MAKALAH KONSUMSI DALAM PANDANGAN ISLAM


KONSUMSI DALAM PANDANGAN ISLAM


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan petunjuk dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan sebagaimana mestinya. Sholawat dan salam selalu dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabat, dan pengikutnya, amin.
Makalah ini dibuat sebagai penyelesaian dari tugas mata kuliah Ekonomi Islam I (Mikro). Kali ini kami akan membahas tentang Konsumsi. Selain itu tujuan dari penyusunan makalah ini juga untuk menambah wawasan tentang pengetahuan dalam konsumsi yang sesuaidengansyariat Islam. Sehingga besar harapan kami makalah yang disajikan ini dapat menjadi kontribusi positif bagi perkembangan wawasan pembaca.
Sebelum kami akhiri kata pengantar ini, kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak H. M. Ali Nasrun, S.E, M.Ec., selaku dosen pengampu mata kuliah Ekonomi Islam I (Mikro) karena telah memberikan kesempatan kepada kami untuk membuat makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, karena keterbatasan wawasan serta pengSetahuan. Oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat kami harapkan demi kemajuan di masa yang akan datang. Akhir kata, kami ucapkan semoga makalah yang sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang membacanya. Amin yaa rabbal ‘alamin.

Pontianak, 24 September 2016


Penyusun Makalah



DAFTAR ISI
Kata Pengantar......................................................................................................................... ii
Daftar Isi ................................................................................................................................ iii
BAB I. PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ............................................................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah ........................................................................................................ 1
C.     Tujuan Penulisan .......................................................................................................... 2
BAB II. PEMBAHASAN
A.    PengertianKonsumsi..................................................................................................... 3
B.     TujuanKonsumsidalam Islam .................................................................................... .. 4
C.     Sifat-Sifatatau Norma EtikaKonsumen...................................................................... 10
D.    PrinsipKonsumsi Muslim............................................................................................ 11
1.      PrinsipSyariah....................................................................................................... 12
2.      PrinsipKuantitas................................................................................................... 13
3.      PrinsipPrioritas...................................................................................................... 16
4.      PrinsipMoralitas.................................................................................................... 19
E.     KonsepMaslahahdalamPrilakuKonsumenIslami........................................................ 19
BAB III. PENUTUP
A.    Kesimpulan ................................................................................................................ 22
B.     Saran .......................................................................................................................... 22
C.     Pembelajaran............................................................................................................... 23
Daftar Pustaka ........................................................................................................................ iv


BAB I
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG MASALAH
Konsumsi adalah kegiatan ekonomi yang penting, bahkan terkadang dianggap paling penting. Konsumsi pada hakikatnya adalah mengeluarkan sesuatu dalam rangka memenuhi kebutuhan. Manusia merupakan bagian anggota masyarakat yang memiliki upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Untuk itu manusia tidak terlepas dari konsumsi, dengan pengeluran untuk memperoleh barang serta jasa dalam suatu perekonomian dalam jangka waktu tertentu. Dalam kerangka Islam perlu dibedakan dua tipe pengeluaran yang dilakukan oleh konsumen muslim yaitu pengeluaran tipe pertama dan pengeluaran tipe kedua.   
Pengeluaran tipe pertama adalah pengeluaran yang dilakukan seorang muslim untuk memenuhi kebutuhan duniawinya dan keluarga (pengeluaran dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dunia namun memiliki efek pada pahala diakhirat). Terutama dalam pengeluaran konsumsi rumah tangga, memiliki pengaruh besar terhadap stabilitas perekonomian. Karena pada kenyataannya pengeluaran konsumsi rumah tangga mencapai tiga hingga enam kali lipat konsumsi pemerintahan. Pengeluaran tipe kedua adalah pengeluaran yang dikeluarkan semata – mata bermotif mencari akhirat.
Konsumsi merupakan seruan dari Allah kepada manusia untuk hidupnya di dunia ini agar dapat menjalankan peranannya sebagai khalifah di bumi. Sehingga segala hal yang dilakukan di dunia ini tidak terlepas dari norma-norma dan ajaran Islam. Dalam Islam telah diatur bagaimana  hendaknya manusia berperilaku dalam konsumsi. Makalah ini akan membahas tentang konsumsi dalam islam

B.       RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan konsumsi ?
2.      Apa tujuan konsumsi dalam islam ?


3.      Apa saja sifat-sifat atau norma etika konsumsi ?
4.      Apa saja yang kamu ketahui tentang prinsip konsumsi muslim ?
5.      Bagaimana konsep maslahah dalam perilaku konsumen islami ?

C.      TUJUAN PENULISAN
1.      Mengetahui pengertian konsumsi dan tujuan konsumsi.
2.      Mengetahui sifat-sifat atau norma etika konsumsi.
3.      Mengetahui tentang prinsip konsumsi muslim.
4.      Mengetahui konsep maslahah dalam perilaku konsumen islami.



BAB II
PEMBAHASAN
A.      PENGERTIAN KONSUMSI
Dalam mendefinisikan konsumsi terdapat perbedaan di antara para pakar ekonom, namun konsumsi secara umum didefinisikan dengan penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi islam konsumsi juga memiliki pengertian yang sama, tapi memiliki perbedaan dalam setiap yang melingkupinya. Perbedaan yang mendasar dengan konsumsi ekonomi konvensional adalah tujuan pencapaian dari konsumsi itu sendiri, cara pencapaiannya harus memenuhi kaidah pedoman syariah islamiyyah.
Menurut Yusuf al-Qardhawi, konsumsi adalah pemanfaatan hasil produksi  yang halal dengan batas kewajaranuntukmenciptakanmanusiahidupamandansejahtera. Ada beberapasyarat yang harusdipenuhidalamberkonsumsi, diantaranya: berkonsumsipadabarang-barang yang baik (halal), berhemat, tidakbermewah-mewahan, menjauhiutang, menjauhikebakhilandankekikiran. Pernyataan Yusuf al-Qardhawi di atassejalandenganfirman Allah SWTdalam surah Al-Baqarah:168 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الأرْضِ حَلالا طَيِّبًا وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ                           لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Haisekalianmanusia, makanlah yang halal lagibaikdariapa yang terdapat di bumi, danjanganlahkamumengikutilangkah-llangkahsetan, karenasesungguhnyasetanituadalahmusuh yang nyatabagimu.”
Pelaku konsumsi atau orang yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya disebut konsumen. Perilaku konsumen adalah kecenderungan konsumen dalam melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan kepuasannya. Dengan kata lain, perilaku konsumen adalah tingkah laku dari konsumen, dimana mereka dapat mengilustrasikan pencarian untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi dan memperbaiki suatu produk dan jasa mereka.  Perilaku konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana manusia


memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumberdaya (resources) yang dimilikinya.

B.       TUJUAN KONSUMSI DALAM ISLAM
Tujuan konsumsi seseorang dalam ajaran islam antara lain:
1.      Untuk mengharap ridha Allah SWT.
Tercapainya kebaikan dan tuntutan jiwa yang mulia harus direalisasikan untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT. Allah telah memberikan tuntunan kepada para hambaNya agar menjadikan alokasi dana sebagai bagian dari amal sholeh yang dapat mendekatkan seorang muslim kepada Tuhannya dan untuk mendapatkan surga dengan segala kenikmatan yang ada di dalamnya. Seorang muslim ketika dihadapkan dengan sumber syariat akan mengarahkan jiwanya pada urgensi pencapaian ketaatan dan keridhaan Allah. Kehidupan dunia merupakan jalan menuju akhirat yang memang menjadi tujuan orang shaleh dalam setiap aktivitas mereka. Sebagaimana firmal Allah SWT dalam surat Al Qashash ayat 77: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Seorang muslim berorientasi akhirat dalam semua perbuatannya sebagai ekspresi kecintaan terhadap Allah dan demi pelipatgandaan balasan kebaikan yang pernah dilakukan. Islam telah menjadikan pengalokasian dana sebagai sesuatu yang mudah sekaligus merupakan kecenderungan jiwa. Kerugian kaum beriman dimaknai sebagai kehilangan kemuliaan pahala dan balasan yang telah dijanjikan oleh Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 261: “Perumpaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan


tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki dan Allah Maha luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui.”.
Begitu juga apa yang telah diberitakan oleh Nabi tentang tingginya kedudukan orang yang memberikan nafkah kepada anak-anak mereka. Anas bin Malik telah meriwayatkan hadits yang isinya bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa meninggikan (memberikan nafkah) anak-anaknya hingga dewasa, maka ia akan datang pada hari kiamat bersama denganku serta dengan mendekap jari-jari tangannya”. Dalam riwayat lain, Aisyah menceritakan: “Aku didatangi oleh wanita miskin yang membawa dua anak perempuannya. Kemudia aku memberikan tiga kurma kepada wanita itu. Ia memberikan tiap anaknya sebutir kurma. Ia menyuapi kurma itu yang kemudian dimakan oleh kedua anaknya. Selanjutnya ia membelah sebutir kurma sisanya yang sedianya akan ia makan agar dimakan oleh kedua anaknya. Perbuatannya telah membuatku kagum. Aku melaporkan hal ini kepada Nabi, maka beliau bersabda: Sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan untuknya surga atau membebaskan neraka baginya dikarenakan kurma itu.”
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Saad bin Abi Waqas menyebutkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya kamu selama memberikan nafkah dihitung sebagai shadaqah hingga satu suap yang kamu berikan kepada istrinya”. Semua nash tersebut dan nash-nash lainnya yang mendorong jiwa yang shaleh untuk mencari pahala Allah dan kemuliaan balasannya. Ia akan mengalokasikan dana dengan baik yang tidak dihalangi oleh kebakhilan dan tidak pula dipersempit oleh ketamakan. Ia akan berlomba-lomba dalam infak untuk memperoleh kenikmatan abadi yang telah dijanjikan oleh Allah SWT.
2.      Untuk mewujudkan kerja sama antar anggota masyarakat dan tersedianya jaminan sosial.
Takdir manusia hidup di dunia ini berbeda-beda, ada yang ditakdirkan menjadi kaya dan sebaliknya. Di antara mereka berda di level


pertengahan, sementara yang lain adalah golongan atas. Ada juga sekelompok masyarakat yang ditakdirkan untuk memerhatikan kehidupan kaum miskin. Para pengambil kebijakan memiliki posisi untuk menanggung kebutuhan mereka, menyelesaikan persoalan mereka, dan bertanggung jawab atas kemiskinan mereka.
Pemberian nafkah akan mendidik jiwa untuk memiliki semangat kebersamaan dan menjadikannya sebagi kemuliaan bersama islam. Bidang kebersamaan ini meliputi bidang yang luas, dan ini diperhatikan dalam islam. Firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat 2: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (menganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) menganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidi haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya”.
Tidak pantas bagi seorang muslim yang melihat kerabat, tetangga atau saudara muslim dalam kondisi kelaparan, kedinginan, kemiskinan sementara dia dalam keadaan berkecukupan dan dia tidak melakukan usaha apapun untuk menanggulangi penderitaan yang menimpa mereka. Pada kondisi semacam ini ia sebenarnya tidak dikatakan seorang yang beriman, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Tidak termasuk orang yang beriman kepadaku orang yang malam harinya dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya dalam kelaparan”.
Mengulurkan bantuan makanan kepada orang yang kelaparan merupakan perbuatan utama yang didalamnya terkandung nilai tolong-


menolong antar manusia dan mengokohkan pondasi jaminan di antara mereka. Meniadakan perbuatan saling menolong, menghilangkan eksistensinya dan membiarkan manusia tidak mendapatkan jaminan akan mengantarkan pelaku pada siksaan dunia dan akhirat yang paling pedih. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Dimanapun satu keluarga berada dan di dalamnya terdapat orang lapar, maka mereka telah terputus dari lindungan Allah” (H.R.Ahmad). segala bentuk dan jenis variasi nafkah akan memberikan semangat tolong-menolong dan jalinan erat antar warga masyarakat. Dalam kondisi ini, mereka tergambar bagaikan satu tubuh. Jika salah satu bagian merasa sakit, maka bagian yang lain terasa sakit. Sabda Nabi Muhammad SAW: “Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya yang tidak akan menganiaya dan membiarkannya. Barang siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barang siapa memudahkan satu kesulitan saudara muslim, maka Allah akan memberikan jalan keluar baginya dari berbagai kesulitan di hari kiamat. Barang siapa yang menutupi aib saudara muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat”. (H.R.Muslim).
3.      Untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab individu terhadap kemakmuran diri, keluarga dan masyarakat sebagai bagian aktivitas dan dinamisasi ekonomi.
Islam telah memberikan kewajiban adanya pemberian nafkah terhadap beberapa kelompok masyarakat yang termasuk dalam kategori saudara dan yang digolongkan sebagai saudara. Firman Allah SWT dalam surah Al Baqarah ayat 232: “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.


Kewajiban memberi nafkah akan menumbuhkan rasa tanggung jawab. Pribadi yang dibentuk oleh rasa tanggung jawab akan memenuhi nafkah yang dibebankan itu. Ia dituntut untuk bekerja demi mewujudkan kemakmuran diri dan keluarganya, bahkan masyarakat sekitarnya melalui usaha dan pencarian rezeki sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Ingatlah setiap kamu adalah pemimpin (penjaga) dan setiap kamu akan diminta tanggung jawab atas yang dipimpinnya (dijaganya). Seorang laki-laki merupakan pemimpin keluarga dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka”.
4.      Untuk meminimalisasi pemerasan dengan menggali sumber-sumber nafkah.
Media dan sumber nafkah sangat banyak dan beragam. Negara mempunyai kewajiban untuk menjaganya, baik dengan membuka lapangan kerja, meningkatkan upah, dan juga dengan memenuhi kebutuhan orang-orang yang masih kekurangan. Hal yang sama juga berlaku bagi beberapa orang yang memiliki jabatan khusus, di mana ia harus memberikan jaminan kepada istri, anak, orang tua, cucu, dan kerabat lainnya. Bahkan ia juga harus memberikan kepada budak dan hewan piaraanyya.
Demikian juga kewajiban kaum yang berharta untuk memberikan nafkah akan memperbanyak sisi penting dalam kehidupan. Orang yang diberikan infak atau sedekah akan menggunakan pemberian itu untuk memenuhi kebutuhan diri dan orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya. Dengan segala siklusnya, hal ini akan menutupi kekurangan dan memenuhi berbagai kebutuhan banyak keluarga. Mereka tidak lagi membutuhkan harta yang diambil dari zakat sebagai bentuk jaminan sosial antar masyarakat. Pada kondisi tersebut, zakat hanya dikhususkan bagi kaum miskin dan mereka yang membutuhkan yang tidak mempunyai keluarga.
Rasulullah SAW telah memuji adanya perhatian terhadap pemeliharaan anak-anak terlantar dan pemberian nafkah kepada mereka


serta adanya penyediaan harta agar tidak lagi menjadi beban masyarakat. Manusia saling memberikan jaminan dan bantuan kepada fakir miskin. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya jika kamu meninggalkan anak-anakmu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang hanya menjadi beban manusia lainnya”. (H.R.Muslim).
5.      Supaya negara melakukan kewajibannya terhadap warga negara yang masih miskin.
Negara lebih banyak memiliki kesempatan untuk mengambil peran dengan jalan:
a.    Penyediaan lapangan kerja bagi para pengangguran.
b.    Pemberian nafkah kepada golongan masyarakat yang tidak memiliki sumber penghasilan serta tidak ada orang yang menjamin nafkahnya.
Rasulullah SAW bersabda: “Mukmin manapun yang telah mati dan meninggalkan harta, maka harta itu adalah milik warisnya. Dan siapapun mukmin yang meninggal dunia dan meninggalkan utang atau tanggungan, maka hendaklah ahli warisnya datang kepadaku. Aku adalah wali baginya”. Golongan yang termasuk kategori ini adalah orang yang sakit, gila, manula, anak kecil yang tidak memiliki keluarga, dan lainnya. Para ahli fikih telah sepakat bahwa siapapun yang tidak memiliki saudara kaya, sedang dia sendiri seorang yang sangat miskin maka nafkahnya menjadi tanggungan negara.
c.       Menyediakan pendidikan dan sarana kesehatan secara gratis, karena sesungguhnya penyakit dan kebodohan merupakan musuh bersama suatu bangsa. Kemudahan sarana pendidikan, sarana kesehatan dan pelayanan penyembuhan orang-orang sakit merupakan bidang mendasar yangharus dijaga oleh negara sebagi bentuk pelayanan kepada para warganya.
d.      Penyediaan tempat tinggal untuk menampung orang-orang lemah, orang-orang jompo, orang gila dan orang-orang yang terganggu mentalnya.


e.       Negara harus menanggung masyarakat yang berkekurangan yang terancam oleh adanya bahaya kelapara, tertimpa wabah penyakit, kehilangan hak-hak, sarana beribadah, dan sebagainya.

C.      SIFAT-SIFAT ATAU NORMA ETIKA KONSUMEN
Menurut Yusuf Qardhawi, ada beberapa norma dasar yang menjadi landasan dalam berperilaku konsumsi seorang muslim antara lain:
1.      Membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir.
Harta diberikan Allah SWT kepada manusia bukan untuk disimpan, ditimbun atau sekedar dihitung-hitung tetapi digunakan bagi kemaslahatan manusia sendiri serta sarana beribadah kepada Allah. Konsekuensinya, penimbunan harta dilarang keras oleh Islam dan memanfaatkannya adalah diwajibkan.
2.      Tidak melakukan kemubadziran.
Seorang muslim senantiasa membelanjakan hartanya untuk kebutuhan-kebutuhan yang bermanfaat dan tidak berlebihan (boros/israf). Sebagaimana seorang muslim tidak boleh memperoleh harta haram, ia juga tidak akan membelanjakannya untuk hal yang haram. Beberapa sikap yang harus diperhatikan adalah:
a.    Menjauhi berhutang
Setiap muslim diperintahkan untuk menyeimbangkan pendapatan dengan pengeluarannya. Jadi berhutang sangat tidak dianjurkan, kecuali untuk keadaan yang sangat terpaksa.
b.    Menjaga asset yang mapan dan pokok.
Tidak sepatutnya seorang muslim memperbanyak belanjanya dengan cara menjual asset-aset yang mapan dan pokok, misalnya tempat tinggal. Nabi mengingatkan, jika terpaksa menjual asset maka hasilnya hendaknya digunakan untuk membeli asset lain agar berkahnya tetap terjaga.





c.    Tidak hidup mewah dan boros.
Kemewahan dan pemborosan yaitu menenggelamkan diri dalam kenikmatan dan bermegah-megahan sangat ditentang oleh ajaran Islam. Sikap ini selain akan merusak pribadi-pribadi manusia juga akan merusak tatanan masyarakat. Kemewahan dan pemborosan akan menenggelamkan manusia dalam kesibukan memenuhi nafsu birahi dan kepuasan perut sehingga seringkali melupakan norma dan etika agama karenanya menjauhkan diri dari Allah. Kemegahan akan merusak masyarakat karena biasanya terdapat golongan minoritas kaya yang menindas mayoritas miskin.
d.   Kesederhanaan.
Membelanjakan harta pada kuantitas dan kualitas secukupnya adalah sikap terpuji bahkan penghematan merupakan salah satu langkah yang sangat dianjurkan pada saat krisis ekonomi terjadi. Dalam situasi ini sikap sederhana yang dilakukan untuk menjaga kemaslahatan masyarakat luas.
e.       Mementingkan kehendak sosial dibandingkan dengan keinginan yang benar-benar bersifat pribadi.
f.       Konsumen akan berkumpul untuk saling bekerjasama dengan masyarakat dan pemerintah untuk mewujudkan semangat islam.
g.      Konsumen dilarang mengkonsumsi barang atau jasa yang penggunaannya dilarang oleh agama islam.


D.      PRINSIP KONSUMSI MUSLIM
Ada beberapa prinsip dalam berkonsumsi bagi seorang muslim yang membedakannya dengan perilaku konsumsi non muslim (konvensional). Prinsip tersebut disarikan dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW dan perilaku sahabat r.hum. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:





1.      Prinsip Syariah
a.       Memperhatikan tujuan konsumsi
Perilaku konsumsi muslim dari segi tujuan tidak hanya mencapai kepuasan dari konsumsi barang, melainkan berfungsi “ibadah” dalam rangka mendapat ridha Allah SWT sebagaimana firma Allah SWT dalam surah Al An’am ayat 162: “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan maiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. Kata “hidupku” maknanya termasuk di dalamnya berkonsumsi. Perilaku konsumsi muslim berfungi sebagai ibadah sehingga merupakan amal sholeh, karena setiap perbuatan ada perintah dari Allah, maka mengandung ibadah. Sedangkan perintah makan terdapat pada Al-Qur’an surah Al-A’raf ayat 31: “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang yang berlebihan”.
Demikian juga, berkonsumsi merupakan sunnah Nabi Muhammad SAW dimana Nabi mencontohkan tata cara makan. Apalagi ketika melaksanakan perintah makan atau berkonsumsi dalam arti luas, maka pelaksanaannya mencontoh Nabi Muhammad SAW, baik secara kuantitas maupun kualitas. Kuantitas dan kualitas terkait preferensi, dimana preferensinya harus disesuaikan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
b.      Memperhatikan kaidah ilmiah
Dalam berkonsumsi, seorang muslim harus memperhatikan prinsip kebersihan. Prinsip kebersihan mengandung arti barang yang dikonsumsi harus bebas dari kotoran maupun penyakit, demikian juga harus menyehatkan, bernilai gizi, dan memiliki manfaat tidak mempunyai kemudharatan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al Baqarah ayat 172: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezeki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah”.
Islam menjunjung tinggi kebersihan, bahkan berdasarkan hadits kebersihan merupakan bagian dari iman. Kaidah ilmiah juga memperhatikan prinsip keadilan. Prinsip keadilan mengandung arti bahwa


dalam berkonsumsi tidak boleh menimbulkan kelaziman, serta menjunjung tinggi kepantasan atau kebaikan (halalan thoyiban). Islam memiliki berbagai ketentuan barang ekonomi yang boleh dikonsumsi dan tidak boleh dikonsumsi (dilarang). Pada prinsipnya ketentuan larangan ini berkaitan dengan sesuatu yang dapat membahayakan fisik maupun spiritualitas manusia. Sehingga ketentuan ini harus dipatuhi oleh seorang muslim.
c.       Memerhatikan bentuk konsumsi
Dari konsep ini, fungsi konsumsi muslim berbeda dengan prinsip konvensional yang bertujuan kepuasan maksimum (maximum utility), terlepas ada keridhaan Allah atau tidak, karena pada hakekatnya teori konvensional tidak mengenal Tuhan. Dari segi bentuk konsumsi, seorang muslim harus memperhatikan apapun yang dikonsumsinya. Hal ini tentu berhubungan dengan adanya batasan orang muslim dalam mengonsumsi suatu barang dan jasa. Seorang muslim dilarang misalnya mengonsumsi daging babi, bangkai, darah, minuman keras (khamr), candu/narkotik, dan berjudi. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al baqarah ayat 173: “Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika) disembelih bukan menyebut asma Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya”.
Berbeda dengan bentuk konsumsi konvensional yang tidak mengenal batasan. Berapapun yang dikonsumsi selagi anggaran terjangkau tidak menjadi masalah. Dari segi jenis pemuas konsumsi pun tidak ada batasannya, apakah sesuai agama atau tidak, yang penting memuaskan nafsu konsumsinya maka terjadilah konsumsi yang sah.
2.      PrinsipKuantitas
a.       Sederhana, tidak bermewah-mewahan
Sesungguhnya kuantitas konsumsi yang terpuji dalam kondisi yang wajar adalah sederhana. Maksudnya, berada di antara boros dan pelit.


Kesederhanaan ini merupakan salah satu sifat hamba Allah Yang Maha Pengasih, seperti disebutkan dalam firmanNya, surah Al Furqan ayat 67: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”. Prinsip kesederhanaan, maksudnya dalam berkonsumsi hendaknya menghindari sikap berlebihan (ishraf), karena sikap ini sangat dibenci oleh Allah SWT. Demikian juga menjauhi sifat mubazir. Sifat mubazir merupakan sifat yang dibenci oleh Allah SWT sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surah Al Isra’ ayat 27: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”.
Dalam berkonsumsi hendaknya menghindari sikap bermewah-mewahan (tarf). Sikap tarf merupakan perilaku konsumen yang jauh dar nilai-nilai syariah, bahkan merupakan indikator terhadap kerusakan dan goncangnya tatanan hidup masyarakat (Marthon,2007). Karena hal tersebut telah merebak, maka kehidupan masyarakat akan mengalami kehancuran dan kebinasaan. Allah SWT berfirman: “Apakah mereka tidak memerhatikan berapa banyak generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu) telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain”. Dalam surah Al Waqi’ah ayat 4: “Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu? Dalam (siksaan) angin yang amat panas, dan air panas yang mendidihm dan dalam naungan asaop yang hitam. Tidak sejuk dan tidak menyenangkan. Sesungguhnya mereka sebelum itu hidup bermewahan”.
Rasulullah SAW memberi peringatan agar umatnya tidak hidup bermewah-mewahan, sebagaimana sabdanya: “Jauhkanlah hidup bermewah-mewahan, sesungguhnya tidak termasuk hamba Allah orang


yang hidup bermewah-mewahan” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi). Sebaliknya Rasulullah sangat sederhana dalam berkonsumsi. Dalam berpakaian beliau sering memakai kain yang kasar, sebagaimana dalam suatu riwayat dari Abu Burdah, dia berkata, “Aisyah r.ha mengeluarkan kain yang kasar dan tebal kepada kami, Rasulullah SAW meninggal dunia dengan mengenakan dua jenis kain seperti ini” (HR. Al Bukhari dan Muslim). Dalam masalah makan, beliau dan para sahabat r.hum makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang, sebagaimana sabdanya: “Kami adalah kaum yang tidak makan kecuali lapar dan jika kami makan maka kami tidak sampai kenyang”.
Demikian juga para sahabat r.hum sangat sederhana dalam berkonsumsi. Sesungguhnya Umar r.a. memuji sederhana dalam konsumsi dan mengecam melampauinya sampai tingkat boros, atau turun darinya sampai tingkat pelit. Beliau berkata, “Hendaklah kamu sederhana dalam makananmu. Sebab, sederhana lebih dekat kepada perbaikan dan lebih jauh dari pemborosan”. Dan ketika penduduk Irak meminta izin kepadanya untuk membangun rumah dari batu bata, maka beliau mengizinkan mereka, dan mensyaratkan agar tidak meninggikan bangunan di atas kadar yang wajar. Mereka berkata, “Apa tolok ukur kadar yang wajar itu?” Beliau berkata, “Apa yang tidak mendekatkan kamu kepada boros dan tidak mengeluarkan kamu dari kesederhanaan”.
b.      Kesesuaian antara pemasukan dengan konsumsi
Kesesuaian antara pemasukan dengan konsumsi adalah hal yang sesuai dengan fitrah manusia dan realita. Karena itu, salah satu aksiomatik ekonomi adalah bahwa pemasukan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi permintaan konsumen individu. Dimana permintaan menjadi bertambah jika pemasukan bertambah, dan permintaan menjadi berkurang jika pemasukan menurun disertai tetapnya faktor-faktor lain.
Sesungguhnya kesesuaian antara konsumsi dan pemasukan tersebut memiliki dalik-dalil yang jelas dalam perekonomian islam, diantaranya firman Allah SWT dalam surah At Thalaq ayat 7: “Hendaklah orang


yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. Substansi ayat ini dapat dipahami dalam perspektif riwayat Ibnu Jarir, bahwa Umar bertanya tentang Abu Ubaidah, lalu diberitahukan bahwa Abu Ubaidah memakai baju buruk dan mengonsumsi makanan yang paling murah, maka Umar mengirimkan kepadanya seribu dinar, dan berkata kepada utusan, “Lihatlah apa yang dia lakukan dengannya jika dia menerimanya?” Lalu berselang tidak lama, dia memakai pakaian yang paling bagus, dan memakan makanan yang paling mahal. Ketika utusan datang kepada Umar dan memberitahunya tentang hal tersebut, maka Umar berkata: “Dia mengamalkan ayat ini: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Maknanya, diperbolehkan memakai pakaian bagus asalkan sesuai dengan kadar kemampuannya, juga dalam rangka menampakkan nikmat Allah pada hambaNya dan juga hendak memuliakan saudara muslimnya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Makan dan minumlah dengan tanpa kesombongan dan pemborosan, sesungguhnya Allah menyukai bila nikmatNya terlihat pada hambaNya” (H.R Ahmad dalam Al Musnad).
3.         PrinsipPrioritas
Prioritas atau urutan konsumsi alokasi harta menurut syariat islam, antara lain:
a.     Untuk nafkah diri, istri, anak, dan saudara
1)      Nafkah diri, manusia diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan diri dan mendahulukannya atas pemenuhan kebutuhan orang lain. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Mulailah dengan dirimu sendiri. Maka bersedekahlah untuk diri itu. Kelebihan sesuatu yang


kamu miliki adalah untuk keluargamu dan kelebihan selanjutnya adalah untuk para kerabatmu”.
2)      Nafkah istri, nafkah harus dipenuhi oleh suaminya karena ikatan dirinya kepada suaminya. Status istri telah menyebabkan ia telah diserahkan kepada suaminya, konsekuensinya suamilah yang menanggung keperluan (nafkah)nya. Semula, sebelum terikat dalam suatu pernikahan nafkah tersebut ditanggung oleh orang tuanya.
3)      Nafkah kerabat, sebab wajibnya nafkah tersebut adalah adanya keharaman untuk memutuskan silaturahmi. Kerabat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:
a)      Keturunan dalam kategori ini adalah mereka yang telah dewasa atau masih kecil.
b)      Ayah dan Ibu yang termasuk garis keturunan ke atas, nafkah ayah dan ibu wajib dipenuhi oleh anak-anaknya sesuai dengan firman Allah dalam surah Luqman ayat 15: “Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik”.
c)      Saudara laki-laki dan perempuan serta semua kerabat yang masuk dalam kategori ini.
4)      Nafkah bagi pihak yang membantu istri. Dalam mengerjakan pekerjaan rumah, ketika ada orang yang membantu istri maka nafkahnya menjadi tanggung jawab suami dari istri tersebut. Besarnya nafkah tergantung situasi dan kondisi atau kesepakatan, karena merupakan upah atau gaji.
5)      Nafkah untuk budak. Pada masa perbudakan, pemilik budak diharuskan untuk memberikan nafkah kepada para budak yang dimilikinya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah An Nisa ayat 36: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil, dan


hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”.
6)      Pemenuhan kebutuhan pada binatang pemeliharaannya.
b.      Untuk memperjuangkan agama Allah
Di antara karunia Allah yang diberikan kepada hamba mukminNya adalah karunia berupa harta dan adanya semangat untuk membelanjakan harta itu di jalan yang dibenarkan oleh syariat. Di antara jalan yang dibenarkan oleh syariat itu adalah membelanjakan harta di jalan Allah. Allah berfirman dalam surah At Taubah ayat 111: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar”.
Pembelanjaan harta di jalan Allah, sebagai balasannya Allah SWT akan menggantinya dengan surga. Ketika meyakini hal ini, orang-orang muslim berlomba untuk menyediakan dan memberika sesuatu di jalan Allah SWT. Bahkan Allah SWT akan melipatgandakan balasannya terhadap pengeluaran atau alokasi harta dijalanNya. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 261: “Perumpaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebuti benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui”.
Pengeluaran di jalan Allah tersebut dapat berbentuk pengeluaran untuk membiayai dakwah agama agar islam tesebar ke seluruh alam. Pengeluaran di jalan Allah juga dapat berbentuk bantuan langsung ke orang miskin atau orang yang memerlukan di dalam masyarakat.


Pengeluaran tersebut dapat juga dalam bentuk bangunan rumah sakit, rumah sekolah (madrasah) yang diperlukan oleh keluarga muslim yang miskin, masjid, dan bantan untuk memperkuat serta menyebarkan dakwah dan syiar islam. Secara umum, pengeluaran derma adalah untuk menolong orang miskin dan yang memerlukan, orang yang berjuang di jalan Allah, dan pengeluaran untuk menyebarluaskan ajaran islam. Maka jelaslah bahwa seorang konsumen muslim tentu mempunyai objek pengeluaran untuk derma atau sedekah.
4.         PrinsipMoralitas
Perilaku konsumsi seorang muslim dalam berkonsumsi juga memerhatikan prinsip moralitas, di mana mengandung arti ketika berkonsumsi terhadap suatu barang, maka dalam rangka menjaga martabat manusia yang mulia, berbeda dengan makhluk Allah yang lainnya. Sehingga dalam berkonsumsi harus menjaga adab dan etika (tertib) yang di sunnahkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai contoh, ketika makan memakai tangan kanan, membaca doa, dan tidak mencela makanan dan sebagainya. Dalam suatu riwayat Abu Hurairah r.a. berkata: “Bahwa Rasulullah SAW tidak pernah sekalipun mencela makanan, jika beliau tidak tertarik kepadanya maka beliau meninggalkannya”. (HR. Abu Daud). Juga dalam riwayat yang lain bahwa Rasulullah SAW bersaba kepada Umar bin Salamah, Wahai anak muda, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari makanan yang dekat denganmu” (HR. Muttafqun’alaih).

E.       KONSEP MASLAHAH DALAM PRILAKU KONSUMEN ISLAMI
Dalam pandangan Islam kepuasan didasarkan pada suatu konsep yang disebut dengan maslahah. Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari sekadar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar


dari kehidupan manusia di muka bumi ini. Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni:
1.      kehidupan atau jiwa (al-nafs),
2.      properti atau harta benda (al mal),
3.      keyakinan (al-din),
4.      intelektual (al-aql),
5.      keluarga atau keturunan (al-nasl).
Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah. Kegiatan-kegiatan ekonomi meliputi produksi, konsumsi dan pertukaran yang menyangkut maslahah tersebut harus dikerjakan sebagai suatu ‘religious duty‘ atau ibadah. Tujuannya bukan hanya kepuasan di dunia tapi juga kesejahteraan di akhirat. Semua aktivitas tersebut, yang memiliki maslahah bagi umat manusia, disebut ‘needs’ atau kebutuhan. Dan semua kebutuhan ini harus dipenuhi. Mencukupi kebutuhan dan bukan memenuhi kepuasan atau keinginan adalah tujuan dari aktivitas ekonomi Islami, dan usaha pencapaian tujuan itu adalah salah satu kewajiban dalam beragama.
Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:
1.    Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi masing-masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria maslahah telah ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu.
2.    Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi.
Berdasarkan kelima elemen di atas,maslahah dapat dibagi dua jenis: pertama, maslahah terhadap elemen-elemen yang menyangkut kehidupan dunia dan akhirat, dan kedua maslahah terhadap elemen-elemen yang menyangkut hanya kehidupan akhirat. Dengan demikian seorang individu Islam akan memiliki dua jenis pilihan:


1.    Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk maslahah jenis pertama dan berapa untuk maslahah jenis kedua.
2.    Bagaimana memilih di dalam maslahah jenis pertama: berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dunia (dalam rangka mencapai ‘kepuasan’ di akhirat) dan berapa bagian untuk kebutuhan akhirat.
Pada tingkat pendapatan tertentu, konsumen Islam, karena memiliki alokasi untuk hal-hal yang menyangkut akhirat, akan mengkonsumsi barang lebih sedikit daripada non-muslim. Hal yang membatasinya adalah konsep maslahah tersebut di atas. Tidak semua barang atau jasa yang memberikan kepuasan atau utility mengandung maslahah di dalamnya, sehingga tidak semua barang atau jasa dapat dan layak dikonsumsi oleh umat Islam. Dalam membandingkan konsep ‘kepuasan’ dengan ‘pemenuhan kebutuhan’ (yang  terkandung di dalamnya maslahah), kita perlu membandingkan tingkatan-tingkatan tujuan hukum syara’ yakni antara daruriyyah, tahsiniyyah dan hajiyyah. Penjelasan dari masing-masing tingkatan itu sebagai berikut:
1.    Daruriyyah: Tujuan daruriyyah merupakan tujuan yang harus ada dan mendasar bagi penciptaan kesejahteraan di dunia dan akhirat, yaitu mencakup terpeliharanya lima elemen dasar kehidupan yakni jiwa, keyakinan atau agama, akal atau intelektual,  keturunan dan keluarga serta harta benda. Jika tujuan daruriyyah diabaikan, maka tidak akan ada kedamaian, yang timbul adalah kerusakan (fasad) di dunia dan kerugian yang nyata di akhirat.
2.    Hajiyyah: Syari’ah bertujuan memudahkan kehidupan dan menghilangkan kesempitan. Hukum syara’ dalam kategori ini tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal pokok tadi melainkan menghilangkan kesempitan dan berhati-hati terhadap lima hal pokok tersebut.
3.    Tahsiniyyah: syariah menghendaki kehidupan yang indah dan nyaman di dalamnya. Terdapat beberapa provisi dalam syariah yang dimaksudkan untuk mencapai pemanfaatan yang lebih baik, keindahan dan simplifikasi dari daruriyyah dan hajiyyah. Misalnya dibolehkannya memakai baju yang nyaman dan indah.
BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Konsumsimerupakanpenggunaanbaraangataujasaolehseseorangdenganbertujuanuntukmemenuhikebutuhanhidupnya.Sehinggaseseorangdapatbertahanhidupdanmenjalankanaktivitas.Konsumsitidakhanyaberupamakandanminum, tetapiberbagaikebutuhan yang diperlukanolehmanusiabaikberupajasmanimaupunrohani.Setiapmanusiapastimelakukankonsumsisehinggatidakmungkindapatterhindardariperilakukonsumsi.
Islam mengajarkanumatnyadalamhalkonsumsi.Yaitumengkonsumsisegalahalharusdengansyarat yang halal danbaik (tidakmembahayakan) untukkehidupanmanusiatersebut.Karenatujuandarikonsumsiadalah:
1.        Untukmengharapridha Allah SWT
2.        Untukmewujudkankerjasamaantaranggotamasyarakatdantersedianyajanimansosial.
3.        Untukmenumbuhkan rasa tanggungjawabindividuterhadapkemakmurandiri, keluargadanmasyarakat.

B.       SARAN
Denganadanyamakalahini kami mengharapkepadamasyarakatkhususnyakepadapejabatpemerintahan yang mengaturperekonomian Indonesia untukmelakukanpenerapanteoriekoonomi yang berbasissyariah agar keberkahanmudahdiperoleh Negara kitaini.Para pelajarteruslahmenggalipengetahuandanbersikapempatiterhadap Negara kita, khususnya di bidangperekonomian.Dan dalamkesempatan kali ini, kami pemakalahsangatmembutuhkan saran yang membangundariberbagaipihak, karenamakalahinimasihjauhdariyang diharapkan.





C.      PEMBELAJARAN
Islam adalah agama yang sempurna yang telahmengatursegalahalhinggake detail-detailnyatakterkecualimasalahekonomi, khususnyakonsumsi.Di dalam Islam kitaharusmengkonsumsisegalahal yang sesuaituntunansyariat Islam, seperti yang sudahdijelaskanoleh Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah:172 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Wahaioraang-orang yang beriman!Makanlahdiantararezeki yang baik yang kami berikankepadamu. Dan bersyukurlahkamukepada Allah, jikabenar-benarkepadanyakamumenyembah.”
Sudahdijelaskanbahwa, Allah menyuruhkitauntukmengkonsumsisegalasesuatu yang halal danbaik yang ada di mukabumiini.Makadariitu, sebagaimanusia yang memilikiakaldanpikiran yang telahdiberikanoleh Allah SWT, kitaharusmengikutisegalaperintah-Nya, danmenjauhisegalalarangan-Nya.Karenaapabilakitamengikutiperintahnyakitaakanmasuksurga. Salah satunyadengancaramelakukankonsumsi yang halal danbaikdanmengikutisyariat Islam.





DAFTAR PUSTAKA
Hakim,Lukman.2012.Prinsip-prinsip Ekonomi Islam.Surakarta:Erlangga
Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga, Jakarta: Rajawali Pers, 2007.
Rozalinda.Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2015.
Idri.Hadis Ekonomi Ekonomi dalam Perspektif Hadis Nabi, Jakarta:Prenadamedia Group,2015.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANAN DAN FUNGSI PEMERINTAH DALAM PEREKONOMIAN

Pengaruh Pengetahuan, Religiusitas, dan Promosi Perusahaan terhadap Minat Menabung di Perbankan Syariah (Studi Kasus Mahasiswa Muslim Kota Pontianak)

Makalah Pasar dan Harga dalam Ekonomi Islam