MAKALAH KONSUMSI DALAM PANDANGAN ISLAM
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan petunjuk dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan
sebagaimana mestinya. Sholawat dan salam selalu dilimpahkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabat, dan pengikutnya, amin.
Makalah
ini dibuat sebagai penyelesaian dari tugas mata kuliah Ekonomi Islam I
(Mikro). Kali ini kami akan membahas tentang Konsumsi. Selain itu
tujuan dari penyusunan makalah ini juga untuk menambah wawasan tentang
pengetahuan dalam konsumsi yang sesuaidengansyariat Islam. Sehingga besar harapan kami makalah yang disajikan ini dapat
menjadi kontribusi positif bagi perkembangan wawasan pembaca.
Sebelum
kami akhiri kata pengantar ini, kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak H.
M. Ali Nasrun, S.E, M.Ec., selaku dosen pengampu mata kuliah Ekonomi Islam I
(Mikro) karena telah memberikan kesempatan kepada kami untuk membuat makalah
ini.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, karena keterbatasan
wawasan serta pengSetahuan. Oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak
sangat kami harapkan demi kemajuan di masa yang akan datang. Akhir kata, kami
ucapkan semoga makalah yang sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi siapa
saja yang membacanya. Amin yaa rabbal ‘alamin.
Pontianak, 24 September 2016
Penyusun Makalah
DAFTAR ISI
Kata Pengantar......................................................................................................................... ii
Daftar Isi ................................................................................................................................ iii
BAB I. PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang ............................................................................................................ 1
B.
Rumusan
Masalah ........................................................................................................ 1
C.
Tujuan
Penulisan .......................................................................................................... 2
BAB II. PEMBAHASAN
A.
PengertianKonsumsi..................................................................................................... 3
B.
TujuanKonsumsidalam Islam .................................................................................... .. 4
C.
Sifat-Sifatatau Norma EtikaKonsumen...................................................................... 10
D.
PrinsipKonsumsi Muslim............................................................................................ 11
1.
PrinsipSyariah....................................................................................................... 12
2.
PrinsipKuantitas................................................................................................... 13
3.
PrinsipPrioritas...................................................................................................... 16
4.
PrinsipMoralitas.................................................................................................... 19
E. KonsepMaslahahdalamPrilakuKonsumenIslami........................................................ 19
BAB III. PENUTUP
A.
Kesimpulan
................................................................................................................ 22
B.
Saran
.......................................................................................................................... 22
C.
Pembelajaran............................................................................................................... 23
Daftar Pustaka ........................................................................................................................ iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Konsumsi adalah kegiatan ekonomi
yang penting, bahkan terkadang dianggap paling penting. Konsumsi pada
hakikatnya adalah mengeluarkan sesuatu dalam rangka memenuhi kebutuhan. Manusia
merupakan bagian anggota masyarakat yang memiliki upaya pemenuhan kebutuhan
hidupnya sehari-hari. Untuk itu manusia tidak terlepas dari konsumsi, dengan
pengeluran untuk memperoleh barang serta jasa dalam suatu perekonomian dalam
jangka waktu tertentu. Dalam kerangka Islam perlu dibedakan dua tipe
pengeluaran yang dilakukan oleh konsumen muslim yaitu pengeluaran tipe pertama
dan pengeluaran tipe kedua.
Pengeluaran tipe pertama adalah
pengeluaran yang dilakukan seorang muslim untuk memenuhi kebutuhan duniawinya
dan keluarga (pengeluaran dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dunia namun
memiliki efek pada pahala diakhirat). Terutama dalam pengeluaran konsumsi rumah
tangga, memiliki pengaruh besar terhadap stabilitas perekonomian. Karena pada
kenyataannya pengeluaran konsumsi rumah tangga mencapai tiga hingga enam kali
lipat konsumsi pemerintahan. Pengeluaran tipe kedua adalah pengeluaran yang
dikeluarkan semata – mata bermotif mencari akhirat.
Konsumsi merupakan seruan dari Allah
kepada manusia untuk hidupnya di dunia ini agar dapat menjalankan peranannya
sebagai khalifah di bumi. Sehingga segala hal yang dilakukan di dunia ini tidak
terlepas dari norma-norma dan ajaran Islam. Dalam Islam telah diatur
bagaimana hendaknya manusia berperilaku
dalam konsumsi. Makalah ini akan membahas tentang konsumsi dalam islam
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa yang
dimaksud dengan konsumsi ?
2.
Apa tujuan
konsumsi dalam islam ?
3.
Apa saja
sifat-sifat atau norma etika konsumsi ?
4.
Apa saja yang
kamu ketahui tentang prinsip konsumsi muslim ?
5.
Bagaimana konsep
maslahah dalam perilaku konsumen islami ?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui
pengertian konsumsi dan tujuan konsumsi.
2. Mengetahui
sifat-sifat atau norma etika konsumsi.
3.
Mengetahui
tentang prinsip konsumsi muslim.
4.
Mengetahui konsep maslahah dalam perilaku konsumen islami.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KONSUMSI
Dalam
mendefinisikan konsumsi terdapat perbedaan di antara para pakar ekonom, namun
konsumsi secara umum didefinisikan dengan penggunaan barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi islam konsumsi juga memiliki
pengertian yang sama, tapi memiliki perbedaan dalam setiap yang melingkupinya.
Perbedaan yang mendasar dengan konsumsi ekonomi konvensional adalah tujuan
pencapaian dari konsumsi itu sendiri, cara pencapaiannya harus memenuhi kaidah
pedoman syariah islamiyyah.
Menurut
Yusuf al-Qardhawi, konsumsi adalah pemanfaatan hasil produksi yang halal dengan batas kewajaranuntukmenciptakanmanusiahidupamandansejahtera.
Ada beberapasyarat yang harusdipenuhidalamberkonsumsi, diantaranya:
berkonsumsipadabarang-barang yang baik (halal), berhemat,
tidakbermewah-mewahan, menjauhiutang, menjauhikebakhilandankekikiran. Pernyataan Yusuf al-Qardhawi di
atassejalandenganfirman Allah SWTdalam surah Al-Baqarah:168 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الأرْضِ حَلالا طَيِّبًا
وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Haisekalianmanusia, makanlah yang halal
lagibaikdariapa yang terdapat di bumi,
danjanganlahkamumengikutilangkah-llangkahsetan,
karenasesungguhnyasetanituadalahmusuh yang nyatabagimu.”
Pelaku
konsumsi atau orang yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi
kebutuhannya disebut konsumen. Perilaku konsumen adalah kecenderungan konsumen
dalam melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan kepuasannya. Dengan kata lain,
perilaku konsumen adalah tingkah laku dari konsumen, dimana mereka dapat
mengilustrasikan pencarian untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi dan
memperbaiki suatu produk dan jasa mereka.
Perilaku konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana manusia
memilih di
antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumberdaya
(resources) yang dimilikinya.
B. TUJUAN KONSUMSI DALAM ISLAM
Tujuan konsumsi seseorang dalam ajaran islam antara lain:
1.
Untuk
mengharap ridha Allah SWT.
Tercapainya kebaikan dan tuntutan jiwa yang mulia harus
direalisasikan untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT. Allah telah memberikan
tuntunan kepada para hambaNya agar menjadikan alokasi dana sebagai bagian dari
amal sholeh yang dapat mendekatkan seorang muslim kepada Tuhannya dan untuk mendapatkan
surga dengan segala kenikmatan yang ada di dalamnya. Seorang muslim ketika
dihadapkan dengan sumber syariat akan mengarahkan jiwanya pada urgensi
pencapaian ketaatan dan keridhaan Allah. Kehidupan dunia merupakan jalan menuju
akhirat yang memang menjadi tujuan orang shaleh dalam setiap aktivitas mereka.
Sebagaimana firmal Allah SWT dalam surat Al Qashash ayat 77: “Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan”.
Seorang muslim berorientasi akhirat dalam semua perbuatannya
sebagai ekspresi kecintaan terhadap Allah dan demi pelipatgandaan balasan
kebaikan yang pernah dilakukan. Islam telah menjadikan pengalokasian dana
sebagai sesuatu yang mudah sekaligus merupakan kecenderungan jiwa. Kerugian
kaum beriman dimaknai sebagai kehilangan kemuliaan pahala dan balasan yang
telah dijanjikan oleh Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah
ayat 261: “Perumpaan (nafkah yang dikeluarkan
oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah, adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan
tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah
melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki dan Allah Maha luas
(karuniaNya) lagi Maha Mengetahui.”.
Begitu juga apa yang telah diberitakan oleh Nabi tentang tingginya
kedudukan orang yang memberikan nafkah kepada anak-anak mereka. Anas bin Malik
telah meriwayatkan hadits yang isinya bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa meninggikan (memberikan nafkah)
anak-anaknya hingga dewasa, maka ia akan datang pada hari kiamat bersama
denganku serta dengan mendekap jari-jari tangannya”. Dalam riwayat lain,
Aisyah menceritakan: “Aku didatangi oleh
wanita miskin yang membawa dua anak perempuannya. Kemudia aku memberikan tiga
kurma kepada wanita itu. Ia memberikan tiap anaknya sebutir kurma. Ia menyuapi
kurma itu yang kemudian dimakan oleh kedua anaknya. Selanjutnya ia membelah
sebutir kurma sisanya yang sedianya akan ia makan agar dimakan oleh kedua
anaknya. Perbuatannya telah membuatku kagum. Aku melaporkan hal ini kepada
Nabi, maka beliau bersabda: Sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan untuknya
surga atau membebaskan neraka baginya dikarenakan kurma itu.”
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Saad bin Abi Waqas menyebutkan
bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya
kamu selama memberikan nafkah dihitung sebagai shadaqah hingga satu suap yang
kamu berikan kepada istrinya”. Semua nash
tersebut dan nash-nash lainnya yang
mendorong jiwa yang shaleh untuk mencari pahala Allah dan kemuliaan balasannya.
Ia akan mengalokasikan dana dengan baik yang tidak dihalangi oleh kebakhilan
dan tidak pula dipersempit oleh ketamakan. Ia akan berlomba-lomba dalam infak
untuk memperoleh kenikmatan abadi yang telah dijanjikan oleh Allah SWT.
2.
Untuk
mewujudkan kerja sama antar anggota masyarakat dan tersedianya jaminan sosial.
Takdir manusia hidup di dunia ini
berbeda-beda, ada yang ditakdirkan menjadi kaya dan sebaliknya. Di antara
mereka berda di level
pertengahan, sementara yang lain adalah golongan atas. Ada juga
sekelompok masyarakat yang ditakdirkan untuk memerhatikan kehidupan kaum
miskin. Para pengambil kebijakan memiliki posisi untuk menanggung kebutuhan
mereka, menyelesaikan persoalan mereka, dan bertanggung jawab atas kemiskinan
mereka.
Pemberian nafkah akan mendidik jiwa
untuk memiliki semangat kebersamaan dan menjadikannya sebagi kemuliaan bersama
islam. Bidang kebersamaan ini meliputi bidang yang luas, dan ini diperhatikan
dalam islam. Firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat 2: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan
haram, jangan (menganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang
qalaa-id, dan jangan (pula) menganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah
sedang mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu
telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah
sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi
kamu dari Masjidi haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya”.
Tidak pantas bagi seorang muslim
yang melihat kerabat, tetangga atau saudara muslim dalam kondisi kelaparan,
kedinginan, kemiskinan sementara dia dalam keadaan berkecukupan dan dia tidak
melakukan usaha apapun untuk menanggulangi penderitaan yang menimpa mereka.
Pada kondisi semacam ini ia sebenarnya tidak dikatakan seorang yang beriman,
sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Tidak
termasuk orang yang beriman kepadaku orang yang malam harinya dalam keadaan
kenyang, sementara tetangganya dalam kelaparan”.
Mengulurkan bantuan makanan kepada
orang yang kelaparan merupakan perbuatan utama yang didalamnya terkandung nilai
tolong-
menolong antar manusia dan mengokohkan pondasi jaminan di antara
mereka. Meniadakan perbuatan saling menolong, menghilangkan eksistensinya dan
membiarkan manusia tidak mendapatkan jaminan akan mengantarkan pelaku pada
siksaan dunia dan akhirat yang paling pedih. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad
SAW: “Dimanapun satu keluarga berada dan
di dalamnya terdapat orang lapar, maka mereka telah terputus dari lindungan
Allah” (H.R.Ahmad). segala bentuk dan jenis variasi nafkah akan memberikan
semangat tolong-menolong dan jalinan erat antar warga masyarakat. Dalam kondisi
ini, mereka tergambar bagaikan satu tubuh. Jika salah satu bagian merasa sakit,
maka bagian yang lain terasa sakit. Sabda Nabi Muhammad SAW: “Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya
yang tidak akan menganiaya dan membiarkannya. Barang siapa yang memenuhi
kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barang siapa
memudahkan satu kesulitan saudara muslim, maka Allah akan memberikan jalan
keluar baginya dari berbagai kesulitan di hari kiamat. Barang siapa yang
menutupi aib saudara muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat”. (H.R.Muslim).
3.
Untuk
menumbuhkan rasa tanggung jawab individu terhadap kemakmuran diri, keluarga dan
masyarakat sebagai bagian aktivitas dan dinamisasi ekonomi.
Islam telah memberikan kewajiban
adanya pemberian nafkah terhadap beberapa kelompok masyarakat yang termasuk
dalam kategori saudara dan yang digolongkan sebagai saudara. Firman Allah SWT
dalam surah Al Baqarah ayat 232: “Apabila
kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu
(para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah
terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang
dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan
hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang
kamu tidak mengetahui”.
Kewajiban memberi nafkah akan menumbuhkan rasa tanggung jawab.
Pribadi yang dibentuk oleh rasa tanggung jawab akan memenuhi nafkah yang
dibebankan itu. Ia dituntut untuk bekerja demi mewujudkan kemakmuran diri dan
keluarganya, bahkan masyarakat sekitarnya melalui usaha dan pencarian rezeki
sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Ingatlah
setiap kamu adalah pemimpin (penjaga) dan setiap kamu akan diminta tanggung
jawab atas yang dipimpinnya (dijaganya). Seorang laki-laki merupakan pemimpin
keluarga dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka”.
4.
Untuk
meminimalisasi pemerasan dengan menggali sumber-sumber nafkah.
Media dan sumber nafkah sangat
banyak dan beragam. Negara mempunyai kewajiban untuk menjaganya, baik dengan
membuka lapangan kerja, meningkatkan upah, dan juga dengan memenuhi kebutuhan
orang-orang yang masih kekurangan. Hal yang sama juga berlaku bagi beberapa
orang yang memiliki jabatan khusus, di mana ia harus memberikan jaminan kepada
istri, anak, orang tua, cucu, dan kerabat lainnya. Bahkan ia juga harus
memberikan kepada budak dan hewan piaraanyya.
Demikian juga kewajiban kaum yang
berharta untuk memberikan nafkah akan memperbanyak sisi penting dalam
kehidupan. Orang yang diberikan infak atau sedekah akan menggunakan pemberian
itu untuk memenuhi kebutuhan diri dan orang-orang yang berada di bawah tanggung
jawabnya. Dengan segala siklusnya, hal ini akan menutupi kekurangan dan
memenuhi berbagai kebutuhan banyak keluarga. Mereka tidak lagi membutuhkan harta
yang diambil dari zakat sebagai bentuk jaminan sosial antar masyarakat. Pada
kondisi tersebut, zakat hanya dikhususkan bagi kaum miskin dan mereka yang
membutuhkan yang tidak mempunyai keluarga.
Rasulullah SAW telah memuji adanya
perhatian terhadap pemeliharaan anak-anak terlantar dan pemberian nafkah kepada
mereka
serta adanya penyediaan harta agar tidak lagi menjadi beban
masyarakat. Manusia saling memberikan jaminan dan bantuan kepada fakir miskin.
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya
jika kamu meninggalkan anak-anakmu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada
kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang hanya menjadi beban manusia
lainnya”. (H.R.Muslim).
5.
Supaya
negara melakukan kewajibannya terhadap warga negara yang masih miskin.
Negara lebih banyak memiliki
kesempatan untuk mengambil peran dengan jalan:
a.
Penyediaan
lapangan kerja bagi para pengangguran.
b.
Pemberian
nafkah kepada golongan masyarakat yang tidak memiliki sumber penghasilan serta
tidak ada orang yang menjamin nafkahnya.
Rasulullah
SAW bersabda: “Mukmin manapun yang telah
mati dan meninggalkan harta, maka harta itu adalah milik warisnya. Dan siapapun
mukmin yang meninggal dunia dan meninggalkan utang atau tanggungan, maka
hendaklah ahli warisnya datang kepadaku. Aku adalah wali baginya”. Golongan
yang termasuk kategori ini adalah orang yang sakit, gila, manula, anak kecil
yang tidak memiliki keluarga, dan lainnya. Para ahli fikih telah sepakat bahwa
siapapun yang tidak memiliki saudara kaya, sedang dia sendiri seorang yang
sangat miskin maka nafkahnya menjadi tanggungan negara.
c.
Menyediakan
pendidikan dan sarana kesehatan secara gratis, karena sesungguhnya penyakit dan
kebodohan merupakan musuh bersama suatu bangsa. Kemudahan sarana pendidikan,
sarana kesehatan dan pelayanan penyembuhan orang-orang sakit merupakan bidang
mendasar yangharus dijaga oleh negara sebagi bentuk pelayanan kepada para
warganya.
d.
Penyediaan
tempat tinggal untuk menampung orang-orang lemah, orang-orang jompo, orang gila
dan orang-orang yang terganggu mentalnya.
e.
Negara
harus menanggung masyarakat yang berkekurangan yang terancam oleh adanya bahaya
kelapara, tertimpa wabah penyakit, kehilangan hak-hak, sarana beribadah, dan
sebagainya.
C. SIFAT-SIFAT ATAU NORMA ETIKA KONSUMEN
Menurut
Yusuf Qardhawi, ada beberapa norma dasar yang menjadi landasan dalam
berperilaku konsumsi seorang muslim antara lain:
1.
Membelanjakan
harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir.
Harta diberikan Allah SWT kepada
manusia bukan untuk disimpan, ditimbun atau sekedar dihitung-hitung tetapi
digunakan bagi kemaslahatan manusia sendiri serta sarana beribadah kepada
Allah. Konsekuensinya, penimbunan harta dilarang keras oleh Islam dan
memanfaatkannya adalah diwajibkan.
2.
Tidak
melakukan kemubadziran.
Seorang muslim senantiasa membelanjakan hartanya untuk
kebutuhan-kebutuhan yang bermanfaat dan tidak berlebihan (boros/israf).
Sebagaimana seorang muslim tidak boleh memperoleh harta haram, ia juga tidak
akan membelanjakannya untuk hal yang haram. Beberapa sikap yang harus
diperhatikan adalah:
a. Menjauhi berhutang
Setiap muslim diperintahkan untuk menyeimbangkan pendapatan dengan
pengeluarannya. Jadi berhutang sangat tidak dianjurkan, kecuali untuk keadaan
yang sangat terpaksa.
b. Menjaga asset yang mapan dan pokok.
Tidak sepatutnya seorang muslim memperbanyak belanjanya dengan cara
menjual asset-aset yang mapan dan pokok, misalnya tempat tinggal. Nabi mengingatkan,
jika terpaksa menjual asset maka hasilnya hendaknya digunakan untuk membeli
asset lain agar berkahnya tetap terjaga.
c. Tidak hidup mewah dan boros.
Kemewahan dan pemborosan yaitu menenggelamkan diri dalam kenikmatan
dan bermegah-megahan sangat ditentang oleh ajaran Islam. Sikap ini selain akan
merusak pribadi-pribadi manusia juga akan merusak tatanan masyarakat. Kemewahan
dan pemborosan akan menenggelamkan manusia dalam kesibukan memenuhi nafsu
birahi dan kepuasan perut sehingga seringkali melupakan norma dan etika agama
karenanya menjauhkan diri dari Allah. Kemegahan akan merusak masyarakat karena
biasanya terdapat golongan minoritas kaya yang menindas mayoritas miskin.
d. Kesederhanaan.
Membelanjakan harta pada kuantitas dan kualitas secukupnya adalah
sikap terpuji bahkan penghematan merupakan salah satu langkah yang sangat
dianjurkan pada saat krisis ekonomi terjadi. Dalam situasi ini sikap sederhana
yang dilakukan untuk menjaga kemaslahatan masyarakat luas.
e. Mementingkan kehendak sosial dibandingkan dengan keinginan yang
benar-benar bersifat pribadi.
f. Konsumen akan berkumpul untuk saling bekerjasama dengan masyarakat
dan pemerintah untuk mewujudkan semangat islam.
g. Konsumen dilarang mengkonsumsi barang atau jasa yang penggunaannya
dilarang oleh agama islam.
D.
PRINSIP KONSUMSI MUSLIM
Ada
beberapa prinsip dalam berkonsumsi bagi seorang muslim yang membedakannya
dengan perilaku konsumsi non muslim (konvensional). Prinsip tersebut disarikan
dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW dan perilaku sahabat r.hum.
Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1.
Prinsip Syariah
a.
Memperhatikan tujuan konsumsi
Perilaku konsumsi muslim dari segi
tujuan tidak hanya mencapai kepuasan dari konsumsi barang, melainkan berfungsi
“ibadah” dalam rangka mendapat ridha Allah SWT sebagaimana firma Allah SWT dalam surah Al An’am ayat 162: “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan maiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam”. Kata “hidupku” maknanya termasuk di
dalamnya berkonsumsi. Perilaku konsumsi muslim berfungi sebagai ibadah sehingga
merupakan amal sholeh, karena setiap perbuatan ada perintah dari Allah, maka
mengandung ibadah. Sedangkan perintah makan terdapat pada Al-Qur’an surah
Al-A’raf ayat 31: “Makan dan minumlah,
tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang yang
berlebihan”.
Demikian juga, berkonsumsi merupakan sunnah Nabi Muhammad SAW
dimana Nabi mencontohkan tata cara makan. Apalagi ketika melaksanakan perintah
makan atau berkonsumsi dalam arti luas, maka pelaksanaannya mencontoh Nabi
Muhammad SAW, baik secara kuantitas maupun kualitas. Kuantitas dan kualitas
terkait preferensi, dimana preferensinya harus disesuaikan dengan perintah
Allah dan Rasul-Nya.
b.
Memperhatikan kaidah ilmiah
Dalam berkonsumsi, seorang muslim
harus memperhatikan prinsip kebersihan. Prinsip kebersihan mengandung arti
barang yang dikonsumsi harus bebas dari kotoran maupun penyakit, demikian juga
harus menyehatkan, bernilai gizi, dan memiliki manfaat tidak mempunyai
kemudharatan. Sebagaimana
firman Allah SWT dalam surah Al Baqarah ayat 172: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezeki yang baik-baik
yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar
kepada-Nya kamu menyembah”.
Islam menjunjung tinggi kebersihan, bahkan berdasarkan hadits
kebersihan merupakan bagian dari iman. Kaidah ilmiah juga memperhatikan prinsip
keadilan. Prinsip keadilan mengandung arti bahwa
dalam
berkonsumsi tidak boleh menimbulkan kelaziman, serta menjunjung tinggi
kepantasan atau kebaikan (halalan
thoyiban). Islam memiliki berbagai ketentuan barang ekonomi yang boleh
dikonsumsi dan tidak boleh dikonsumsi (dilarang). Pada prinsipnya ketentuan
larangan ini berkaitan dengan sesuatu yang dapat membahayakan fisik maupun
spiritualitas manusia. Sehingga ketentuan ini harus dipatuhi oleh seorang
muslim.
c.
Memerhatikan bentuk konsumsi
Dari konsep ini, fungsi konsumsi muslim berbeda dengan prinsip konvensional
yang bertujuan kepuasan maksimum (maximum
utility), terlepas ada keridhaan Allah atau tidak, karena pada hakekatnya
teori konvensional tidak mengenal Tuhan. Dari segi bentuk konsumsi, seorang muslim
harus memperhatikan apapun yang dikonsumsinya. Hal ini tentu berhubungan dengan
adanya batasan orang muslim dalam mengonsumsi suatu barang dan jasa. Seorang
muslim dilarang misalnya mengonsumsi daging babi, bangkai, darah, minuman keras
(khamr), candu/narkotik, dan berjudi.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al baqarah ayat 173: “Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan
bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika) disembelih bukan
menyebut asma Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)
sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak
ada dosa baginya”.
Berbeda dengan bentuk konsumsi konvensional yang tidak mengenal
batasan. Berapapun yang dikonsumsi selagi anggaran terjangkau tidak menjadi
masalah. Dari segi jenis pemuas konsumsi pun tidak ada batasannya, apakah
sesuai agama atau tidak, yang penting memuaskan nafsu konsumsinya maka
terjadilah konsumsi yang sah.
2.
PrinsipKuantitas
a. Sederhana, tidak bermewah-mewahan
Sesungguhnya kuantitas konsumsi yang terpuji dalam
kondisi yang wajar adalah sederhana. Maksudnya, berada di antara boros dan
pelit.
Kesederhanaan
ini merupakan salah satu sifat hamba Allah Yang Maha Pengasih, seperti
disebutkan dalam firmanNya, surah Al Furqan ayat 67: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara yang demikian”. Prinsip kesederhanaan, maksudnya dalam
berkonsumsi hendaknya menghindari sikap berlebihan (ishraf), karena sikap ini
sangat dibenci oleh Allah SWT. Demikian juga menjauhi sifat mubazir. Sifat
mubazir merupakan sifat yang dibenci oleh Allah SWT sebagaimana dalam firman
Allah SWT dalam surah Al Isra’ ayat 27: “Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat
ingkar kepada Tuhannya”.
Dalam berkonsumsi hendaknya menghindari sikap bermewah-mewahan (tarf). Sikap tarf merupakan perilaku konsumen yang jauh dar nilai-nilai syariah,
bahkan merupakan indikator terhadap kerusakan dan goncangnya tatanan hidup
masyarakat (Marthon,2007). Karena hal tersebut telah merebak, maka kehidupan
masyarakat akan mengalami kehancuran dan kebinasaan. Allah SWT berfirman: “Apakah mereka tidak memerhatikan berapa
banyak generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi
itu) telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang
belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang lebat atas
mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami
binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan Kami ciptakan sesudah mereka
generasi yang lain”. Dalam surah Al Waqi’ah ayat 4: “Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu? Dalam (siksaan) angin
yang amat panas, dan air panas yang mendidihm dan dalam naungan asaop yang
hitam. Tidak sejuk dan tidak menyenangkan. Sesungguhnya mereka sebelum itu
hidup bermewahan”.
Rasulullah SAW memberi peringatan agar umatnya tidak hidup
bermewah-mewahan, sebagaimana sabdanya: “Jauhkanlah
hidup bermewah-mewahan, sesungguhnya tidak termasuk hamba Allah orang
yang hidup bermewah-mewahan” (HR.
Ahmad dan Al Baihaqi). Sebaliknya Rasulullah sangat sederhana dalam
berkonsumsi. Dalam berpakaian beliau sering memakai kain yang kasar,
sebagaimana dalam suatu riwayat dari Abu Burdah, dia berkata, “Aisyah r.ha
mengeluarkan kain yang kasar dan tebal kepada kami, Rasulullah SAW meninggal
dunia dengan mengenakan dua jenis kain seperti ini” (HR. Al Bukhari dan
Muslim). Dalam masalah makan, beliau dan para sahabat r.hum makan ketika lapar
dan berhenti sebelum kenyang, sebagaimana sabdanya: “Kami adalah kaum yang tidak makan kecuali lapar dan jika kami makan
maka kami tidak sampai kenyang”.
Demikian juga para sahabat r.hum sangat sederhana dalam
berkonsumsi. Sesungguhnya Umar r.a. memuji sederhana dalam konsumsi dan
mengecam melampauinya sampai tingkat boros, atau turun darinya sampai tingkat
pelit. Beliau berkata, “Hendaklah kamu
sederhana dalam makananmu. Sebab, sederhana lebih dekat kepada perbaikan dan
lebih jauh dari pemborosan”. Dan ketika penduduk Irak meminta izin
kepadanya untuk membangun rumah dari batu bata, maka beliau mengizinkan mereka,
dan mensyaratkan agar tidak meninggikan bangunan di atas kadar yang wajar.
Mereka berkata, “Apa tolok ukur kadar
yang wajar itu?” Beliau berkata, “Apa
yang tidak mendekatkan kamu kepada boros dan tidak mengeluarkan kamu dari
kesederhanaan”.
b. Kesesuaian antara pemasukan dengan konsumsi
Kesesuaian antara pemasukan dengan konsumsi adalah
hal yang sesuai dengan fitrah manusia dan realita. Karena itu, salah satu
aksiomatik ekonomi adalah bahwa pemasukan merupakan salah satu faktor yang
memengaruhi permintaan konsumen individu. Dimana permintaan menjadi bertambah
jika pemasukan bertambah, dan permintaan menjadi berkurang jika pemasukan
menurun disertai tetapnya faktor-faktor lain.
Sesungguhnya kesesuaian antara konsumsi dan pemasukan tersebut
memiliki dalik-dalil yang jelas dalam perekonomian islam, diantaranya firman
Allah SWT dalam surah At Thalaq ayat 7: “Hendaklah
orang
yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya dan orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan”. Substansi ayat
ini dapat dipahami dalam perspektif riwayat Ibnu Jarir, bahwa Umar bertanya
tentang Abu Ubaidah, lalu diberitahukan bahwa Abu Ubaidah memakai baju buruk
dan mengonsumsi makanan yang paling murah, maka Umar mengirimkan kepadanya
seribu dinar, dan berkata kepada utusan, “Lihatlah apa yang dia lakukan
dengannya jika dia menerimanya?” Lalu berselang tidak lama, dia memakai pakaian
yang paling bagus, dan memakan makanan yang paling mahal. Ketika utusan datang
kepada Umar dan memberitahunya tentang hal tersebut, maka Umar berkata: “Dia
mengamalkan ayat ini: “Hendaklah orang
yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya dan orang yang disempitkan
rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Maknanya,
diperbolehkan memakai pakaian bagus asalkan sesuai dengan kadar kemampuannya,
juga dalam rangka menampakkan nikmat Allah pada hambaNya dan juga hendak
memuliakan saudara muslimnya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Makan dan minumlah dengan tanpa kesombongan
dan pemborosan, sesungguhnya Allah menyukai bila nikmatNya terlihat pada
hambaNya” (H.R Ahmad dalam Al Musnad).
3.
PrinsipPrioritas
Prioritas atau urutan konsumsi
alokasi harta menurut syariat islam, antara lain:
a. Untuk nafkah diri, istri, anak, dan saudara
1)
Nafkah diri, manusia diwajibkan untuk memenuhi
kebutuhan diri dan mendahulukannya atas pemenuhan kebutuhan orang lain. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Mulailah dengan dirimu sendiri. Maka bersedekahlah untuk diri itu.
Kelebihan sesuatu yang
kamu miliki adalah untuk keluargamu dan kelebihan selanjutnya
adalah untuk para kerabatmu”.
2) Nafkah istri, nafkah
harus dipenuhi oleh suaminya karena ikatan dirinya kepada suaminya. Status istri telah menyebabkan ia telah diserahkan kepada
suaminya, konsekuensinya suamilah yang menanggung keperluan (nafkah)nya.
Semula, sebelum terikat dalam suatu pernikahan nafkah tersebut ditanggung oleh
orang tuanya.
3) Nafkah kerabat, sebab
wajibnya nafkah tersebut adalah adanya keharaman untuk memutuskan silaturahmi. Kerabat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:
a) Keturunan dalam kategori ini adalah mereka yang telah dewasa atau
masih kecil.
b) Ayah dan Ibu yang termasuk garis keturunan ke atas, nafkah ayah dan
ibu wajib dipenuhi oleh anak-anaknya sesuai dengan firman Allah dalam surah
Luqman ayat 15: “Dan pergaulilah keduanya
di dunia dengan baik”.
c) Saudara laki-laki dan perempuan serta semua kerabat yang masuk
dalam kategori ini.
4)
Nafkah
bagi pihak yang membantu istri. Dalam mengerjakan pekerjaan rumah, ketika ada
orang yang membantu istri maka nafkahnya menjadi tanggung jawab suami dari
istri tersebut. Besarnya nafkah tergantung situasi dan kondisi atau
kesepakatan, karena merupakan upah atau gaji.
5)
Nafkah
untuk budak. Pada masa perbudakan, pemilik budak diharuskan untuk memberikan
nafkah kepada para budak yang dimilikinya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam
surah An Nisa ayat 36: “Sembahlah Allah
dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah
kepada dua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil, dan
hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri”.
6)
Pemenuhan
kebutuhan pada binatang pemeliharaannya.
b.
Untuk memperjuangkan agama Allah
Di antara karunia
Allah yang diberikan kepada hamba mukminNya adalah karunia berupa harta dan
adanya semangat untuk membelanjakan harta itu di jalan yang dibenarkan oleh
syariat. Di antara jalan yang dibenarkan oleh syariat itu adalah membelanjakan
harta di jalan Allah. Allah
berfirman dalam surah At Taubah ayat 111: “Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan
memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka
membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di
dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya
(selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu
lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar”.
Pembelanjaan harta di jalan Allah,
sebagai balasannya Allah SWT akan menggantinya dengan surga. Ketika meyakini
hal ini, orang-orang muslim berlomba untuk menyediakan dan memberika sesuatu di
jalan Allah SWT. Bahkan Allah SWT akan melipatgandakan balasannya terhadap
pengeluaran atau alokasi harta dijalanNya. Sebagaimana firman Allah dalam surah
Al Baqarah ayat 261: “Perumpaan (nafkah
yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah
adalah serupa dengan sebuti benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap
bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia
kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui”.
Pengeluaran di jalan Allah tersebut
dapat berbentuk pengeluaran untuk membiayai dakwah agama agar islam tesebar ke
seluruh alam. Pengeluaran di jalan Allah juga dapat berbentuk bantuan langsung
ke orang miskin atau orang yang memerlukan di dalam masyarakat.
Pengeluaran tersebut dapat juga dalam bentuk bangunan rumah sakit,
rumah sekolah (madrasah) yang diperlukan oleh keluarga muslim yang miskin,
masjid, dan bantan untuk memperkuat serta menyebarkan dakwah dan syiar islam.
Secara umum, pengeluaran derma adalah untuk menolong orang miskin dan yang
memerlukan, orang yang berjuang di jalan Allah, dan pengeluaran untuk
menyebarluaskan ajaran islam. Maka jelaslah bahwa seorang konsumen muslim tentu
mempunyai objek pengeluaran untuk derma atau sedekah.
4.
PrinsipMoralitas
Perilaku konsumsi seorang muslim
dalam berkonsumsi juga memerhatikan prinsip moralitas, di mana mengandung arti ketika berkonsumsi terhadap suatu
barang, maka dalam rangka menjaga martabat manusia yang mulia, berbeda dengan
makhluk Allah yang lainnya. Sehingga dalam berkonsumsi harus menjaga adab dan
etika (tertib) yang di sunnahkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai
contoh, ketika makan memakai tangan kanan, membaca doa, dan tidak mencela
makanan dan sebagainya. Dalam suatu riwayat Abu Hurairah r.a. berkata: “Bahwa Rasulullah SAW tidak pernah sekalipun
mencela makanan, jika beliau tidak tertarik kepadanya maka beliau
meninggalkannya”. (HR. Abu Daud). Juga dalam riwayat yang lain bahwa
Rasulullah SAW bersaba kepada Umar bin Salamah, Wahai anak muda, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu,
dan makanlah dari makanan yang dekat denganmu” (HR. Muttafqun’alaih).
E.
KONSEP MASLAHAH DALAM PRILAKU KONSUMEN
ISLAMI
Dalam
pandangan Islam kepuasan didasarkan pada suatu konsep yang disebut dengan
maslahah. Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas
dari sekadar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional.
Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang
mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar
dari kehidupan
manusia di muka bumi ini. Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni:
1.
kehidupan
atau jiwa (al-nafs),
2.
properti
atau harta benda (al mal),
3.
keyakinan
(al-din),
4.
intelektual
(al-aql),
5.
keluarga
atau keturunan (al-nasl).
Semua barang dan jasa yang mendukung
tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap
individu, itulah yang disebut maslahah. Kegiatan-kegiatan ekonomi meliputi
produksi, konsumsi dan pertukaran yang menyangkut maslahah tersebut harus
dikerjakan sebagai suatu ‘religious duty‘ atau ibadah. Tujuannya bukan hanya
kepuasan di dunia tapi juga kesejahteraan di akhirat. Semua aktivitas tersebut,
yang memiliki maslahah bagi umat manusia, disebut ‘needs’ atau kebutuhan. Dan
semua kebutuhan ini harus dipenuhi. Mencukupi kebutuhan dan bukan memenuhi
kepuasan atau keinginan adalah tujuan dari aktivitas ekonomi Islami, dan usaha
pencapaian tujuan itu adalah salah satu kewajiban dalam beragama.
Adapun
sifat-sifat maslahah sebagai berikut:
1.
Maslahah
bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi
masing-masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah
atau bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria
maslahah telah ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua
individu.
2.
Konsep
maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu produksi,
konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi.
Berdasarkan
kelima elemen di atas,maslahah dapat dibagi dua jenis: pertama, maslahah
terhadap elemen-elemen yang menyangkut kehidupan dunia dan akhirat, dan kedua
maslahah terhadap elemen-elemen yang menyangkut hanya kehidupan akhirat. Dengan
demikian seorang individu Islam akan memiliki dua jenis pilihan:
1.
Berapa
bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk maslahah jenis pertama dan
berapa untuk maslahah jenis kedua.
2.
Bagaimana
memilih di dalam maslahah jenis pertama: berapa bagian pendapatannya yang akan
dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dunia (dalam rangka mencapai
‘kepuasan’ di akhirat) dan berapa bagian untuk kebutuhan akhirat.
Pada
tingkat pendapatan tertentu, konsumen Islam, karena memiliki alokasi untuk
hal-hal yang menyangkut akhirat, akan mengkonsumsi barang lebih sedikit
daripada non-muslim. Hal yang membatasinya adalah konsep maslahah tersebut di
atas. Tidak semua barang atau jasa yang memberikan kepuasan atau utility
mengandung maslahah di dalamnya, sehingga tidak semua barang atau jasa dapat
dan layak dikonsumsi oleh umat Islam. Dalam membandingkan konsep ‘kepuasan’
dengan ‘pemenuhan kebutuhan’ (yang
terkandung di dalamnya maslahah), kita perlu membandingkan tingkatan-tingkatan
tujuan hukum syara’ yakni antara daruriyyah, tahsiniyyah dan hajiyyah.
Penjelasan dari masing-masing tingkatan itu sebagai berikut:
1.
Daruriyyah:
Tujuan daruriyyah merupakan tujuan yang harus ada dan mendasar bagi penciptaan
kesejahteraan di dunia dan akhirat, yaitu mencakup terpeliharanya lima elemen
dasar kehidupan yakni jiwa, keyakinan atau agama, akal atau intelektual, keturunan dan keluarga serta harta benda.
Jika tujuan daruriyyah diabaikan, maka tidak akan ada kedamaian, yang timbul
adalah kerusakan (fasad) di dunia dan kerugian yang nyata di akhirat.
2.
Hajiyyah:
Syari’ah bertujuan memudahkan kehidupan dan menghilangkan kesempitan. Hukum
syara’ dalam kategori ini tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal pokok
tadi melainkan menghilangkan kesempitan dan berhati-hati terhadap lima hal
pokok tersebut.
3.
Tahsiniyyah:
syariah menghendaki kehidupan yang indah dan nyaman di dalamnya. Terdapat
beberapa provisi dalam syariah yang dimaksudkan untuk mencapai pemanfaatan yang
lebih baik, keindahan dan simplifikasi dari daruriyyah dan hajiyyah. Misalnya
dibolehkannya memakai baju yang nyaman dan indah.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Konsumsimerupakanpenggunaanbaraangataujasaolehseseorangdenganbertujuanuntukmemenuhikebutuhanhidupnya.Sehinggaseseorangdapatbertahanhidupdanmenjalankanaktivitas.Konsumsitidakhanyaberupamakandanminum,
tetapiberbagaikebutuhan yang diperlukanolehmanusiabaikberupajasmanimaupunrohani.Setiapmanusiapastimelakukankonsumsisehinggatidakmungkindapatterhindardariperilakukonsumsi.
Islam
mengajarkanumatnyadalamhalkonsumsi.Yaitumengkonsumsisegalahalharusdengansyarat
yang halal danbaik (tidakmembahayakan) untukkehidupanmanusiatersebut.Karenatujuandarikonsumsiadalah:
1.
Untukmengharapridha Allah SWT
2.
Untukmewujudkankerjasamaantaranggotamasyarakatdantersedianyajanimansosial.
3.
Untukmenumbuhkan rasa
tanggungjawabindividuterhadapkemakmurandiri, keluargadanmasyarakat.
B. SARAN
Denganadanyamakalahini
kami mengharapkepadamasyarakatkhususnyakepadapejabatpemerintahan yang
mengaturperekonomian Indonesia untukmelakukanpenerapanteoriekoonomi yang
berbasissyariah agar keberkahanmudahdiperoleh Negara kitaini.Para
pelajarteruslahmenggalipengetahuandanbersikapempatiterhadap Negara kita,
khususnya di bidangperekonomian.Dan dalamkesempatan kali ini, kami
pemakalahsangatmembutuhkan saran yang membangundariberbagaipihak,
karenamakalahinimasihjauhdariyang diharapkan.
C. PEMBELAJARAN
Islam adalah
agama yang sempurna yang telahmengatursegalahalhinggake
detail-detailnyatakterkecualimasalahekonomi, khususnyakonsumsi.Di dalam Islam
kitaharusmengkonsumsisegalahal yang sesuaituntunansyariat Islam, seperti yang
sudahdijelaskanoleh Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah:172 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ
إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Wahaioraang-orang yang
beriman!Makanlahdiantararezeki yang baik yang kami berikankepadamu. Dan
bersyukurlahkamukepada Allah, jikabenar-benarkepadanyakamumenyembah.”
Sudahdijelaskanbahwa,
Allah menyuruhkitauntukmengkonsumsisegalasesuatu yang halal danbaik yang ada di
mukabumiini.Makadariitu, sebagaimanusia yang memilikiakaldanpikiran yang
telahdiberikanoleh Allah SWT, kitaharusmengikutisegalaperintah-Nya,
danmenjauhisegalalarangan-Nya.Karenaapabilakitamengikutiperintahnyakitaakanmasuksurga.
Salah satunyadengancaramelakukankonsumsi yang halal danbaikdanmengikutisyariat
Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim,Lukman.2012.Prinsip-prinsip Ekonomi Islam.Surakarta:Erlangga
Karim,
Adiwarman. Ekonomi Mikro Islami, Edisi
Ketiga, Jakarta: Rajawali Pers, 2007.
Rozalinda.Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Pers,
2015.
Idri.Hadis Ekonomi Ekonomi dalam Perspektif Hadis
Nabi, Jakarta:Prenadamedia Group,2015.
Komentar
Posting Komentar