rakyat berupa tanah pertanian, barang dan uang modal.
Ø  Harta yang diperoleh individu tanpa berusaha seperti hibah, hadiah, wasiat, diat, mahar, barang temuan, santunan untuk khalifah atau pemegang kekuasaan pemerintah.
   Kekayaan yang diperoleh melalui bekerja (al-’amal) meliputi upaya menghidupkan tanah yang mati (ihya’u al-mawat), mencari bahan tambang, berburu, pialang (makelar), kerjasama mudharabah, musyaqoh, pegawai negeri atau swasta .
   Karena penguasaan terhadap milik negara atas pribadi yang sudah lebih dari tiga tahun. Umar r.a. ketika menjabat khalifah ia berkata,”Sebidang tanah akan menjadi milik seseorang yang memanfaatkannya dari seseorang yang tidak memanfaatkannya selama tiga tahun.” Hanafiyah berpendapat bahwa tanah yang belum ada pemiliknya kemudian dimanfaatkan oleh seseorang, maka orang itu berhak memiliki tanah itu.
b)      Kepemilikan Umum (Milkiyah ‘Ammah)
Kepemilikan Umum (Milkiyah ‘Ammah) adalah idzin syariat kepada masyarakat secara bersama-sama memanfaatkan suatu kekayaan yang berupa barang-barang yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kepemilikan umum, individu-individu dibolehkan mengambil manfaat dari kekayaan tersebut, namun terlarang memilikinya secara pribadi. Ada tiga jenis kepemilikan publik:
Ø  Sarana umum yang diperlukan oleh seluruh warga negara untuk keperluan sehari-hari seperti air, saluran irigasi, hutan, sumber energi, pembangkit listrik, dan lain-lain.
Ø  Kekayaan yang asalnya terlarang bagi individu untuk memilikinya seperti jalan umum, laut, sungai, danau, teluk, selat, kanal, lapangan, masjid dann lain-lain. Barang tambang (sumber daya alam) yang jumlahnya melimpah, baik berbentuk padat (seperti emas atau besi), cair (seperti minyak bumi), atau gas (seperti gas alam).
Rasulullah saw. Bersabda yang artinya : ”Kaum Muslim sama-sama membutuhkan tiga perkara: padang, air dan api”. (HR Abu Dawud dan Ibn Majah).
c)      Kepemilikan Negara (Milkiyah Daulah).
Kepemilikan Negara (Milkiyah Daulah) adalah idzin syariat atas setiap harta yang hak pemanfaatannya berada di tangan khalifah sebagai kepala negara. Termasuk dalam kategori ini adalah harta ghanimah (pampasan perang), fa’i, kharaj, jizyah, 1/5 harta rikaz (harta temuan), ‘ushr, harta orang murtad, harta yang tidak memiliki ahlli waris dan tanah hak milik negara.
4.      Sebab-Sebab Kepemilikan Dalam Islam
Ada beberapa pendapat ulama tentang sebab-sebab kepemilikan dalam islam. Menurut Ahmad Azhar Basyir cara untuk memiliki dengan sempurna ada 4, yaitu menguasai benda mubah, menghidupkan tanah mati, berburu, akad pemindahan kepemilikan. Sedangkan dalam pandangan lain, kepemilikan itu dapat diperoleh dengan salah satu cara berikut ini :
a.       Ihraz Mubahat atau usaha yang dilakukan dalam  pemilikan benda bebas, bebas di sini berarti belum ada yang memiliki secara sah dan jelas.  Harta bebas yang dimaksud di sini adalah seluruh harta yang tidak dalam status dilindungi atau dimiliki atau dipelihara pihak lain termasuk negara serta harta yang tidak berstatus dilarang secara syar’i. Seperti ikan di laut, rumput atau bunga di pinggir jalan, jamur di pepohonan, pohon kayu di hutan. Pada dasarnya semua benda tersebut adalah mubahat artinya boleh dimiliki asal ada 2 syarat yang harus diperhatikan:
i)        Tidak ada orang yang lebih dulu melakukan ihraz mubahat. Maka berlaku siapa yang terlebih dahulu menguasai ‘harta bebas’ berarti dialah pemilik benda tersebut. Misalnya seorang petani jamur mengumpulkan jamur dari hutan liar, kemudian dibawa pulang dan disimpan di dalam rumahnya.  Pada kasus ini, kita bisa bedakan status jamur di dua tempat, ketika masih di hutan sifatnya masih berstatus barang bebas ketika telah berada di rumah petani, maka jamur tersebut adalah milik pribadi.
ii)      Penguasaan harta tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memiliki. Misalnya, ketika menangkap ikan di sungai kemudian dilepaskan kembali maka kasus tersebut tidak di sebut ihraz mubahat, karena tidak ada niat dari penangkap untuk memilikinya. Tetapi ihraz mubahat ini akan terbatas bila dibawa ke konsep negara, karena negara punya batasan tersendiri dalam mengatur kepemilikannya. Artinya orang tidak bisa seenaknya mengambil benda atau barang di tempat yang dilindungi negara, misalnya barang tambang, cagar alam, hutan lindung, cagar warisan dunia.
b.      Al-Tawallud Minal Mamluk, atau sesuatu yang dihasilkan dari sesuatu, atau biasa disebut berkembang biak. Dalam hal ini berlaku kaidah ‘apapun yang muncul atau dihasilkan oleh suatu harta milik maka itu adalah milik pemilknya. Harta yang disebut Al-tawallud biasanya harta produktif misalnya anak hewan ternak, susu, madu, hewan yang mengasilkan telur, dan kebun yang menghasilkan buah dan bunga. Sedangkan harta yang dihasilkan dari benda mati seperti sewa, keuntungan, atau bagi hasil tidak disebut Al-tawallud, tetapi disebut tijarah atau hasil usaha/kerja keras. Secara sederhana di jelaskan, karena memang rumah, mobil, motor, uang secara lahir tidak mampu bertelur, ataupun beranak.
c.       Al-Khalafiyah atau penggantian seseorang atau sesuatu yang baru menduduki posisi kepemilikan yang lama. Dengan demikian Al-Khalafiyah terbagi dua, yaitu penggantian seseorang atas orang lain, misalnya dalam pewarisan. Ketika seorang wafat maka ahli waris menggantikan posisi kepemilikannya. Jika seorang wafat dan tidak meninggalkan harta apapun untuk melunasi hutangnya, menurut Musthafa Al- Zarqa ahli waris tidak berhak dituntut untuk melunasi hutangnya. Kedua adalah pegantian benda atas benda lainnya. Jika seseorang menghilangkan barang seseorang atau merusaknya, maka dia harus mengganti dengan barang yang baru. Oleh sebab itu benda tersebut akan beralih pemilikan akan berpindah ke yang baru.
Ø  Khalafiyah syakhsy ‘an syakhsy, yaitu si waris menempati tempat si muwaris dalam memiliki harta benda yang ditinggalkan oleh muwaris, harta yang ditinggalkan oleh muwaris disebut tirkah.
Ø  Khalafiyah syai’an syai’in, yaitu apabila seseorang merugikan milik orang lain atau menyerobot barang orang lain, kemudian rusak ditangannya atau hilang, maka wajiblah dibayar harganya dan diganti kerugian-kerugian pemilik harta. Maka khalafiyah syai’an syai’in ini disebut tadlmin atau ta’widl (menjamin kerugian).
d.      Al- ‘Aqd atau Akad adalah pertalian antara ijab dan qabul yang sesuai hukum syara’ yang memberi pengaruh terhadap objek akad. Akad merupakan sebab kepemilikan yang paling kuat dan paling luas berlaku dalam kehidupan manusia. Akad terbagi dua, yaitu pertama, Uqud jabariah (akad secara terpaksa), yang dilaksanakan secara otoritas pengadilan secara langsung atau kuasa hukumnya. Seperti paksaan menjual harta atau melunasi hutang, kekuasaan hakim untuk menjual barang timbunan untuk kemaslahatan manusia. Kedua, tamlik jabari (pemilikan secara paksa) dalam hal ini lebih diutamakan untuk kepentingan umum, misalnya untuk perluasan mesjid, maka syari’at islam membolehkan pemilikan paksa tanah yang ada di sekitar masjid.
Adanya hak orang lain (hak masyarakat) terhadap hak milik yang di peroleh seseorang dibuktikan dengan antara lain adanya ketentuan:
a.       Pelarangan menimbun barang
      Dalam ketentuan syariat Islam, seseorang pemilik harta tidak diperbolehkan untuk menimbun barang dengan maksud agar harga barang tersebut naik secara drastis, terutama barang-barang yang merupakan kebutuhan masyarakat banyak, seperti bahan bangunan (semen), bahan makanan (beras), bahan pendidikan (kertas), dan sebagainya.
      Larangan tentang hal ini dapat dijumpai dalam:
1)      Hadis yang diriayatkan Raziim dalam Al-jami’nya menyebutnya bahwa Nabi Muhammad bersabda, “Sejelek-jeleknya hamba adalah si penimbun. Jika mendengar barang murah , ia murka. Jika barang menjadi mahal, ia bergembira”.
2)      Hadis yang diriwayatkan Abu Daut, At-Tarmizi dan Muslim dari Mu’ammar bahwa Nabi Muhammad bersabda, “Siapa yang melakukan penimbunan, ia dianggap bersalah”. (Sayyid Sabiq (12), 1988: 99).
b.      Larangan memanfaatkan harta untuk hal-hal yang membahayakan masyarakat
Dalam hal ini, kalaupun harta tersebut merupakan milik individu, tetapi dalam penggunaan harta tersebut tidak diperbolehkan untuk hal-hal yang mengakibatkan timbulnya bahaya atau kerusakan bagi masyarakat banyak. Baik itu yang membahayakan terhadap kehidupan beragama (seperti buku-buku yang isinya menyesatkan dan membawa kekafiran), terhadap akal pikiran manusia (seperti menjual minuman yang memabukkan, heroin, dan obat terlarang lainya) maupun terhadap keutuhan bangsa dan negara ( seperti menjual senjata kepada pihak musuh dan lain-lain.
c.       Pembekuan harta
Dalam rangka menghormati hak-hak masyarakat dalam sesuatu benda yang dimiliki oleh seseorang maka perbuatan pembekuan harta oleh seseorang pemilik barang oleh syariat Islam sangat dicela karena perbuatan tercela. Pengembangan harta untuk tujuan-tujuan yang produktif adalah merupakan tututan dari harta tersebut.
Untuk ini, Abdullah Syah (Guru Besar IAIN Sumatera Utara) mengemukakan, “Islam mewajibkan zakat dari harta simpanan yang tidak digunakan untuk proyek-proyek yang bermanfaat, sebagaimana halnya zakat diwajibkan dari harta yang digunakan untuk produksi. Tujuannya agar pemilik-pemilik modal mau mengembangkan harta mereka. “(Abdullah Syah, 1992: 16).
Dari uraian di atas, jelas terlihat bahwa baik atas harta/benda yang tidak produktif maupun atas harta/benda yang produktif, sama-sama dikenai kewajiban untuk membayar zakat. Dengan demikian, pemilik harta didorong untuk mengembangkan hartanya untuk hal-hal yang produktif.
Lebih lanjut beliau mengemukakan “Islam mencabut hak milik atas tanah pertanian yang diberikan pemerintah kepada orang yang sanggup mengusahakannya/menghidupkannya. Akan tetapi, setelah berlalu masa 3 tahun tanah tersebut belum juga ditanami, Islam mencabut dan memberikannya kepada orang yang akan menanaminya. Malahan membiarkan tanah pertanian tanpa tanaman adalah sesuatu perbuatan yang zalim terhadap anggota masyarakat yang menanti hasilnya. Hal itu juga bearti kezaliman terhadap orang kafir yang menanti hasilnya agar ia memperoleh bagian dari hasil produksi tanah tersebut. “(Abdullah Syah, 1992: 17).
d.      Pengembangan harta
Dalam hal pegembangan harta menurut pandangan Islam harus diperhatikan hak-hak masyarakat. Oleh karena itu, Islam sangat mencela orang-orang yang mengembangkan harta (termasuk membelanjakan harta) terhadap hal-hal yang membahayakan masyarakat banyak.
Yang dimaksud membahayakan masyarakat di sini adalah melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi yang membahaykan kepentingan masyarakat banyak ditinjau dari sudut pandang Islam. Misalnya, memproduksi (demikian juga halnya mendengar atau mendistribusikan) barang-barang yang tidak boleh dimiliki dan atau dikonsumsi menurut pandangan Islam, seperti memproduksi atau menjual buku, kaset, dan film yang isinya menyesatkan dan membawa kekafiran. Memproduksi atau menjual makanan dan minuman yang dilarang, seperti makanan haram, minuman keras, dan obat-obatan terlarang lainnya.
Prinsip pokok dalam hal pengembangan harta dalam pandangan Islam adalah kegiatan ekonomi harus tetap sejalan atau tidak bertentangan dengan akidah. Sebagai bahan renungan dapat dilihat ketentuan terdapat dalam surah Hud (11): 84,86, dan 87
5.      Faktor-Faktor Adanya Kepemilikan
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kepemilikan dalam syariah ada empat macam yaitu:
Ø  Kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan. Kepenguasaan dalam hal ini adalah hak untuk memiliki dan menggunakan atau memanfaatkan atas barang-barang yang diperbolehkan untuk dimiliki. Dalam hal ini banyak ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh pemilik agar barang dapat dimiliki secara utuh (dalam konteks istikhlaf)
Ø  Akad. Adanya model semacam transakasi (akad) sebagai penguat secara syar’i dan hukum yang berlaku bahwa barang atau harta bisa dimiliki oleh seseorang dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Ø  Penggantian. Penggantian kepemilikan bisa terjadi oleh beberapa hal dengan beberapa cara. Salah satunya adalah dengan transaksi jual beli, dalam tansaksi ini pemilik barang atau harta yang lama ingin melimpahkan kepemilikannya kepada orang lain dengan mengganti kepemilikan tersebut melalui proses jual beli, atau bisa juga pemilik lama langsung memberikan hak kepemilikannya tanpa melalui proses yang bernilai ekonomi, akan tetapi lebih mengedepankan nilai-nilai agama atau sosial, seperti wakaf,infaq, shodaqoh.
Ø  Turunan dari sesuatu yang dimiliki. Kepemilikan seseorang atas suatu harta atau barang bisa bersifat turunan kepemilikan atas barang yang sudah dimilikinya. Hal ini dikarenakan kepemilikan barang yang menjadi turunan merupakan bagian dari barang yang telah dimiliki dari awal.
6.      Penerapan Hak Milik
Mazhab Maliki dan Hanafi mengemukakan teori ta`asuf yang didalam penerapannya terhadap hak milik sebagai berikut:
a.       Tidak boleh menggunakan hak kecuali untuk mencapai maksud yang dituju dengan mengadakan hak tersebut.
b.      Menggunakan hak dianggap tidak menurut agama jika mengakibatkan timbulnya bahaya yang tidak lazim.
c.       Tidak boleh menggunakan hak kecuali untuk mendapat manfaat bukan untuk merugikan orang lain.
d.      Tidak boleh menggunakan hak melebihi aturan syari’ah.
e.       Tidak boleh menggunakan hak yang lebih condong ke madharatnya dari pada manfaatnya.
Hak yang dijelaskan di atas, adakalanya merupakan sultah dan taklif.
a.       Sultah terbagi dua, yaitu:
Ø  Sultah ‘ala al nafsi ialah hak seseorang terhadap jiwa, seperti hak pemeliharaan anak.
Ø  Sultah ‘ala syai’in mu’ayanin ialah hak manusia untuk memiliki sesuatu, seperti seseorang berhak memiliki sebuah mobil.
b.      Taklif  adalah orang yang bertanggung jawab. Taklif adakalanya tanggungan pribadi (`ahdah syakhşiyah) seperti seseorang buruh menjalankan tugasnya, adakalanya tanggungan harta (‘ahdah maliyah) seperti membayar utang.

A.    PENDAPATAN
1.      Pengertian Pendapatan
Pendapatan secara islam merupakan hak seseorang yang diterima melalui due metode. Metode pertama adalah ujrah (kompensasi, imbal jasa, upah). Sedangkan yang kedua adalah bagi hasil. Seorang pekerja berhak meminta sejumlah uang sebagai bentuk kompensasi atas kerja yang dilakukan. Demikian pula berhak meminta bagian profit atau hasil dengan rasio bagi hasil tertentu sebagai bentuk kompensasi atas kerja, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Sabda Rasullulah saw. Hadist riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabda diriwayatkan dari Umar ra, bahwasannya Nabi Muhammad saw bersabda, “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”.
Sedangkan Pendapatan secara umum adalah jumlah uang yang diterima oleh perusahaan dari aktivitasnya, kebanyakan dari penjualan produk dan/atau jasa kepada pelanggan. Bagi investor, pendapatan kurang penting dibanding keuntungan, yang merupakan jumlah uang yang diterima setelah dikurangi pengeluaran.
Dalam ekonomi islam terdapat juga yang disebut parameter al-falah. Falah adalah kesejahteraan yang hakiki, kesejahteraan yang sebenar-benarnya, dimana komponen-komponen ruhaniah masuk kedalam pengertian falah ini. Ekonomi Islam dalam arti sebuah sistem ekonomi atau (midhom al-iqtishad) merupakan sebuah sistem yang dapat mengantarkan umat manusia kepada falah, kesejahteraan yang sebenarnya diwujudkan pada peningkatan GNP yang tinggi yang kalau dibagi dengan jumlah penduduk akan menghasilkan pendapatan perkapita yang tinggi.
Jika hanya itu ukurannya, maka kapitalisme modern akan mendapat angka maksimal. Akan tetapi pendapatan perkapita yang tinggi bukan satu-satunya komponen pokok untuk menyusun kesejahteraan. Ia hanya merupakan necessary condition dalam isu kesejahteraan dan bukan sufficien condition. Al-falah dalam pengertian Islam mengacu kepada konsep Islam tentang manusia itu sendiri.
Maka dari itu selain harus memasukkan unsur falah dalam menganalisis kesejahteraan, penghitungan pendapatan nasional Islam juga harus mampu mengenali bagaimana interaksi instrumen-instrumen wakaf, zakat, dan sedekah dalam meningkatakan kesejahteraan umat.
Pada intinya ekonomi Islam harus mampu menyediakan suatu cara untuk mengukur kesejahteraan ekonomi dan kesejahteraan sosial berdasarkan sistem moral dan sosial Islam. Setidaknya ada empat hal yang semestinya bisa diukur dengan pendekatan pendapatan nasional berdasarkan ekonomi Islam, sehingga tingkat kesejahteraan bisa dilihat secara lebih jenih .
2.      Prinsip Perhitungan Ekonomi Islam
Perhitungan ekonmi islam terdapat prinsip yang harus dipegang teguh dalam perhitungan pendapatan nasional, yaitu :
a.       Pendapatan national harus menggambarkan pendapatan masyarakat yang sesuai dengan penyebaran penduduk.
b.      Pendapatan National perkotaan dan pedesaan harus dapat dibedakan, karena secara jelas produksinya tidak dapat disamakan.
c.       Pendapatan Nasional harus dapat mengukur secara jelas kesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya.
3.      Sumber-Sumber Pendapatan Dalam Islam
a)      Ghanimah
Secara etimologi berasal dari kata ghanama-ghanimatuh yang berarti memperoleh jarahan ‘rampasan perang’. Harta ini adalah harta yang didapatkan dari hasil peperangan dengan kaum musyrikin. Yang menjadi sasarannya adalah orang kafir yang bukan dalam wilayah yang sama (kafir dzimmi), dan harta yang diambil bisa dari harta yang bergerak atau harta yang tidak bergerak, seperti: perhiasan, senjata, unta, tanah, dll. Untuk porsinya 1/5 untuk Allah dan Rasulnya, kerabat Rasul, anak yatim, dan fakir miskin, dan ibn sabil, dan 4/5 untuk para balatentara yang ikut perang. Kemudian sisanya disimpan di Baitul Mal untuk didistribusikan kemudian.
b)      Shadaqah
Secara etimologi adalah berasal dari kata shadaqa yang berarti benar, pembuktian, dan syahadat (keimanan) yang diwujudkan dengan bentuk pengorbanan materi. Menurut Ibnu Thaimiyah shadaqah adalah zakat yang dikenakan atas harta kekayaan muslim tertentu.
Shadaqah dibagi kedalam tiga kategori, yaitu:
i)        Shadaqah dalam pengertian pemberian sunnah yaitu pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima shadaqah tanpa imbalan tersebut.
ii)      Shadaqah dalam pengertian zakat yaitu karena dalam beberapa nash lafadz shadaqah mempunyai arti zakat, dalam hal ini shadaqah merupakan kata lain dari zakat. Namun demikian penggunaan kata shadaqah dalam arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak, artinya untuk mengartikannya harus berdasarkan indikasi atau qarinah tertentu yang sudah jelas.
Nabi bersabda: kullu ma’rufin shadaqatun, artinya “Setiap kebajikan adalah shadaqah”. (H.R Muslim)
Berdasarkan hadits ini, maka mencegah dari maksiat, memberi nafkah kepada keluarga, beramal ma’ruf nahi mungkar, menumbuhkan syahwat kepada istri, dan tersenyum adalah bentuk shadaqah.
c)      Infaq
Infaq diambil dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan sesuatu (harta) untuk kepentingan sesuatu. Menurut literature yang lain infaq berarti mengeluarkan sebagian harta atau pendapatan untuk satu kepentingan yang diperintahkan ajaran islam. Dalam infaq tidak mengenal yang  namanya nisab, asnaf, dan subjeknya, artinya orang kafirpun bisa mengeluarkan infaq yang dialokasikan untuk kepentingan agamanya. Infaq ini boleh diberikan kepada siapa saja dan berapa saja. Untuk ruang lingkupnya infaq lebih luas daripada zakat yang mana hanya untuk orang muslim saja.
d)     Zakat
Kata zakat berasal dari kata zaka (menumbuhkan), ziadah (menambah), barakah (memberkatkan), thathir (menyucikan), dan an-nama (berkembang). Adapun menurut syara’ zakat adalah hak yang telah ditentukan besarnya yang wajib dikeluarkan pada harta-harta tertentu dan pada orang-orang yang tertentu pula dengan catatan harta tersebut adalah milik penuh seseorang, mencapai hawl, dan nisabnya, dalam hal ini zakat dikenakan kepada harta bukan kepada jiwa (jizyah). Di antara objek zakat itu adalah: binatang ternak (unta, sapi, kerbau, dan kambing), emas dan perak, biji-bijian (beras, jagung, dan gandum), buah-buahan (kurma dan anggur saja), harta perniagaan sama seperti syarat-syarat yang telah disebutkan dalam zakat emas dan perak, dll).  Zakat merupakan jaminan pemerintah terhadap rakyatnya yang miskin, agar hartanya (fakir-miskin) yang menempel kepada orang kaya bisa mereka gunakan untuk memenuhi kehidupannya.
e)      ‘Ushr
‘Ushr oleh kalangan ahli fiqh disebut sepersepuluh yang dalam hal ini memiliki dua arti. Pertama, sepersepuluh dari lahan pertanian yang disirami dengan air hujan. Kedua, sepersepuluh diambil dari pedagang-pedagang kafir yang memasuki wilayah islam dengan membawa barang dagangan. ‘Ushr diwajibkan hanya ketika ada hasil yang nyata dari tanahnya. Tanah yang sudah diwakafkan tetap diperlakukan sebagai tanah ‘ushr jika pemilik sudah menanami tanah tersebut. Yang termasuk kedalam harta ‘ushr adalah hasil pertanian dan perkebunan (buah, madu, dll.). Untuk hasil pertanian yang diairi dengan sumber alami (hujan, sumber air, dan arus) maka ‘ushr porsinya 10%, apabila pengairan tersebut masih menggunakan ala-alat produksi lain (alat irrigasi, sumur, dll) maka ‘ushrnya adalah 5%, dan untuk pengambilan ‘ushr ini adalah apabila sudah panen.
f)       Jizyah
Asal kata dari jizyah adalah jaza’ yang berarti kompensasi, sedangkan menurut istilah adalah beban yang diambil dari penduduk non-muslim yang berada di negara islam sebagai biaya perlindungan atas kehidupan atau jiwa, kekayaan, dan kebebasan menjalankan agama mereka, dll. Jizyah dikenakan kepada orang kafir karena kekafirannya bukan kepada hartanya. Dalam hal ini para laki-laki yang mampu, orang kaya, dll. yang hidup dan tinggal dalam lingkungan negara islam. Jizyah merupakan bentuk daripada ketundukan seseorang kepada kekuasaan islam, membayar jizyah itu karena orang non-muslim itu bisa menikmati fasilitas umum bersama orang muslim (kepolisian, pengadilan, dll), dan ketidakwajiban ikut perang bagi para non-muslim. Akan tetapi ketidak wajiban ini bukan semata-mata karena mereka sudah membayar jizyah, ini merupakan keadilan islam yang mutlak karena perang dalam islam sangat erat hubungannya dengan aqidah (jihad fii sabilillah).  Untuk tarif atau jumlah jizyah yang akan diambil berbeda-beda, akan tetapi yang pasti adalah dengan menggunakan perinsip keadilan.
g)      Kharaj
Secara harfiah kharaj berarti kontrak, sewa-menyewa atau menyerahkan. Dalam terminologi keuangan islam kharaj adalah pajak atas tanah atau hasil tanah. Yang mana diambil dari tanahnya orang non-muslim yang sudah ditaklukan dan tanah tersebut sudah diambil alih orang muslim. Dengan keringanan dari orang islam maka non-muslim tersebut masih bisa menguasai tanahnya untuk bercocok tanam yang hasilnya akan dibagi 50%-50%  antara non-muslim dan orang islam.
Dalam hal ini kharaj dibagi kedalam dua bagian, yaitu: Kharaj yang dikenakan pada tanah (pajak tetap) artinya pajak tersebut tetap atas tanahnya selama setahun, dan hasil tanah (pajak proporsional) akan dikenakan sebagai bagian dari total hasil produksi pertanian. Sama seperti halnya pendapatan lain maka kharaj juga akan didistribusikan kepada kepentingan seluruh kaum muslimin.
h)      Waqaf
Wakaf  secara harfiyah berarti berhenti, menahan, atau diam. Dalam hukum islam wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf) baik berupa perorangan maupun lembaga, dengan ketentuan bahwa hasilnya akan dipergunakan sesuai dengan syariat islam. Dalam literatur yang lain wakaf  mempunyai pengertian ‘suatu tindakan penahanan dari penggunaan dan penyerahan asset di mana seseorang dapat memanfaatkan hasilnya untuk tujuan amal sepanjang barang tersebut masih ada’.
Harta yang sudah diwakafkan keluar dari hak miliknya (wakif), bukan pula harta tersebut adalah milik lembaga pengelola wakaf, akan tetapi milik Allah yang harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
4.      Distribusi Pendapatan
Pengertian dan Prinsip Distribusi pendapatan dalam Islam merupakan penyaluran harta yang ada, baik dimiliki oleh pribadi atau umum (publik) kepada pihak yang berhak menerima yang ditunjukan untuk meningkatkan kesejahteran masyarakat sesuai dengan syariat. Fokus dari distribusi pendapatan dalam Islam adalah proses pendistribusiannya.
Kebutuhan menjadi alasan untuk mencapai pendapatan minimum. Sedangkan kecukupan dalam standar hidup yang baik adalah hal yang mendasari sistem distribusi-redistribusi pendapatan baru dikaitkan dengan kerja dan kepemilikan pribadi. Islam menawarkan suatu penyelesaian yang sangat baik atas masalah pendapatan dan menyelamatkan kepentingan kedua belah pihak antara, kelas pekerja tanpa melanggar hak-hak yang sah dari majikan. Dalam perjanjian (tentang pendapatan) kedua belah pihak diperingatkan untuk bersikap jujur dan adil dalam semua urusan mereka, sehingga tidak terjadi tindakan aniaya terhadap orang lain juga tidak merugikan kepentingannya sendiri.
Penganiayaaan terhadap para pekerja berarti bahwa mereka tidak dibayar secara adil dan bagian yang sah dari hasil kerja sama sebagai jatah dari pendapatan mereka tidak mereka peroleh, sedangkan yang dimaksud dengan penganiayaan terhadap majikan yaitu mereka dipaksa oleh kekuatan industri untuk membayar pendapatan para pekerja melebihi dari kemampuan mereka.
Oleh karena itu al-Quran memerintahkan kepada majikan untuk membayar pendapatan para pekerja dengan bagian yang seharusnya mereka terima sesuai kerja mereka, dan pada saat yang sama dia telah menyelamatkan kepentingannya sendiri. Demikian pula para pekerja akan dianggap penindas jika dengan memaksa majikan untuk membayar melebihi kemampuannya.
Prinsip keadilan yang sama tercantum dalam surat al-Jaatsiyah ayat 22:
Artinya: “Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan.”
Prinsip dasar ini mengatur kegiatan manusia karena mereka akan diberi balasan di dunia dan di akhirat. Setiap manusia akan mendapat imbalan dari apa yang telah dikerjakannya dan masing-masing tidak dirugikan. Ayat ini menjamin tentang upah yang layak kepada setiap pekerja sesuai dengan apa yang telah
B.     KERJA
1.      Pengertian Kerja
Kerja adalah suatu cara untuk memenuhi kebutuhan manusia baik kebutuhan fisik, psikologis, maupun sosial. Dengan pekerjaan manusia akan memperoleh kepuasan-kepuasan tertentu yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik dan rasa aman, serta kebutuhan sosial dan kebutuhan ego.
Selain itu kepuasan seseorang terhadap pekerjaan juga diperoleh melalui berbagai bentuk kepuasan yang dapat dinikmati diluar kerja, misalnya kepuasan sewaktu bekerja, menikmati liburan, dan yang lebih mendasar lagi dapat menghidupi diri dan keluarga.
2.      Falsafah Kerja
Rezeki adalah urusan Allah, manusia hanya wajib berusaha sekuat tenaga dan jangan sampai kita merasa angkuh setelah mendapatkan rezeki yang banyak, karena meskipun telah berusaha semaksimal mungkin, tanpa campur tangan Allah tidak mungkin rezeki itu akan menghampiri kita.Orang yang melakukan kerja apa saja, lazimnya cenderung melihat pada imbalan kerja (upah) yang mereka terima, tanpa memikirkan apakah imbalan itu baik dan halal.
Pada umumnya orang hanya berorientasi pada sabda Rasulullah Saw: “Berikanlah upah kepada pekerja”, tetapi melupakan kelanjutan yang berbunyi “Sebelum kering keringatnya”, ini berarti bahwa yang dimaksud pekerjaan yang mendapatkan upah itu ialah pekerjaan yang memeras otak atau tenaga. Sedangkan pekerjaan dalam bentuk apapun yang tidak menimbulkan suatu tanggung jawab atau tidak mencucurkan keringat, atau tidak perlu harus berusaha payah, maka tidak halal anda menerima upah dan imbalan.
a)      Kewajiban mencari rizki yang halal:
Bekerja mencari yang halal itu suatu kewajiban sesudah kewajiban beribadah”. (HR. Thabrani dan Baihaqi)
b)      Ancaman terhadap orang yang tidak mau bekerja mencari yang halal
Orang yang paling rugi di hari kiamat kelak adalah orang yang mencari harta secara tidak halal, sehingga menyebabkan ia masuk neraka”.(HR. Bukhari)
5.      Aspek Pekerjaan Dalam Islam
Aspek pekerjaan dalam Islam meliputi empat hal yaitu :
i)        Memenuhi kebutuhan sendiri
Islam sangat menekankan kemandirian bagi pengikutnya. Seorang muslim harus mampu hidup dari hasil keringatnya sendiri, tidak bergantung pada orang lain. 
Hal ini diantaranya tercermin dalah hadist berikut : Dari Abu Abdillah yaitu az-Zubair bin al-Awwam r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Niscayalah jikalau seseorang dari engkau semua itu mengambil tali-talinya – untuk mengikat – lalu ia datang di gunung, kemudian ia datang kembali – di negerinya – dengan membawa sebongkokan kayu bakar di atas punggungnya, lalu menjualnya,kemudian dengan cara sedemikian itu Allah menahan wajahnya – yakni dicukupi kebutuhannya, maka hal yang semacam itu adalah lebih baik baginya daripada meminta-minta sesuatu pada orang-orang, baik mereka itu suka memberinya atau menolaknya.” (HR. Bukhari)
Rasullullah memberikan contoh kemandirian yang luar biasa, sebagai pemimpin nabi dan pimpinan umat Islam beliau tak segan menjahit bajunya sendiri, beliau juga seringkali turun langsung ke medan jihad, mengangkat batu, membuat parit, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lainnya.
ii)      Memenuhi kebutuhan keluarga
Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya adalah kewajiban bagi seorang muslim, hal ini bisa dilihat dari hadist berikut :
Rasulullah saw bersabada, “Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika ia menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan al-Hakim)
Menginfaqkan harta bagi keluarga adalah hal yang harus diutamakan, baru kemudian pada lingkungan terdekat, dan kemudian lingkungan yang lebih luas.
iii)    Kepentingan seluruh makhluk
Pekerjaan yang dilakukan seseorang bisa menjadi sebuah amal jariyah baginya, sebagaimana disebutkan dalam hadist, Dari Anas, Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seorang mukmin menanam tanaman, atau menabur benih, lalu burung atau manusia atau hewan pun makan darinya kecuali pasti bernilai sedekah baginya”. (HR Bukhari)
Dalam era modern ini banyak sekali pekerjaan kita yang bisa bernilai sebagai amal jariyah. Misalnya kita membuat aplikasi atau tekhnologi yang berguna bagi umat manusia. Karenanya umat Islam harus cerdas agar bisa menghasilkan pekerjaan-pekerjaan yang bernilai amal jariyah.
iv)    Bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri
Islam sangat menghargai pekerjaan, bahkan seandainya kiamat sudah dekat dan kita yakin tidak akan pernah menikmati hasil dari pekerjaan kita, kita tetap diperintahkan untuk bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari hadist, Dari Anas RA, dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Jika hari kiamat terjadi, sedang di tanganmu terdapat bibit tanaman, jika ia bisa duduk hingga dapat menanamnya, maka tanamlah.“ (HR Bukhari dan Muslim).
6.      Posisi Kerja
a.       Kerja dan Eksistensi Manusia
Menurut pandangan islam, kerja merupakan sesuatu yang digariskan bagi manusia. Dengan bekerja manusia mampu memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhiratnya. Agama juga menjadikan kerja sebagai sarana pendekatan diri kepada Allah. Amat jelas bahwa kerja mempunyai makna eksistensial dalam menunjukkan kehidupan orang islam. Karena berhasil/gagalnya dan tinggi/rendahnya kualitas hidup seseorang ditentukan oleh amal dan kerjanya.
Firman Allah QS. Al-Kahfi/18:7 yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.”
Dengan demikian, lulus/tidaknya manusia dalam menghadapi ujian hidup di dunia ini dapat dilihat dari amal atau kerja yang telah dilakukan. Apalagi manusia diberikan tugas sebagai khalifah yang bertugas sebagai pemakmur bumi. Hal tersebut merupakan tugas besar yang jika tidak dikerjakan dengan sungguh-sungguh, mustahil rasanya bila amanah tersebut dapat dilaksanakan. Dengan bekerja, manusia memperoleh sebuah peran dalam mempertahankan penghidupannya. Bekerja yang baik adalah bekerja sesuai kemampuan yang dimiliki masing-masing individu.
b.      Dari Iman sampai Kerja
Allah mengisyaratkan bahwa iman harus disertai amal saleh atau pekerjaan baik. Amal saleh adalah penjelmaan dari iman. Iman yang tidak melahirkan amal saleh dapat disebut iman yang mandul. Maka, islam menghubungkan aqidah dengan perilaku yang dituntutnya secara mutlak. Sehingga iman atau aqidah memancar, mengarahkan dan berpengaruh amat positif tehadap perilaku pemiliknya.
Menurut Isa ‘Abduh dan Ahmad Isma’il Yahya, ada tiga cara untuk mewujudkan kinerja yang baik, yaitu:
Ø  Kerja yang dilandasi taqwa.
Ø  Iklim dan suasana kerja yang tenang dan kondusif.
Ø  Didukung oleh ilmu pengetahuan terkait dengan bidang pekerjaan, dan bersangkutan selalu berusaha menambah ilmunya.
Jadi, kerja atau amal didukung oleh kesehatan dan ilmu pengetahuan, yang secara dinamis merupakan bagian urgen dan sistematis dari iman sampai ke amal saleh. Ketiganya (iman, amal dan ilmu) secara organis berhubungan amat erat.
c.       Kerja dan Tanggung Jawab
Sehubungan dengan kerja dan tanggung jawab, rasulullah saw. pernah menegaskan , “masing-masing kamu adalah pengembala, dan setiap pengembala bertanggung jawab atas gembalaannya....”. dalam hadits tersebut dapat dipahami bahwa Allah memberikan tanggung jawab kepada manusia sebagai khalifah di bumi.
Bekerja demi terselenggaranya “ma’isyah” atau penghidupan yang baik merupakan kewajiban. Keharusan kerja bagi manusia mencapai tingkat “tugas istimewa” hingga keengganan mereka untuk bekerja bukan sekedar maksiat yang merugikan orang yang bersangkutan saja. Kerja disukai oleh Allah dan Rasul-Nya bila kerja itu dilaksanakan sungguh-sungguh dilandasi niat mencari ridho-Nya.
d.      Hukum Bekerja dan Beretos Kerja Tinggi
Terdapat sejumlah firman Allah yang berkaitan dengan perintah bekerja kepada orang-orang yang beriman, antara lain, “Dia yang menjadikan bumi mudah bagimu, maka berjalanlah ke berbagai penjuru bumi dan makanlah sebagian dari rizki Allah...” (QS. Al-Mulk/67:15).
Ayat ini mengandung perintah langsung agar manusia giat bekerja dan menghindari bermalas-malasan. Bekerja untuk memperoleh rizki guna menunaikan nafkah keluarga adalah sebuah amanah yang harus ditunaikan.
7.      Ciri Etos Kerja Muslim
Ciri-ciri orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja akan tampak dalam sikap dan tingkah-lakunya yang dilandasi pada keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu ibadah dan berprestasi itu indah. Ada semacam panggilan dari hatinya untuk terus menerus memperbaiki diri, mencari prestasi bukan prestise, dan tampil sebagai bagian dari umat yang terbaik (Khairu ummah)
Ciri etos kerja muslim:
1)      Mereka kecanduan waktu
2)      Mereka memiliki moralitas yang bersih (ikhlas)
3)      Mereka kecanduan kejujuran
4)      Mereka memiliki komitmen (Aqidah, Akad, I’tikad)
5)      Istiqamah, kuat pendirian
6)      Mereka kecanduan pendirian
7)      Konsekuen dan berani menghadapi tantangan (challenge)
8)      Memiliki sikap percaya diri
9)      Kreatif
10)  Bertanggung jawab
11)  Bahagia karena melayani
12)  Memiliki harga diri
13)  Memiliki jiwa kepemimpinan (leadership)
14)  Berorientasi ke masa depan
15)  Hidup berhemat dan efisien
16)  Memiliki jiwa wiraswasta (entrepreneurship)
17)  Memiliki insting bertanding (fastabiqul khairat)
18)  Mereka kecanduan bekerja dan harus mencari ilmu
19)  Memiliki semangat perantauan
20)  Memperhatikan kesehatan dan gizi
21)  Tangguh dan pantang menyerah
22)  Memperkaya jaringan silaturahmi
23)  Memiliki semangat perubahan (spirit of change).
Kerja keras bukan hanya dilakukan pada saat memulai saja, tetapi juga terus dilakukan walaupun kita sudah berhasil. Lakukan perbaikan terus menerus, terhadap pekerjaan yang telah lalu, jangan terlena karena keberhasilan.
8.      Pekerjaan Yang Diperbolehkan Islam
Pada dasarnya Islam menjunjung tinggi nilai kerja agar manusia dapat hidup sejahtera. Namun kesejahteraan tidak mungkin tercapai tanpa adanya keadilan dan kebebasan individu itu dibatasi oleh kebebasan individu yang lainnya. Setiap perbuatan yang mengganggu kebebasan orang lain sama halnya berbuat ketidakadilan. Islam menghendaki kebebasan yang harmonis yang mampu memacu kesejahteraan bersama. Maka disitulah perlunya aturan yang jelas dan tegas, termasuk dalam bekerja.
Banyak sekali lapangan pekerjaan yang tersedia untuk manusia. Semakin maju peradaban manusia semakin bertambahlah jenis profesi atau pekerjaannya. Jenis pekerjaan yang diperbolehkan Islam antara lain:
1)      Menjadi buruh, karyawan, pegawai  
2)      Pertanian, peternakan, dan perikanan 
3)      Perdagangan                                      
4)      Pendidikan dan keguruan                  
5)      Industri dan pakaian jadi
6)      Pertambangan darat dan laut
7)      Jasa transportasi
8)      Pengobatan
9)      Konstruksi dan pertukangan
Masih banyak jenis pekerjaan atau profesi lain yang diperbolehkan Islam. Jenis profesi baru akan terus bertambah sesuai perkembangan peradaban manusia yang tiada hentinya. Namun sebagai dasar pemikiran, semua profesi yang halal adalah yang tidak dilarang Islam. Esensi larangan adalah karena pekerjaan itu dapat merugikan orang lain, mengandung ketidakadilan, kezaliman atau dengan sengaja membantu orang melakukan perbuatan yang haram.
9.      Pekerjaan Yang Dilarang Islam
Setiap usaha harus dilakukan menurut peraturan-peraturan yang berlaku agar tidak ada individu-individu atau kelompok-kelompok yang dirugikan. Dalam usaha tidak boleh menyimpang dari ketentuan-ketentuan umum yang berlaku dalam suatu negara. Setiap usaha yang merugikan seseorang atau orang banyak atau melanggar Undang-Undang umum yang berlaku di dalam suatu negara, dilarang oleh Islam dan hukumnya haram. Demikian pada usaha-usaha maksiat atau yang membatu terjadinya maksiat, penipuan, dan pemaksaan. Beberapa jenis pekerjaan yang dilarang Islam antara lain:
1)      Meminta-minta                  
2)      Perjudian                           
3)      Pelacuran                           
4)      Mencuri dan merampok    
5)      Mencari pekerjaan dengan suap            
6)      Bekerja pada perusahaan terlarang
7)      Riba
8)      Mengurangi timbangan dengan curang
9)      Produksi dan jual beli barang haram
10)  Memonopoli dan penimbunan.


DAFTAR PUSTAKA
K. Lubis, Suhrawardi dan Farid Wajdi. 2014. Hukum Ekonomi Islam edisi 1. Jakarta: Sinar Grafika.
Karim, A. Adiwarman. 2007. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta: Raja Grafindo.
Pusat Pengkajian dan Pembangunan Ekonomi Islam (P3EI). 2011. Ekonomi Islam. Jakarta: Raja Grafindo.


Alhamdulillah. Jazakumullah Khoyr, atas partisipasi sahabat sekalian untuk membaca dan mengunjungi kami. Semoga ilmu yang sedikit ini dapat bermanfaat untuk sahabat semua. Aamiin allahuma aamiin..
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANAN DAN FUNGSI PEMERINTAH DALAM PEREKONOMIAN

EIGOV (Ekonomi Islam Goes to Village) Ke-V