Makalah Kerja, Pendapatan, & Hak Milik dalam Perspektif Islam


   KERJA, PENDAPATAN DAN HAK MILIK
DALAM PERSPEKTIF ISLAM




KATA PENGANTAR


Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul Kerja, Pendapatan, dan Hak Milik Dalam Perspektif Islam. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas dari Dosen Mata Kuliah Ekonomi Islam I Mikro .........
Makalah ini ditulis berdasarkan literature buku dan lainnya. Semoga makalah ini dapat menambah wawasan mengenai kerja, pendapatan dan hak milik. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Ekonomi Islam I (Mikro) atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Dan juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan masukan dan pandangan, sehingga dapat terselesaikannya makalah ini.
Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang berpartisipasi. Kami menyadari benar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan agar makalah ini dapat diperbaiki dan disempurnakan kembali di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya bagi para mahasiswa/i. Terima kasih.


Pontianak, 10 September 2016



Mahasiswa Ekonomi Islam







DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR.. iii
DAFTAR ISI. iv
PENDAHULUAN.. 1
1.1.     Latar Belakang. 1
1.2.     Rumusan Masalah. 1
1.3.     Tujuan Masalah. 1
BAB II. 3
PEMBAHASAN.. 3
2.1. Kerja Dalam Perspektif Islam.. 3
A.    Pengertian Kerja. 3
B.    Dasar Hukum Kerja. 4
C.    Falsafah Kerja. 6
D.    Ciri Etos Kerja Muslim.. 7
E.    Tujuan Bekerja Menurut Islam.. 7
F.    Fungsi Kerja. 8
G.       Pekerjaan yang Diperbolehkan Islam.. 9
H.       Pekerjaan yang Dilarang Islam.. 10
I.     Etika Bekerja. 11
J.     Hikmah Bekerja. 12
2.2.     Deskriptif Pendapatan. 12
A.    Pengertian Pendapatan. 12
B.    Pengertian Pendapatan Nasional 13
C.    Pendapatan Nasional Menurut Islam.. 14
D.    Gross National Product (GNP) Menurut Islam.. 14
E.    Metode Pendapatan. 15
F.    Sumber Pendapatan Dalam Islam.. 18
G.       Distribusi Pendapatan dalam Islam.. 21
H.       Sektor-Sektor Distribusi Pendapatan. 23
2.3.     Hak Milik. 24
A.    Pengertian Hak Milik. 24
B.    Pembagian Hak Milik. 27
C.    Sifat Hak Milik. 30
D.    Tujuan Kepemilikan. 32
E.    Sebab-sebab dan Hikmah Kepemilikan. 33
BAB III. 36
PENUTUP. 36
3.1.     Kesimpulan. 36
3.2.     Saran. 36
DAFTAR PUSTAKA.. iv



BAB I

PENDAHULUAN


1.1.  Latar Belakang
Pemilik sesungguhnya dari sumber daya yang ada adalah Allah SWT, manusia dalam hal ini hanya di titipkan untuk sementara saja. Sehingga sewaktu-waktu dapat di ambil kembali oleh Allah SWT. Oleh sebab itu kepemilikan mutlak atas harta tidak di akui dalam islam. Sebagaimana terdapat dalam firman Allah dalam Qs. Al-Baqarah ayat 284 & Qs. Al-Hadid ayat 7. konsep kepemilikan dan harta dalam islam tidak mengenal kepemilikan yang mutlak sebagaimana yang terdapat dalam konsep ekonomi konvensional. Harta yang dimiliki merupakan suatu ujian bagi manusia, agar manusia selalu mengingat nikmat Allah SWT atas karunia yang telah diberikan.
Hukum islam menetapkan bahwa semua bentuk transaksi pada dasarnya dibolehkan (permisibility of things), kecuali transaksi yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

1.2.  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari kerja ?
2.      Apa saja dasar hukum kerja ?
3.      Apa saja filsafah kerja ?
4.      Apa saja ciri etos kerja muslim ?
5.      Apa saja tujuan bekerja menurut islam ?
6.      Apa saja fungsi kerja ?
7.      Apa saja pekerjaan yang dibolehkan islam ?
8.      Apa saja pekerjaan yang dilarang islam ?
9.      Apa saja etika bekerja ?
10.  Apa hikmah dari bekerja ?
11.  Apa pengertian dari pendapatan ?
12.  Apa pengertian pendapatan nasional ?
13.  Bagaimana pendapatan nasional menurut islam ?
14.  Apa yang dimaksud GNP menurut islam ?
15.  Apa saja metode pendapatan ?
16.  Apa saja sumber pendapatan dalam islam ?
17.  Bagaimana distribusi pendapatan dalam islam ?
18.  Apa saja sektor-sektor distribusi pendapatan ?
19.  Apa pengertian hak milik ?
20.  Apa saja pembagian hak milik ?
21.  Apa saja sifat dari hak milik ?
22.  Apa tujuan dari kepemilikan ?
23.  Apa saja sebab-sebab dan hikmah adanya kepemilikan ?

1.3.  Tujuan Masalah
1.      Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian dari kerja.
2.      Mahasiswa dapat menjelaskan dasar hukum kerja.
3.      Mahasiswa dapat menjelaskan filsafah kerja.
4.      Mahasiswa dapat menjelaskan ciri etos kerja muslim.
5.      Mahasiswa dapat menjelaskan tujuan bekerja menurut islam.
6.      Mahasiswa dapat menjelaskan fungsi kerja.
7.      Mahasiswa dapat menjelaskan pekerjaan yang dibolehkan islam.
8.      Mahasiswa dapat menjelaskan pekerjaan yang dilarang islam.
9.      Mahasiswa dapat menjelaskan etika bekerja.
10.  Mahasiswa dapat menjelaskan hikmah dari bekerja.
11.  Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian dari pendapatan.
12.  Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian pendapatan nasional.
13.  Mahasiswa dapat menjelaskan pendapatan nasional menurut islam.
14.  Mahasiswa dapat menjelaskan GNP menurut islam.
15.  Mahasiswa dapat menjelaskan metode pendapatan.
16.  Mahasiswa dapat menjelaskan sumber pendapatan dalam islam.
17.  Mahasiswa dapat menjelaskan distribusi pendapatan dalam islam.
18.  Mahasiswa dapat menjelaskan sektor-sektor distribusi pendapatan.
19.  Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian hak milik.
20.  Mahasiswa dapat menjelaskan pembagian hak milik.
21.  Mahasiswa dapat menjelaskan sifat dari hak milik.
22.  Mahasiswa dapat menjelaskan tujuan dari kepemilikan.
23.  Mahasiswa dapat menjelaskan sebab-sebab dan hikmah adanya kepemilikan.

BAB II

PEMBAHASAN


2.1. Kerja Dalam Perspektif Islam

A.      Pengertian Kerja
Bekerja bagi seorang muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh (fardhu/wajib) dengan mengerahkan seluruh aset, pikir dan dzikirnya untuk menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khairu ummah) atau dengan kata lain dapat juga kita katakan bahwa hanya dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.
Kerja adalah suatu cara untuk memenuhi kebutuhan manusia baik kebutuhan fisik, psikologis, maupun sosial. Dengan pekerjaan manusia akan memperoleh kepuasan-kepuasan tertentu yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik dan rasa aman, serta kebutuhan sosial dan kebutuhan ego. Selain itu kepuasan seseorang terhadap pekerjaan juga diperoleh melalui berbagai bentuk kepuasan yang dapat dinikmati diluar kerja, misalnya kepuasan sewaktu bekerja, menikmati liburan, dan yang lebih mendasar lagi dapat menghidupi diri dan keluarga.
Selain itu, kerja adalah aktivitas yang mendapat dukungan sosial dan individu itu sendiri. Dukungan sosial itu dapat berupa penghargaan masyarakat terhadap aktivitas kerja yang ditekuni. Sedangkan dukungan individu dapat berupa kebutuhan-kebutuhan yang melatarbelakangi aktivitas kerja. Seperti kebutuhan untuk aktif, untuk berproduksi, berkreasi, untuk memperoleh pengakuan dari orang lain, memperoleh prestise serta kebutuhan-kebutuhan lainnya. Bekerja merupakan kegiatan pokok dari suatu aktivitas kemanusiaan yang dapat dibagi menjadi sejumlah dimensi, yaitu dimensi fisiologis, dimensi psikologis, dimensi ikatan sosial dan ikatan kelompok, dimensi ekonomi, dimensi kekuasaan, serta dimensi kekuasaan ekonomi.
Ø  Dimensi Fisiologis adalah dimensi yang memandang bahwa manusia bukanlah mesin. Manusia dalam bekerja tidak dapat disamakan dengan mesin.
Ø  Dimensi Psikologis merupakan suatu dimensi dimana kerja disamping merupakan beban, juga merupakan suatu kebutuhan. Dengan demikian bekerja juga merupakan upaya pengembangan kepribadian.
Ø  Dimensi Ikatan Sosial dan Kelompok : Pekerjaan dapat menjadi pengikat sosial dan kelompok karena pekerjaan akan dapat menjadi cara seseorang untuk memasuki suatu ikatan kelompok tertentu. Dengan pekerjaannya seseorang dapat menyatakan tentang bagaimana status yang dimilikinya.
Ø  Dimensi ekonomi mengandung pengertian bahwa pekerjaan merupakan sumber mata pencaharian bagi seseorang. Pekerjaan dapat menjadi sumber kegiatan ekonomi untuk masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang. Dengan adanya sumber penghasilan inilah seseorang dapat hidup secara mandiri dan menghidupi keluarganya.
Ø  Dimensi Kekuasaan dalam bekerja selalu ada, terutama jika seseorang bekerja dalam suatu organisasi kerja. Bagaimanapun setiap pekerjaan dalam ruang lingkup suatu organisasi kerja selalu ada wewenang pribadi. Dalam organisasi kerja, pekerjaan harus di susun sedemikian rupa, sehingga ada jadwal, jelas pendelegasian wewenangnya. Semua ini menyangkut masalah kekuasaan.
Ø  Dimensi Kekuasaan Ekonomi menerapkan bahwa setiap orang dalam pekerjaan akan memberikan sumbangan berdasarkan pada apa yang sudah mereka lakukan.
Secara hakiki bekerja seorang muslim merupakan ibadah bukti pengabdian dan rasa syukurnya untuk mengolah dan memenuhi panggilan Ilahi agar mampu menjadi yang terbaik karena mereka sadar bahwa bumi diciptakan sebagai ujian bagi mereka yang memiliki etos yang terbaik. Sesuai Firman Allah SWT Surah Al-Kahfi : 7

إِنَّا جَعَلۡنَا مَا عَلَى ٱلۡأَرۡضِ زِينَةٗ لَّهَا لِنَبۡلُوَهُمۡ أَيُّهُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗا ٧
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (Al-Kahfi : 7)
Karena kebudayaan kerja Islami bertumpu pada akhlaqul karimah umat Islam akan menjadikan akhlak sebagai energi batin yang terus menyala dan mendorong setiap langkah kehidupannya dalam koridor jalan yang lurus. Semangat dirinya adalah minallah, fisabilillah, Illah (dari Allah, dijalan Allah, dan untuk Allah).

B.       Dasar Hukum Kerja
Salah satu prasarat untuk terhindarnya umat manusia dari kerugian yang sangat besar adalah dengan bekerja. Berikut dasar hukum kewajiban untuk bekerja.


Surah Al-Mujadalah Ayat 11 yang berbunyi :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ تَفَسَّحُواْ فِي ٱلۡمَجَٰلِسِ فَٱفۡسَحُواْ يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُواْ فَٱنشُزُواْ يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ١١

“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Mujadilah : 11)

Surah Al-Jumu’ah ayat 9-11 yang berbunyi :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوۡمِ ٱلۡجُمُعَةِ فَٱسۡعَوۡاْ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَذَرُواْ ٱلۡبَيۡعَۚ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٩ فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٠ وَإِذَا رَأَوۡاْ تِجَٰرَةً أَوۡ لَهۡوًا ٱنفَضُّوٓاْ إِلَيۡهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمٗاۚ قُلۡ مَا عِندَ ٱللَّهِ خَيۡرٞ مِّنَ ٱللَّهۡوِ وَمِنَ ٱلتِّجَٰرَةِۚ وَٱللَّهُ خَيۡرُ ٱلرَّٰزِقِينَ ١١

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum´at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (9). Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung (10). Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki (11). (Al-Jumuah :11).


Dan hadist nabi yang diriwayatkan oleh Anas r.a.

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَيْسَ بِخَيْرِكُمْ مَنْ تَرَكَ دُنْيَاهُ لِأَخِرَتِهِ وَتَرَكَ أَخِرَتَهُ لِدُنْيَاهُ حَتَّى يُصِيْبَ مِنْهُمَا جَمِيْعًا فَإِنَّ الدُّنْيَا بَلاَغٌ إِلَآ الْأَخِرَةِ وَلاَ تَكُوْنُوْا كَلاًّ عَلَى النَّاسِ (رَوَاه ابن عساكر(

“Dari Anas ra berkata: Rasulullah saw bersabda,“Tidak baik orang yang meninggalkan dunia untuk kepentingan akhirat saja, atau meninggalkan akhirat untuk kepentingan dunia saja, tetapi harus memperoleh kedua-duanya. Karena kehidupan dunia mengantarkan kamu menuju akhirat. Oleh karena itu jangan sekali-kali menjadi beban orang lain.” (HR. Ibnu `Asakir)

C.      Falsafah Kerja
Rezeki adalah urusan Allah, manusia hanya wajib berusaha sekuat tenaga dan jangan sampai kita merasa angkuh setelah mendapatkan rezeki yang banyak, karena meskipun telah berusaha semaksimal mungkin, tanpa campur tangan Allah tidak mungkin rezeki itu akan menghampiri kita.
Orang yang melakukan kerja apa saja, lazimnya cenderung melihat pada imbalan kerja (upah) yang mereka terima, tanpa memikirkan apakah imbalan itu baik dan halal. Pada umumnya orang hanya berorientasi pada sabda Rasulullah Saw: “Berikanlah upah kepada pekerja”, tetapi melupakan kelanjutan yang berbunyi “Sebelum kering keringatnya”, ini berarti bahwa yang dimaksud pekerjaan yang mendapatkan upah itu ialah pekerjaan yang memeras otak atau tenaga. Sedangkan pekerjaan dalam bentuk apapun yang tidak menimbulkan suatu tanggung jawab atau tidak mencucurkan keringat, atau tidak perlu harus berusaha payah, maka tidak halal anda menerima upah dan imbalan.
§  Kewajiban mencari rizki yang halal:
طَلَبُ اْلحَلاَ لِ فَرِيْضَةً بَعْدَ اْلفَرِيْضَةِ
“Bekerja mencari yang halal itu suatu kewajiban sesudah kewajiban beribadah”. (HR. Thabrani dan Baihaqi).



§  Ancaman terhadap orang yang tidak mau bekerja mencari yang halal

أَشَدُّ االنَّاسِ حَسْرَةٍ يَوْمَ اْلقِيَا مَةِ رَجُلُ كَسَبَ مَالاً مِنْ غَيْرُ حِلَّةٍ فَذَ خَلَبِهِ النَّارَ
“Orang yang paling rugi di hari kiamat kelak adalah orang yang mencari harta secara tidak halal, sehingga menyebabkan ia masuk neraka”. (HR. Bukhari)

D.      Ciri Etos Kerja Muslim
Ciri-ciri orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja akan tampak dalam sikap dan tingkah-lakunya yang dilandasi pada keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu ibadah dan berprestasi itu indah. Ada semacam panggilan dari hatinya untuk terus menerus memperbaiki diri, mencari prestasi bukan prestise, dan tampil sebagai bagian dari umat yang terbaik (Khairu ummah)
Ø  Ciri etos kerja muslim:
1.      Mereka kecanduan waktu.
2.      Mereka memiliki moralitas yang bersih (ikhlas).
3.      Mereka kecanduan kejujuran.
4.      Mereka memiliki komitmen (Aqidah, Akad, I’tikad).
5.      Istiqamah, kuat pendirian.
6.      Mereka kecanduan pendirian.
7.      Konsekuen dan berani menghadapi tantangan (challenge).
8.      Memiliki sikap percaya diri
9.      Kreatif
10.  Bertanggung jawab
            Kerja keras bukan hanya dilakukan pada saat memulai saja, tetapi juga terus dilakukan walaupun kita sudah berhasil. Lakukan perbaikan terus menerus, terhadap pekerjaan yang telah lalu, jangan terlena karena keberhasilan.

E.       Tujuan Bekerja Menurut Islam
Bekerja bagi umat Islam tentu tidak hanya dilandasi oleh tujuan-tujuan yang bersifat duniawi belaka. Lebih dari itu, bekerja adalah untuk beribadah. Bekerja akan memberikan hasil. Hasil inilah yang memungkinkan kita dapat makan, berpakaian, tinggal di sebuah rumah, memberi nafkah keluarga, dan menjalankan bentuk-bentuk ibadah lainnya secara baik.

1.            Memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarga
         Bekerja menurut Islam adalah memenuhi kebutuhan sendiri, keluarga termasuk istri, anak-anak dan orang tua. Islam menghargai semua itu sebagai sedekah, ibadah, dan amal saleh.
2.            Memenuhi ibadah dan kepentingan sosial
Bila bekerja dianggap sebagai ibadah yang suci, maka demikian pula harta benda yang dihasilkannya. Alat-alat pemuas kebutuhan dan sumber daya manusia, melalui proses kerja adalah hak orang-orang yang memperolehnya dengan kerja tersebut, dan harta benda itu dianggap sebagai sesuatu yang suci. Jaminan atas hak milik perorangan, dengan fungsi sosial, melalui institusi zakat, shadaqah, dan infaq, merupakan dorongan yang kuat untuk bekerja. Dasarnya adalah penghargaan Islam terhadap upaya manusia.

F.       Fungsi Kerja
Bekerja keras adalah merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap orang yang mengaku dirinya beriman kepada Allah SWT, hal ini dibuktikan dengan banyaknya perintah Allah dalam Al-qur’an yang menyuruh untuk bekerja. Maka dari itu pekerjaan memiliki beberapa fungsi :
1.        Kerja Sebagai Sumber Nilai
Islam menjadikan kerja sebagai sumber nilai insan dan ukuran yang tanggung jawab berbeda. Kerja sebagai sumber nilai manusia bererti manusia itu sendiri menentukan nilai atau harga ke atas sesuatu perkara itu. Sesuatu perkara itu pada zatnya tidak ada apa-apa nilai kecuali kerana nisbahnya kepada apa yang dikerjakan oleh manusia bagi menghasil, membuat, mengedar atau menggunakannya.
Kerja juga merupakan sumber yang objektif bagi penilai prestasi manusia berasaskan segi kelayakan.Oleh yang demikian Islam menentukan ukuran dan syarat-syarat kelayakan dan juga syarat-syarat kegiatan bagi menentukan suatu pekerjaan atau jawatan itu supaya dapat dinilai prestasi kerja seseorang itu. Dengan cara ini, Islam dapat menyingkirkan perasaan pilih kasih dalam menilai prestasi seseorang sama ada segi sosial, ekonomi dan politik.



2.      Kerja Sebagai Sumber Pencarian
Islam mewajibkan setiap umatnya bekerja untuk mencari rezeki dan pendapatan bagi menyara hidupnya.Islam memberi berbagai-bagai kemudahan hidup dan jalan-jalan mendapatkan rezeki di bumi Allah yang penuh dengan segala nikmat ini. Islam memerintahkan umatnya mencari rezeki yang halal kerana pekerjaan itu adalah bagi memelihara maruah dan kehormatan manusia. Oleh yang demikian Islam mencela kerja meminta-minta atau mengharapkan pertolongan orang lain kerana ianya boleh merendahkan harga diri atau maruah.
3.        Kerja Sebagai Asas Kemajuan Umat
Islam mewajibkan kerja untuk tujuan mendapatkan mata pencarian hidup dan secara langsung mendorongkan kepada kemajuan sosioekonomi. Islam mengambil perhatian yang bersungguh-sungguh terhadap kemajuan umat kerana itu ia sangat menekankan kemajuan di peringkat masyarakat dengan menggalakkan berbagai kegiatan ekonomi sama ada di sekitar pertanian, perusahaan dan perniagaan. Dalam hadis Rasulullah (s.a.w) sangat ketara dorongan ke arah kemajuan ekonomi di sektor tersebut, sebagai contoh:
a.         Di Bidang Pertanian
b.        Di Bidang Perusahaan
c.         Di Bidang Perniagaan
Rasulullah (s.a.w) pernah meletakkan para peniaga yang jujur dan amanah kepada kedudukan yang sejajar dengan para wali, orang-orang yang benar, para syuhada' dan orang-orang soleh. Baginda juga menyatakan bahawa sembilan persepuluh daripada rezeki itu adalah pada perniagaan.

G.      Pekerjaan yang Diperbolehkan Islam
Pada zaman dahulu, ada yang pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, pekerjaan apakah yang paling baik? Beliau bersaabda, “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (diberkahi).” (HR. Ahmad 4:141, hasan lighoirihi).
Pada dasarnya Islam menjunjung tinggi nilai kerja agar manusia dapat hidup sejahtera. Setiap perbuatan yang mengganggu kebebasan orang lain sama halnya berbuat ketidakadilan. Islam menghendaki kebebasan yang harmonis yang mampu memacu kesejahteraan bersama. Maka disitulah perlunya aturan yang jelas dan tegas, termasuk dalam bekerja.
Banyak sekali lapangan pekerjaan yang tersedia untuk manusia. Semakin maju peradaban manusia semakin bertambahlah jenis profesi atau pekerjaannya. Jenis pekerjaan yang diperbolehkan Islam antara lain:
1.      Menjadi buruh, karyawan, pegawai.
2.      Pertanian, peternakan, dan perikanan
3.      Perdagangan
4.      Pendidikan dan keguruan
5.      Industri dan pakaian jadi
6.      Pertambangan darat dan laut
7.      Jasa transportasi
8.      Pengobatan
9.      Konstruksi dan pertukangan
Masih banyak jenis pekerjaan atau profesi lain yang diperbolehkan Islam. Jenis profesi baru akan terus bertambah sesuai perkembangan peradaban manusia yang tiada hentinya. Namun sebagai dasar pemikiran, semua profesi yang halal adalah yang tidak dilarang Islam.

H.      Pekerjaan yang Dilarang Islam
Setiap usaha harus dilakukan menurut peraturan-peraturan yang berlaku agar tidak ada individu-individu atau kelompok-kelompok yang dirugikan. Setiap usaha yang merugikan seseorang atau orang banyak atau melanggar Undang-Undang umum yang berlaku di dalam suatu negara, dilarang oleh Islam dan hukumnya haram. Demikian pada usaha-usaha maksiat atau yang membatu terjadinya maksiat, penipuan, dan pemaksaan. Beberapa jenis pekerjaan yang dilarang Islam antara lain:
1.      Meminta-minta.
2.      Perjudian.
3.      Pelacuran.
4.      Mencuri dan merampok.
5.      Mencari pekerjaan dengan suap.
6.      Bekerja pada perusahaan terlarang.
7.      Riba.
8.      Mengurangi timbangan dengan curang.
9.      Produksi dan jual beli barang haram.
10.  Memonopoli dan penimbunan.
I.         Etika Bekerja
Dalam bekerja, setiap pekerja muslim (muslimah), hendaknya sesuai dengan etika Islam, yaitu :
1.      Melandasi setiap kegiatan kerja semata-mata ikhlas karena Allah serta untuk memperoleh rida-Nya. Pekerjaan yang halal bila dilandasi dengan niat ikhlas karena Allah tentu akan mendapatkan pahala ibadah.
Rasulullah saw bersabda , yang artinya : Allah swt tidak akan menerima amalan, melainkan amalan yang ikhlas dan yang karena untuk mencari keridaan-Nya (H.R Ibnu Majah)
2.      Mencintai pekerjaannya. Karena pekerja yang mencinta pekerjaanya, biasanya dalam bekerja akan tenang, senang, bijaksana, dan akan meraih hasil kerja yang optimal.
Rasulullah saw bersabda, yang artinya Sesungguhnya Allah cinta kepada seseorang di antara kamu yang apabila mengerjakan sesuatu pekerjaan maka ia rapihkan pekerjaan itu.
3.      Mengawali setiap kegiatan kerjanya dengan ucapan basmalah.
Nabi saw bersabda yang artinya :Setiap urusan yang baik (bermanfaat, yang tidfak dimulai dengan ucapan basmalah (bismillahirrahmanirrahim,maka terputus berkahnya.(H.R.Abdul Qahir dari Abu Hurairah)
4.      Melaksanakan setiap kegiatan kerjanya dengan cara yang halal.
Nabi saw bersabda, yang artinya :Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang baik,mencintai yang baik (halal), dan tidak menerima (sesuatu) kecuali yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin sesuatu yang diperintahkan kepada para utusan-Nya (H.R.Muslim dan Tirmidzi)
5.      Tidak (Haram) melakukan kegiatan kerja yang bersifat mendurhakai Allah. Misalnya bekerja sebagai germo, pencatat riba (renten), dan pelayan bar.
Rasulullah Bersabda :“Tidak ada ketaatan terhadap makhluk untuk mendurhakai sang pencipta”.(H.R.Ahmad bin Hambai dalam musnadnya, dan hakim dalan Al-Mustadrokanya, kategori hadis shahih)
6.      Tidak membebani diri, alat-alat produksi, dan hewan pekerja dengan pekerjaan-pekerjaan di luar batas kemampuan.
7.      Memiliki sifat-sifat terpuji seperti jujur, dapat dipercaya, suka tolong menolong dalam kebaikan, dan professional dalam kerjanya
8.      Bersabar apabila menghadapi hambatan-hambatan dalam kerjanya.Sebaliknya, bersyukur apabila memperoleh keberhasilan.
9.      Menjaga keseimbangan antara kerja yang manfaatnya untuk kehidupan di dunia dan yang manfaatnya untuk kehidupan di akhirat. Seseorang yang sibuk bekerja sehingga meninggalkan shalat lima waktu, tidak sesuai dengan Islam.

J.        Hikmah Bekerja
1.      Mengembangkan kemampuan diri, baik bakat, minat ataupun hal lain.
2.      Membentuk diri yang bertanggung jawab dan disiplin.
3.      Mengangkat derajat dan martabat.
4.      Meningkatkan taraf hidup.
5.      Mendapat pahala dari Allah SWT.
2.2.  Deskriptif Pendapatan
A.      Pengertian Pendapatan
Pendapatan merupakan penghasilan yang timbul dari aktivitas perusahaan yang biasa dan dikenal dengan sebutan yang berbeda seperti penjualan, penjualan jasa, bunga, dividen, royalti, dan sewa. Pendapatan merupakan hal yang sangat penting, karena pendapatan itu yang menjadi objek atas kegiatan perusahaan.
Pendapatan dapat diartikan juga sebagai penghasilan yang diperoleh dari suatu pekerjaan, atau menurut FASB, pengertian pendapatan (Stice, Skousen, 2004, 230), didefinisikan sebagai berikut :

“Pendapatan adalah sebagai arus masuk atau kenaikan-kenaikan lainnya dari nilai harta suatu satuan usaha atau penghentian hutang- hutangnya atau kombinasi dari keduanya dalam suatu periode akibat dari penyerahan atau produksi barang-barang, penyerahan jasa-jasa, atau pelaksanaan aktivitas-aktivitas lainnya yang membentuk operasi-operasi utama atau sentral yang berlanjut terus dari satuan usaha tersebut.”

Hasil-hasil penjualan sumber daya seperti pabrik atau inventasi jangka panjang tidak boleh dicantumkan sebagai pendapatan. Namun jika harta tersebut dijual secara menguntungkan, kenaikan harta bersih yang diperoleh melalui pembelian, hasil-hasil dari peminjaman, dan kontribusi modal tidak meningkatkan pendapatan. Untuk memperjelas pengertian pendapatan di atas, berikut ini diberikan contoh, yaitu :
1.      Perusahaan Industri
Perusahaan industri adalah perusahaan yang mengolah atau memproduksi bahan baku menjadi bahan jadi, yang kemudian dijual kepada konsumen. Dalam perusahaan industri, pendapatan yang diperoleh berasal dari penjualan barang- barang yang diproduksinya. Jadi, setiap jumlah barang yang dijual di pasar merupakan pendapatan dari perusahaan tersebut.
2.      Perusahaan Dagang
Perusahaan dagang adalah perusahaan yang menjual barang dagangan yang sebelumnya dibeli dari perusahaan pabrikasi. Dalam perusahaan dagang, pendapatan diperoleh dari penjualan barang dagangan sesuai dengan harga beli barang tersebut ditambah dengan laba yang diharapkan.
3.      Perusahaan Jasa
Perusahaan jasa adalah perusahaan yang bergerak di bidang jasa, di mana perusahaan ini memberi jasa kepada konsumen dan memperoleh imbalan dari jasa yang telah diberikan. Imbalan yang diperoleh perusahaan jasa disebut sebagai pendapatan yang berasal dari pengenaan jasa kepada pihak-pihak lain yang menggunakan jasa yang bersangkutan.

Selain di atas, pendapatan dapat diperoleh dengan menanamkan sebahagian harta yang tidak dapat dipakai perusahaan dalam bentuk surat-surat berharga, seperti saham yang memberikan hasil berupa dividen (pembagian laba kepada pemegang saham berdasarkan banyaknya saham yang dimiliki) bagi perusahaan, dan pendapatan bunga dari investasi jangka panjang seperti obligasi.

B.       Pengertian Pendapatan Nasional
Pendapatan Nasional adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh seluruh rumah tangga keluarga di suatu negara dalam kurun waktu tertentu dari faktor-faktor produksi. Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat diukur dengan melihat pendapatan nasionalnya.Pendapatan nasional diukur  dengan Produk Nasional Bruto (Gross National Product), yaitu jumlah seluruh jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam kurun waktu satu tahun, diukur menurut harga pasar negara tersebut. Terdapat 3 pendekatan dalam mengukur besarnya GNP, yakni dihitung berdasarkan:
1.        Pengeluaran untuk membeli barang dan jasa.
2.        Nilai barang dan jasa akhir.
3.        Dari pasar faktor produksi dengan menjumlahkan penerimaan yang diterima oleh pemilik faktor produksi (upah + bunga + sewa +  keuntungan).

C.      Pendapatan Nasional Menurut Islam
Dalam perhitungan Pendapatan Nasional secara konvensional sering sekali terjadi masalah keraguan, masalahnya ketika kita melihat perhitungan yang dilakukan dengan cara GNP riil misalnya, pasti pendapatan tersebut adalah hasil output dibagi dengan jumlah penduduk. Lalu jika ada beberapa orang dari sekian penduduk yang memiliki pendapatan rendah apakah akan adil perhitungannya jika output total dibagi dengan jumlah penduduk?, Padahal mungkin ada satu sisi masyarakat yang memang produktif tapi mungkin ada juga sisi lain yang mana ternyata masyarakatnya kurang produktif. Maka perlu adanya perhitungan yang memang benar-benar mencerminkan pendapatan nasional yang sesungguhnya. Maka dalam perhitungan ekonomi islam terdapat prinsip yang harus dipegang teguh dalam perhitungan pendapatan nasional, yaitu:
1.        Pendapatan nasional harus menggambarkan pendapatan masyarakat yang sesuai dengan penyebaran penduduk.
2.        Pendapatan Nasional perkotaan dan pedesaan harus dapat dibedakan, karena secara jelas produksinya tidak dapat disamakan.
3.        Pendapatan Nasional harus dapat mengukur secara jelas kesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya.

D.      Gross National Product (GNP) Menurut Islam
Satu hal yang membedakan sistem ekonomi islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah penggunaan parameter falah. Falah adalah kesejahteraan yang hakiki, kesejahteraan yang sebenar-benarnya, dimana komponen-komponen rohaniah masuk ke dalam pengertian falah ini. Al- Falah dalam pengertian islam mengacu kepada konsep islam tentang manusia itu sendiri. Dalam islam, esensi manusia ada pada rohaniahnya. Karena itu, seluruh kegiatan duniawi termasuk dalam aspek ekonomi diarahkan tidak saja untuk memenuhi tuntutan fisik jasadiyah melainkan juga memenuhi kebutuhan rohani dimana roh merupakan esensi manusia.
Konsep ekonomi kapitalis yang hanya mengukur kesejahteraan berdasarkan angka GNP, jelas akan mengabaikan aspek rohani umat manusia. Pola dan proses pembangunan ekonomi diarahkan semata-mata untuk meningkatkan pendapatan perkapita. Ini akan mengarahkan manusia pada konsumsi fisik yang cenderung hedonis sehingga menghasilkan produk-produk yang dilempar ke pasaran tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya bagi aspek kehidupan lain.
Cara berfikir semacam ini akan membawa umat manusia kedalam situasi berlakunya hukum rimba, yakni siapa yang kuat dialah yang akan  menang (survival of the fittest). Maka dari itu, selain harus memasukkan unsur falah dalam menganalisis kesejahteraan, penghitungan pendapatan nasional berdasarkan islam juga harus mampu mengenali bagaimana interaksi instrumen-instrumen wakaf, zakat, dan sedekah dalam meningkatkan kesejahteraan umat.
Ekonomi islam harus mampu menyediakan suatu cara untuk mengukur kesejahteraan ekonomi dan kesejahteraan sosial berdasarkan sistem moral dan sosial islam. Setidaknya ada 4 hal yang semestinya bisa diukur dengan pendekatan pendapatan nasional berdasarkan ekonomi islam, sehingga tingkat kesejahteraan bisa dilihat secara lebih jernih dan tidak bias. Adapun hal 4 tersebut adalah:
1.        Pendapatan nasional harus dapat mengukur penyebaran pendapatan individu rumah tangga.
2.        Pendapatan nasional harus dapat mengukur produksi di sektor pedesaan.
3.        Pendapatan nasional harus dapat mengukur kesejahteraan ekonomi islam.
4.        Penghitungan pendapatan nasional sebagai ukuran dari kesejahteraan sosial islami melalui pendugaan nilai santunan antarsaudara dan sedekah.

E.       Metode Pendapatan
Menurut struktur atas legislasi islam, pendapatan yang berhak diterima, dapat ditentukan melalui dua metode. Metode pertama adalah ujrah (kompensasi, imbal jasa, upah), sedangkan yang kedua adalah bagi hasil. Seorang pekerja berhak meminta sejumlah uang sebagai bentuk kompensasi atas kerja yang dilakukan. Demikian pula berhak meminta bagian profit atau hasil dengan rasio bagi hasil tertentu sebagai bentuk kompensasi atas kerja. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran dan Sunnah.
Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.
Hadist riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi Muhammad saw Bersabda:

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”.

Islam menawarkan suatu penyelesaian yang sangat baik atas masalah pendapatan dan menyelamatkan kepentingan kedua belah pihak, kelas pekerja dan para majikan tanpa melanggar hak-hak yang sah. Dalam perjanjian (tentang pendapatan) kedua belah pihak diperingatkan untuk bersikap jujur dan adil dalam semua urusan mereka, sehingga tidak terjadi tindakan aniaya terhadap orang lain juga tidak merugikan kepentingannya sendiri. Nabi muhammad saw
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) adalah kezaliman” (HR. Al-Bukhari & Muslim)
Penganiayaaan terhadap para pekerja berarti bahwa mereka tidak dibayar secara adil dan bagian yang sah dari hasil kerja sama sebagai jatah dari pendapatan mereka tidak mereka peroleh, sedangkan yang dimaksud dengan penganiayaan terhadap majikan yaitu mereka dipaksa oleh kekuatan industri untuk membayar pendapatan para pekerja melebihi dari kemampuan mereka.
Oleh karena itu al-Quran memerintahkan kepada majikan untuk membayar pendapatan para pekerja dengan bagian yang seharusnya mereka terima sesuai kerja mereka, dan pada saat yang sama dia telah menyelamatkan kepentingannya sendiri. Demikian pula para pekerja akan dianggap penindas jika dengan memaksa majikan untuk membayar melebihi kemampuannya. Prinsip keadilan yang sama tercantum dalam surat al-Jaziyah ayat 22 :

وَخَلَقَ ٱللَّهُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ بِٱلۡحَقِّ وَلِتُجۡزَىٰ كُلُّ نَفۡسِۢ بِمَا كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ ٢٢
“Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan.” (Al-jastiyah : 22)

Prinsip dasar ini mengatur kegiatan manusia karena mereka akan diberi balasan di dunia dan di akhirat. Setiap manusia akan mendapat imbalan dari apa yang telah dikerjakannya dan masing-masing tidak dirugikan. Ayat ini menjamin tentang upah yang layak kepada setiap pekerja sesuai dengan apa yang telah disumbangkan dalam proses produksi, jika ada pengurangan dalam upah mereka tanpa diikuti oleh berkurangnya sumbangsih mereka, hal itu dianggap ketidakadilan dan penganiayaan. Ayat ini memperjelas bahwa upah setiap orang itu harus ditentukan berdasarkan kerjanya dan sumbangsihnya dalam kerja sama produksi dan untuk itu harus dibayar tidak kurang, juga tidak lebih dari apa yang telah dikerjakannya.
Meskipun dalam ayat ini terdapat keterangan tentang balasan tehadap manusia di akhirat kelak terhadap pekerjaan mereka di dunia, akan tetapi prinsip keadilan yang disebutkan di sini dapat pula diterapkan kepada manusia dalam memperoleh imbalannya di dunia ini. Oleh karena itu, setiap orang harus di beri pendapatan penuh sesuai hasil kerjanya dan tidak seorangpun yang harus diperlakukan secara tidak adil. Pekerja harus memperoleh upahnya sesuai sumbangsihnya terhadap produksi. Dengan demikian setiap orang memperoleh bagiannya dari deviden Negara dan tidak seorangpun yang dirugikan.
Sisi doktrinal (normatif) dari teori islam yang mengikat dan menjelaskan jenis-jenis perolehan pendapatan yang muncul dari kepemilikan sarana-sarana produksi, juga untuk menjustifikasi izin serta larangan bagi kedua metode penetapannya. Norma menyatakan seluruh aturan hukum pada saat penemuannya atau saat berlakunya adalah perolehan pendapatan (al-Kasb) didasarkan pada kerja yang dicurahkan dalam aktivitas produksi. Kerja yang tercurah merupakan satu satunya justifikasi dasar bagi pemberian kompensasi kepada si pekerja dari orang yang memintanya melakukan pekerjaan itu. Orang yang tidak mencurahkan kerja tidak memperoleh justifikasi untuk menerima pendapatan. Norma ini memiliki pengertian positif dan negatifnya.
Pada sisi positif, norma ini menggariskan bahwa perolehan pendapatan atas dasar kerja adalah sah. Sementara pada sisi negatif, norma ini menegaskan ketidakabsahan pendapatan yang diperoleh tidak atas dasar kerja. Sisi positif norma ini tercermin dalam aturan aturan tentang pendapatan atau sewa. Aturan-aturan tersebut mengizinkan pekerja yang jasa kerjanya tercurah pada aktivitas produksi tertentu untuk menerima upah sebagai kompensasi atas kerja yang dicurahkan dalam aktivitas produksi itu.
Sisi negatif norma ini menafikan setiap pendapatan yang tidak didasarkan pada kerja yang tercurah dalam aktivitas produksi. Teks yang termaktub dalam kitab An Nihayah menyatakan bahwa jika melakukan kerja, maka berhak memperoleh surplus. Surplus yang diterima itu adalah kompensasi atas kerja. Atas dasar keterkaitan perolehan pendapatan dengan kerja.

F.       Sumber Pendapatan Dalam Islam
Banyak sekali pendapatan
1.        Ghanimah
          Secara etimologi berasal dari kata ghanama-ghanimatuh yang berarti memperoleh jarahan ‘rampasan perang’. harta ini adalah harta yang didapatkan dari hasil peperangan dengan kaum musyrikin. Yang menjadi sasarannya adalah orang kafir yang bukan dalam wilayah yang sama (kafir dzimmi), dan harta yang diambil bisa dari harta yang bergerak atau harta yang tidak bergerak, seperti: perhiasan, senjata, unta, tanah, dll. Untuk porsinya 1/5 untuk Allah dan Rasulnya, kerabat Rasul, anak yatim, dan fakir miskin, dan ibn sabil, dan 4/5 untuk para balatentara yang ikut perang. Kemudian sisanya disimpan di Baitul Mal untuk didistribusikan kemudian.
2.        Shadaqah
          Secara etimologi adalah berasal dari kata shadaqa yang berarti benar, pembuktian, dan syahadat (keimanan) yang diwujudkan dengan bentuk pengorbanan materi. Menurut Ibn Thaimiyah shadaqah adalah zakat yang dikenakan atas harta kekayaan muslim tertentu. Shadaqah dibagi kedalam tiga kategori, yaitu: shadaqah dalam pengertian pemberian sunnah yaitu pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima shadaqah tanpa imbalan tersebut. Shadaqah dalam pengertian zakat yaitu karena dalam beberapa nash lafadz shadaqah mempunyai arti zakat, dalam hal ini shadaqah merupakan kata lain dari zakat. Namun demikian penggunaan kata shadaqah dalam arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak, artinya untuk mengartikannya harus berdasarkan indikasi atau qarinah tertentu yang sudah jelas.Shadaqah dalam pengertian suatu yang ma’ruf (benar dalam pandangan syara’) pengertian ini didasarkan pada hadits riwayat Imam Muslim Nabi bersabda: kullu ma’rufin shadaqatun (setiap kebajikan adalah shadaqah). Berdasarkan hadits ini, maka mencegah dari maksiat, memberi nafkah kepada keluarga, beramal ma’ruf nahi mungkar, menumbuhkan syahwat kepada istri, dan tersenyum adalah bentuk shadaqah.
3.      Infaq
          Infaq diambil dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan sesuatu (harta) untuk kepentingan sesuatu. Menurut literature yang lain infaq berarti mengeluarkan sebagian harta atau pendapatan untuk satu kepentingan yang diperintahkan ajaran islam. Dalam infaq tidak mengenal yang  namanyanisab, asnaf, dan subjeknya, artinya orang kafirpun bisa mengeluarkan infaq yang dialokasikan untuk kepentingan agamanya. Infaq ini boleh diberikan kepada siapa saja dan berapa saja. Untuk ruang lingkupnya infaq lebih luas daripada zakat yang mana hanya untuk orang muslim saja.
4.      ushr
          ‘Ushr oleh kalangan ahli fiqh disebut sepersepuluh yang dalam hal ini memiliki dua arti.Pertama, sepersepuluh dari lahan pertanian yang disirami dengan air hujan. Kedua, sepersepuluh diambil dari pedagang-pedagang kafir yang memasuki wilayah islam dengan membawa barang dagangan. ‘Ushr diwajibkan hanya ketika ada hasil yang nyata dari tanahnya.Tanah yang sudah diwakafkan tetap diperlakukan sebagai tanah ‘ushr jika pemilik sudah menanami tanah tersebut.Yang termasuk kedalam harta ‘ushr adalah hasil pertanian dan perkebunan (buah, madu, dll.). Untuk hasil pertanian yang diairi dengan sumber alami (hujan, sumber air, dan arus) maka ‘ushr porsinya 10%, apabila pengairan tersebut masih menggunakan ala-alat produksi lain (alat irrigasi, sumur, dll) maka ‘ushrnya adalah 5%, dan untuk pengambilan ‘ushr ini adalah apabila sudah panen.
5.      Jizyah
          Asal kata dari jizyah adalah jaza’ yang berarti kompensasi, sedangkan menurut istilah adalah beban yang diambil dari penduduk non-muslim yang berada di negara islam sebagai biaya perlindungan atas kehidupan atau jiwa, kekayaan, dan kebebasan menjalankan agama mereka, dll. Jizyah dikenakan kepada orang kafir karena kekafirannya bukan kepada hartanya.Dalam hal ini para laki-laki yang mampu, orang kaya, dll.yang hidup dan tinggal dalam lingkungan negara islam. Jizyah merupakan bentuk daripada ketundukan seseorang kepada kekuasaan islam, membayar jizyah itu karena orang non-muslim itu bisa menikmati fasilitas umum bersama orang muslim (kepolisian, pengadilan, dll), dan ketidak wajiban ikut perang bagi para non-muslim. Akan tetapi ketidak wajiban ini bukan semata-mata karena mereka sudah membayar jizyah, ini merupakan keadilan islam yang mutlak karena perang dalam islam sangat erat hubungannya dengan aqidah(jihad fii sabilillah).  Untuk tarif atau jumlah jizyah yang akan diambil berbeda-beda, akan tetapi yang pasti adalah dengan menggunakan perinsip keadilan.
6.      Kharaj
          Secara harfiah kharaj berarti kontrak, sewa-menyewa atau menyerahkan. Dalam terminologi keuangan islam kharaj adalah pajak atas tanah atau hasil tanah. Yang mana diambil dari tanahnya orang non-muslim yang sudah ditaklukan dan tanah tersebut sudah diambil alih orang muslim. Dengan keringanan dari orang islam maka non-muslim tersebut masih bisa menguasai tanahnya untuk bercocok tanam yang hasilnya akan dibagi 50%-50%  antara non-muslim dan orang islam.
          Dalam hal ini kharaj dibagi kedalam dua bagian, yaitu: Kharaj yang dikenakan pada tanah (pajak tetap) artinya pajak tersebut tetap atas tanahnya selama setahun, dan hasil tanah (pajak proporsional) akan dikenakan sebagai bagian dari total hasil produksi pertanian. Sama seperti halnya pendapatan lain maka kharaj juga akan didistribusikan kepada kepentingan seluruh kaum muslimin.
          Pajak tambang yang hasilnya keras seperti emas, perak, besi, dll.atau harta karun yang ditemukan di wilayah orang islam, maka seperlima (1/5) harus diserahkan kepada negara untuk memenuhi keadilan sosial. Namun para ulama’ berbeda pendapat tentang pajak dan harta karun ini. Menurut Mazhab Syafi’i dan Hanbali ini dianggap sebagai zakat, sedangkan menurut Hanafi adalah sebagai barang rampasan.
7.      Waqaf
          Wakaf  secara harfiyah berarti berhenti, menahan, atau diam. Dalam hukum islam wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf) baik berupa perorangan maupun lembaga, dengan ketentuan bahwa hasilnya akan dipergunakan sesuai dengan syariat islam. Dalam literatur yang lain wakaf  mempunyai pengertian ‘suatu tindakan penahanan hari penggunaan dan penyerahan asset di mana seseorang dapat memanfaatkan hasilnya untuk tujuan amal sepanjang barang tersebut masih ada’.
          Harta yang sudah diwakafkan keluar dari hak miliknya (wakif), bukan pula harta tersebut adalah milik lembaga pengelola wakaf, akan tetapi milik Allah yang harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
          Dalam sejarah umat islam, masa keemasan perkembangan wakaf itu terjadi pada abad ke-8 dan ke-9 H. Pada waktu itu aset wakaf meliputi berbagai aset semacam masjid, mushala, sekolah, tanah pertanian, rumah, toko, kebun, pabrik, bangunan kantor, gedung pertemuan (ruang sidang), tempat perniagaan, pasar, tempat pemandian, gudang beras, dll. Dengan demikian para guru dapat bekerja dengan baik karena nafkahnya sudah terpenuhi, dan siswa pun dapat belajar dengan tenang karena tampa memikirkan masalah uang sekolah.

G.      Distribusi Pendapatan dalam Islam
Distribusi pendapatan dalam Islam merupakan penyaluran harta yang ada, baik dimiliki oleh pribadi atau umum (publik) kepada pihak yang berhak menerima yang ditunjukan untuk meningkatkan kesejahteran masyarakat sesuai dengan syariat. Fokus dari distribusi pendapatan dalam Islam adalah proses pendistribusiannya. Secara sederhana bisa digambarkan, kewajiban menyisihkan sebagian harta bagi pihak surplus (berkecukupan) diyakini sebagai kompensasi atas kekayaannya dan di sisi lain merupakan insentif (perangsang) untuk kekayaan pihak defisit (berkkekurangan).
Titik berat dalam pemecahan permasalahan ekonomi adalah bagaimana menciptakan mekanisme distribusi ekonomi yang adil di tengah masyarakat. Distribusi dalam ekonomi Islam mempunyai makna yang lebih luas mencakup pengaturan kepemilikan, unsur-unsur produksi,dan sumber-sumber kekayaan. Dalam ekonomi Islam diatur kaidah distribusi  pendapatan, baik antara unsur-unsur produksi maupun distribusi dalam sistem jaminan sosial.
Islam memberikan batas-batas tertentu dalam berusaha, memiliki kekayaan dan mentransaksikannya. Dalam pendistribusian harta kekayaan, Al-Quran telah menetapkan langkah-langkah tertentu untuk mencapai pemerataan pembagian kekayaan dalam masyarakat secara objektif, seperti memperkenalkan hukum waris yang memberikan batas kekuasaan bagi pemilik harta dengan maksud membagi semua harta kekayaan kepada semua karib kerabat apabila seseorang meninggal dunia. Begitu pula dengan hukum zakat, infaq, sadaqah, dan bentuk pemberian lainnya juga diatur untuk membagi kekayaan kepada masyarakat yang membutuhkan. Distribusi pendapatan dalam dunia perdagangan juga disyariatkan dalam bentuk akad kerja sama, misalnya distribusi dalam bentuk mudharabah merupakan bentuk distribusi kekayaan dengan sesama Muslim dalam bentuk investasi yang berorientasi profit sharing. Pihak pemodal yang mempunyai kelebihan harta membantu orang yang mempunyai keahlian berusaha, tetapi tidak punya modal. Tujuan aturan-aturan ini menurut Afzalur Rahman adalah untuk mencegah pemusatan kekayaan kepda golongan tertentu. Dalam QS 59: 7 dijelaskan :

مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ كَيۡ لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡۚ وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٧
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (Al-Hashr : 7)

Al-Quran berulang kali mengingatkan agar kamu Muslim tidak menyimpan dan menimbun kekayaan untuk kepentingan mereka sendiri, tetapi mereka harus memenuhi kewajiban terhadap keluarga, tetangga, dan orang-orang harus mendapat bantuan.
Ekonomi Islam terbebas dari kedua kezaliman kapitalisme dan sosialisme. Islam membangun filosofi dan sistemnya di atas pilar-pilar yang menekankan pada distribusi pra produksi dan distribusi pendapatan pasca produksi, yaitu pada distribusi sumber-sumber produksi dan hak kepemilikannya. Apa hak dan kewajiban dari kepemilikan tersebut. Islam mempunyai perhatian terhadap pemenuhan hak-hak pekerja dan upah mereka yang adil dan setimpal dengan kewajiban mereka tunaikan. Secara umum, Islam mengarahkan kegiatan ekonomi berbasis akhlak al-karimah dengan mewujudkan kebebasan dan keadilan dalam setiap aktivitas ekonomi.

H.      Sektor-Sektor Distribusi Pendapatan
Sektor-sektor distribusi pendapatan terbagi pada tiga bentuk, yakni sektor rumah tangga sebagai basis kegiatan produksi, sektor negara dan sektor industri, seperti yang akan diuraikan dibawah ini:
a.      Distribusi Pendapatan Sektor Rumah Tangga
Distribusi pendapatan dalam konteks rumah tangga tidak terlepas dari shadaqah. Shadaqah dalam konteks terminologi Al-Quran dapat dipahami dalam dua aspek, yaitu: shadaqah wajibah dan shadaqah nafilah.berikut pembagian bentuk-bentuk distribusi pendapatan sektor rumah tangga yakni:
Pertama, shadaqah wajibah berarti bentuk-bentuk pengeluaran rumah tangga yang berkaitan dengan instrumen distribusi pendapatan berbasis kewajiban seperti nafkah, zakat, dan warisan.
Kedua, shadaqah nafilah (sunnah) yang berarti bentuk-bentuk pengeluaran rumah tangga yang berkaitan dengan instrumen distribusi pendapatan berbasis amalan sunat seperti infaq, Aqiqah, dan wakaf.
Ketiga, hudud (hukuman) adalah instrumen yang bersifat aksidental dan merupakan konsekuensi dari berbagai tindakan. Atau dengan kata lain, instrumen ini tidak bisa berdiri sendiri, tanpa adanya tindakan ilegal yang dilakukan sebelumnya seperti Kafarat, Dam/Diyat, dan Nazar.
b.      Pendapatan Sektor Negara
Prinsip-prinsip ekonomi yang dibangun di atas nilai moral Islam mencanangkan kepentingan distribusi pendapatan secara adil. Negara wajib bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan materi bagi lingkungan sosial maupun individu dengan memaksimalkan pemanfaatan atas sumber daya yang tersedia. Karena itu, negara wajib mengeluarkan kebijakan yang mengupayakan stabilitas ekonomi, pembangunan sosial ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang merata dan lain sebagainya. Negara itu juga bertanggung jawab atas manajemen kepemilikan publik yang pemanfaatannya diarahkan untuk seluruh anggota masyarakat.
Ajaran Islam memberikan otoritas kepada pemerintah dalam mengatur pendapatan dan pengeluaran negara. Pemerintah diberikan kewenangan mengatur pendapatan negara melalui penarikan pajak pendapatan BUMN dan sebagainya. Di samping itu, pemerintah juga diberikan kewenangan untuk membelanjakan anggaran untuk kepentingan bangsa dan negara misalnya, pemberian subsidi, pembangunan infrastruktur dan lain sebagainya. Semua keistimewahan tersebut harus diarahkan untuk memenuhi kepentingan bangsa dan negara.
c.       Distribusi Pendapatan Sektor Industri
Distribusi pendapatan sektro industri terdiri dari mudharabah, musyarakah, upah maupun sewa. Mudharabah merupakan bentuk kerja sama antara pihak pemodal ( shahibul maal ) dengan pengusaha (mudharib) dengan sistem bagi hasil. Pemodal, sebagai pihak yang mempunyai kelebihan harta namun, tidak punya kesempatan ataupun waktu untuk mengembangkan hartanya. Ia mendistribusikan sebagian kekayaannya kepada pengusaha dalam bentuk investasi jangka pendek ataupun jangka panjang secara mudharabah (bagi hasil). Musyarakah merupakan kerja sama beberapa pemodal dalam mengelola suatu usaha dengan sistem bagi hasil. Distribusi kekayaan seperti ini merupakan bentuk distribusi dalam bentuk investasi, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Dengan berhimpunnya beberapa pemodal dalam mendirikan suatu perusahaan seperti PT ataupun CV tentu akan memberikan peluang kepada masyarakat menjadi tenaga kerja pada perusahaan tersebut dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mendapat pendapatan dalam bentuk upah/gaji. Di samping itu, rumah tangga yang mempunyai lahan ataupun bangunan yang digunakan perusahaan juga akan mendapatkan pendapatan dalam bentuk sewa.

2.3.   Hak Milik

A.      Pengertian Hak Milik
Kata hak berasal dari bahasa Arab al-haqq, yang secara etimologi mempunyai beberapa pengertian yang berbeda, di antaranya berarti: milik, ketetapan dan kepastian, menetapkan dan menjelaskan, bagian (kewajiban), dan kebenaran. Contoh al-haqq diartikan dengan ketetapan dan kepastian terdapat dalam surat Yasin ayat 7 :
لَقَدۡ حَقَّ ٱلۡقَوۡلُ عَلَىٰٓ أَكۡثَرِهِمۡ فَهُمۡ لَا يُؤۡمِنُونَ ٧
“Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, kerena mereka tidak beriman.” (Yasin : 7)
Contoh al-haqq diartikan dengan bagian (kewajiban) yang terbatas tercantum pada surat al-Baqarah ayat 241 :
وَلِلۡمُطَلَّقَٰتِ مَتَٰعُۢ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ ٢٤١
“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut´ah menurut yang ma´ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah : 241
            Dalam terminologi fikih terdapat beberapa pengertian al-haqq yang dikemukakan oleh para ulama fiqh, di antaranya menurut Wahbah al-Zuhaily yaitu suatu hukum yang telah ditetapkan secara syara. Sedangkan menurut Mustofa Ahmad al-Zarqa’ mendefinisikan dengan kekhususan yang ditetapkan syara’ atas suatu kekuasaan. Dan menurut Ibn Nujaim yaitu, suatu kekhususan yang terlindung.
Kata milik berasal dari bahasa Arab al-milk, yang secara etimologi berarti penguasaan terhadap sesuatu. Al-milk merupakan bentuk masdar yang berarti  kepemilikan atau  penguasaan terhadap sesuatu harta. Al-milk juga berarti sesuatu yang dimiliki (harta). Milk juga merupakan hubungan seseorang dengan suatu harta yang diakui oleh syara’, yang menjadikannya mempunyai kekuasaan khusus terhadap harta itu, sehingga ia dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut, kecuali adanya kalangan syara’.
Para ahli fiqh mendefinisikan hak milik (al-milk) sebagai  ”kekhususan seseorang terhadap  harta yang diakui syari’ah, sehingga menjadikannya mempunyai kekuasaan khusus terhadap suatu harta tersebut, baik memanfaatkan dan atau mentasharrufkannya”. Seseorang yang memiliki mobil dapat memanfaatkan mobil tersebut dan dapat pula menjual, menyewakan atau meminjamkannya. Menjual, menyewakan atau meinjamkan disebut sebagai aktivitas tasharruf.
Ø  Wahbah al-Zuhaily memberikan definisi al-milk (hak milik) sebagai berikut :
Hak milik ialah suatu kekhususan terhadap sesuatu harta yang menghalangi orang lain dari harta tersebut. Pemiliknya bebas melakukan tasharruf kecuali ada halangan syar’iy.
Ø  Muhammad Abu Zahro mendefinisikannya sebagai berikut :
Hak milik ialah suatu kekhususan terhadap sesuatu harta yang menghalangi orang lain dari harta tersebut dan memungkinkan pemiliknya bebas melakukan tasharruf kecuali ada halangan syar’iy.
Secara terminologi, al-milk adalah pengkhususan seseorang terhadap pemilik sesuatu benda menurut syara’ untuk bertindak secara bebas dan bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang yang bersifat syara’.
Dari berbagai definisi tersebut dapat dipahami bahwa  dengan adanya kepemilikan (al-milk) tersebut, pemilik harta bebas untuk melakukan tasharruf atau bertindak hukum terhadap hartanya, seperti jual beli, hibah, waqaf, menyewakan dan meminjamkannya kepada orang lain, selama tidak ada halangan dari syari’ah. Halangan syariah antara lain seperti gila, sakit ingatan, hilang akal, atau masih terlalu kecil sehingga belum bisa melakukan kontrak atau paham memanfaatkan barang. Termasuk halangan syariah ialah orang yang pailit, sehingga dalam hal-hal tertentu mereka tidak dapat melakukan tasharruf (tindakan hukum) terhadap miliknya sendiri.
Apabila seseorang telah memiliki suatu benda yang sah menurut syara’, orang tersebut bebas bertindak terhadap benda tersebut, baik akan dijual maupun akan digadaikan, baik dia sendiri maupun dengan perantara orang lain. Berdasarkan definisi tersebut dapat dibedakan antara hak dan milik, untuk lebih jelas dicontohkan sebagai berikut; seorang pengapu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampunannya, pengampu punya hak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampunannya. Dengan kata lain dapat dikatakan “tidak semua yang memiliki berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki”.
Penggambaran sistem etikonomik dalam pemanfaatan hak milik kekayaan yang dapat di apresiasikan dari konsep diatas, telah dijelaskan oleh Mannan ( 1993 ) sebagai berikut :
Pertama, kepemilikan yang sah secara hukum, artinya segala bentuk hak kepemilikan didapatkan dengan cara yang sesuai dengan hukum ( halal ).
Kedua, pemanfaatan hak milik diarahkan kepada pemanfaatan ekonomi yang berkesinambungan, karna itu seorang muslim harus terus mengupayakan produktivitas kekayaannya. Aset yang idle ( didiamkan ) atau berlebih lebihan dalam membelanjakan aset secara konsumtif, keduanya dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang mubadzir. Nabi bersabda “ Investasikanlah harta agar tidak habis dimakan zakat ”.
Ketiga, pemanfaatan hak milik diarahkan kepada pemanfaatan non ekonomi fisabilillah ( berfaedah dijalan Allah ). Hal ini berarti cara pemanfaatan yang merupakan input produktifitas garus berada di jalur aturan syariah. Tolak ukur yang dapat dipakai adalah kemampuan dalam mencapai kemakmuran dan kesejahteraan stakeholder ( seluruh pihak yang terkait ). Islam memberikan predikat terbaik  ( khairunnas ) kepada siapa saja yang mampu memberikan kemanfaatan bagi orang lain.
Keempat, pemanfaatan hak milik secara ekonomi dan non ekonomi yang tidak merugikan pihak lain. Pihak lain disini berarti semua makhluk hidup semesta alam yang hidup berdampingan dengan manusia.
Kelima, penggunaan dan pemanfaatan secara ekonomi dan non ekonomi yang berimbang, dengan begitu dalam setiap penggunaan barang ataupun apa saja yang jadi milik tidak diarahkan untuk pemborosan dan tidak pula terlalu kikir. Hal ini menjadi sangat penting ketika dikaitkan dengan cara manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam yang disediakan oleh Allah SWT. Perilaku produksi dan konsumsi harus bisa diseimbangkan secara baik demi kepentingan hajat banyak orang.

B.       Pembagian Hak Milik
Hak milik terbagi kedalam dua bagian yaitu: hak milik yang sempurna dan hak milik yang tidak sempurna.
1)      Hak Milik yang Sempurna (Al-Milk At-Tam)
            Hak milik yang sempurna adalah hak milik terhadap zat sesuatu (bendanya) dan manfaatnya bersama-sama, sehingga dengan demikian semua hak-hak yang diakui oleh syara’ tetap ada ditangan pemilik. Hak milik yang sempurna merupakan hak penuh yang memberikan kesempatan dan kewenangan kepada si pemilik untuk melakukan berbagai jenis tasarruf (tindakan hukum) yang dibenarkan oleh syar’i. Ada beberapa keistimewaan dari hak milik yang sempurna ini sebagai berikut:
a.         Milik yang sempurna memberikan hak kepada si pemilik untuk melakukan tasarruf terhadap barang dan manfaatnya dengan berbagai macam cara yang telah dibenarkan oleh syara’ seperti jual beli, hibah, ijarah (sewa menyewa),i’arah, wasiat, wakaf, dan tasarruf- tasarruf lainnya yang dibenarkan oleh syara’ dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidahnya.
b.        Milik yang sempurna juga memberikan hak manfaat penuh kepada si pemilik tanpa dibatasi dengan aspek pemanfaatannya, masanya, kondisi dan tempatnya, karena yang menguasainya hanya satu orang, yaitu si pemilik. Satu-satunya pembatasan ialah bahwa pemanfaatan atas barang tersebut tidak diharamkan oleh syara’.
c.         Milik yang sempurna tidak di batasi dengan masa dan waktu tertentu. Ia hak mutlak tanpa dibatasi dengan waktu, tempat, dan syarat. Setiap syarat yang bertentangan dengan tujuan akad tidak berlaku. Hak milik tersebut tidak berakhir kecuali dengan perpindahan hak kepada orang lain dengan cara-cara tasarruf yang memindahkan hak milik sah, atau dengan warisan atau benda di mana hak milik tersebut ada yang telah hancur atau rusak.

2)      Hak Milik yang Tidak Sempurna (Al-Milk An-Naqish)
            Hak milik Naqish (tidak sempurna) adalah memiliki manfaatnya saja karena barangnya milik orang lain, atau memiliki barangnya tanpa manfaat. Adapun macam-macam hak milik naqish yaitu:
a.         Milk al-‘ain atau milk al-raqabah
       Milk al-‘ain atau milk al-raqabah yaitu hak milik atas bendanya saja, sedangkan manfaatnya dimiliki oleh orang lain. Contohnya seseorang mewasiatkan kepada orang lain untuk menempati sebuah rumah atau menggarap sebidang tanah selama hidupnya atau selama tiga tahun. Apabila orang yang berwasiat meninggal dan orang yang diwasiati menerimanya, maka wujud rumahnya atau tanahnya menjadi hak milik ahli waris orang yang berwasiat sebagai warisan, sedangkan orang yang diberi wasiat memiliki manfaat sepanjang hidupnya atau selama tiga tahun. Apabila masa tersebut sudah lewat, maka manfaat rumah atau tanah tersebut menjadi hak milik waris orang yang berwasiat, dan dengan demikian hak milik atas rumah atau tanah tersebut menjadi hak milik yang sempurna.
        Dalam keadaan di mana manfaat suatu benda dimiliki oleh orang lain, pemilik benda tidak bisa mengambil manfaat atas benda yang dimilikinya, dan ia tidak boleh melakukan tasarruf atas benda dan manfaatnya. Ia wajib menyerahkan benda tersebut kepada pemilik manfaat, agar ia bisa memanfaatkannya. Apabila pemilik benda menolak menyerahkan bendanya, maka ia bisa dipaksa.
b.      Milk al-manfaat asy-syakhshi atau hak intifa’
        Ada lima hal yang menyebabkan timbulnya milk al-manfaat, yaitu: i’arah(pinjaman); ijarah (sewa menyewa); wakaf; wasiat dan ibrahah. Adapun beberapa ciri khas dari Milk al-manfaat asy-syakhshi antara lain:
1.      Hak milk manfaat dapat  dibatasi dengan waktu, tempat dan sifat pada saat menentukannya
2.      Menurut Hanafiyah, hak milik manfaat asy-syakhshui tidak bisa diwaris.
3.      Pemilik hak manfaat menerima benda yang diambil manfaatnya itu walaupun secara paksa dari pemiliknya.
4.      Pemilik manfaat harus menyediakan biaya yang dibutuhkan oleh benda yang diambil manfaatnya.
5.      Pemilik manfaat harus mengembalikan barang kepada pemiliknya setelah ia selesai menggunakannya, apabila pemilik barang tersebut memintanya, kecuali apabila pemilik manfaat mintanya kecuali apabila pemilik manfaat merasa dirugikan muisalnya tanamannya belum dapat dipetik (dipanen).
Berakhirnya hak manfaat, ada beberapa yang menyebabkan berakhirnya hak manfaat asy-syakhshi, yaitu dikarenakan:
1.      Selesainya masa pengambilan manfaat yang dibatasi waktunya.
2.      Rusaknya benda yang diambil manfaatnya atau terdapat cacat yang tidak memungkinkan dimanfaatkannnya benda tersebut, seperti robohnya rumah yang ditempati. Meninggalnya pemilik manfaat menurut Hanafiyah, karena manfaat menurut mereka tidak bisa diwaris.
3.      Wafatnya pemilik barang, apabila manfaat tersebut diperoleh dengan jalan i’arah ataui ijarah.
Hak Irtifaq adalah suatu hak yang ditetapkan atas benda tetap untuk manfaat benda tetap yang lain, yang pemiliknya bukan pemilik benda tetap yang pertama. Macam-macam Hak Irtifaq yaitu:
1.      Hak Syurb (Haq Asy-Surb) adalah hak untuk minum dan menyirami, yakni untuk minum manusia dan binatang dan menyirami tanaman dan pepohonan.
2.      Hak Majra (Haq al-Majra) adalah hak pemilik tanah yang jauh dari tempat aliran air untuk mengalirkan air melalui tanah milik tetangganya ke tanahnya guna menyirami tanaman yang ada di atas tanahnya itu.
3.      Hak Masil (Haq Al-Masil) adalah hak untuk membuang air kelebihan dari tanah atau rumah melalui tanah milik orang lain.
4.      Hak Murur (Haq Al-Murur) adalah hak pemilik benda tetap yang terletak di bagian dalam untuk sampai ke benda tetapnya melalui jalan yang dilewatinya, baik itu jalan umum ataupun tidak dimiliki oleh seseorang, maupun jalan khusus yang dimiliki oleh orang lain.
5.      Hak Jiwar (Hak bertetangga) terbagi menjadi dua yaitu. Pertama, Hak Ta’alli (hak bertetangga ke atas dan ke bawah), yaitu suatu hak bagi pemilik bangunan yang disebelah atas terhadap pemilik bangunan yang ada di sebelah bawah. Kedua, hak jiwar Al-Janibi (hak bertetangga ke samping), yaitu suatu hak yang ditetapkan kepada masing-masing orang yang  bertetangga atau sama lain yang ada di samping rumahnya.

C.      Sifat Hak Milik
Pemilikan pribadi dalam islam tidaklah bersifat mutlak/absolut (bebas tanpa kendali dan batas). Sebab dalam berbagai ketentuan hukum dijumpai beberapa batasan dan kendali yang tidak boleh dikesampingkan oleh seorang muslim dalam pengelolaan dan pemanfaatan harta benda miliknya. Untuk itu, dapat disebutkan prinsip dasarnya sebagai berikut:
1.      Individu Hanya Wakil Masyarakat
Prinsip ini menekankan sesungguhnya individu atau pribadi hanya merupakan wakiil masyarakat yang diserahi amanah. Amanah untuk mengurus dan memegang harta benda. Pemilikan atas harta benda terebut hanya bersifat sebagai “uang belanja”. Dalam hal ini, ia mempunyai sifat hal kepemilikan yang lebih besar dibanding anggota masyarakat lainnya. Sesungguhnya, keseluruhan harta benda tersebut secara umum adalah hak milik masyarakat. Masyarakat diserahi tugas oleh Allah SWT untuk mengurus harta tersebut. Pemilik mutlak dari harta benda tersebut adalah Allah SWT.


Hal itu sesuai dengan pernyataan Surah Al-Hadid : 7
ءَامِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَأَنفِقُواْ مِمَّا جَعَلَكُم مُّسۡتَخۡلَفِينَ فِيهِۖ فَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَأَنفَقُواْ لَهُمۡ أَجۡرٞ كَبِيرٞ ٧
“ Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (Q.S Al-Hadiid (57):7).
Dapat dikemukakan pengertian menguasai disini, bukanlah penguasaan yang bersifat mutlak atau absolut karena pada hakikatnya hak kepemilikan itu berada di tangan Allah. Manusia yang menguasai tersebut hanyalah sekedar menafkahkannya sesuai ketentuan hukum yang telah digariskan oleh Allah SWT.
Akhirnya, dapat dinyatakan kepemilikan pribadi atas sesuatu harta benda di dalam pandangan Islam sebenarnya bersifat “pemilikan hak pembelanjaan dan pemanfaatan“ belaka. Dengan demikian, aapapun bentuk kepemilikan pribadi (yang diperoleh berdasarkan usaha-usaha yang tidak menyimpang dari syariat Islam) akan didapati hak masyarakat. Dalam istilah sehari-hari bahwa hak (kepemilikan) pribadi mempunyai dimensi fungsi sosial.

2.      Harta Benda Tidak Boleh Hanya Berada di Tangan Pribadi (sekelompok) Anggota Masyarakat
Prinsip ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan dan kestabilan dalam masyarakat. Sekiranya harta benda itu hanya berada di tangan pribadi (monopoli kelompok) tertentu, anugerah Allah SWT tersebut hanya berada di tangan segelintir orang. Ketidakbolehan penumpukan harta ini didasarkan kepada ketentuan, “...supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu...” (Q.S Al-Hasyr (59):7). Dalam konteks kekinian, hal tersebut dalam diambil ilustrasi bahwa sikap mental oligopoli, monopoli, kartel, dan yang sejenis dengannya merupakan sikap mental pengingkaran nurani kemanusiaan dan jelas-jelas menyimpang dari ajaran Islam.
D.      Tujuan Kepemilikan
Tujuan kepemilikan menurut At Tariqi (2004),adalah sebagai berikut.
1.    Pelayanan yang mempunyai fungsi sosial
Untuk memberikan kesempatan kepada seluruh manusia terhadap sumber kekayaan  alam yang memepunyai manfaat sosial,baik yang tergolong kebutuhan primer baik kebutuhan lain dan di perluas bagi kaum muslimin secara umum. Diantara hal penting yang berkaitan dengan tujuan itu adalah pelayanan yang mempunyai fungsi sosial yang harus di miliki oleh semua manusia,baik tergolong kebutuhan primer maupun kebutuhan lain.Islam telah memperhatikan sisi ini,dan Rasulullah SAW menguatkan dengan sabdanya : “kaum muslimin bersekutu dalam tiga barang ,yaitu air,rumput dan api”ketetapan ini di wujudkan dalam penjagaan dalam kepentingan sosial,sehingga masyarakat tidak di rugikan dengan adanya kepemilikan pribadi yang menghalangi orang lain untuk memanfaatkannya atau menyebabkan kemskinan.
2.      Jaminan pendapatan negara
Negara menjaga hak warganya dan bertanggung jawab atas semua kewajiban dan menjauhkan dari mara bahaya.Negara harus juga mempersiapkan kekuatan meliter,memberikan jaminan sosial bagi orang-orang lemah,kaum miskin,anak yatim,sekaligus menjaga keamanan,menyediakan pendidikan,pelayanan kesehatan dan semua pasilitas umum yang di sediakan.
3.      Pengembangan dan penyediaan semua jenis pekerjaan produktif bagi masyarakat yang membutuhkan.
Islam menganjurkan tersedianaya lapangan pekerjaan secara luas dan mendorongan pengembangannya. Diantara pekerjaan itu adalah investasi yang sesuai dengan ketentuan allah. Islam jiga telah menganjurkan investasi kebaikan sebagai satu fase besar dalam masyarakat islam dengan dua batasan,batas minimal dan batas maksimal. Harta investasi berupa subsidi untuk misjid,lembaga pendidikan, perpustakan-perpustakan umum, rumah sakit, jaminan bagi orang yang membutuhkan dan yang tidak mampu.
4.    Urgensi kerja sama antarnegara dalam usaha menciptakan kemakmuran bersama.
Karakter manusia terbentuk berdasarkan fitrahnya,yaitu keharusan untuk berhubungan dengan banyak orang. Di perlukan adanya pertukaran kemaslahatan dan kemajuan antaramereka.Mereka saling menyempurnakan. Karena begitu banyak kebutuhan dan tuntutan di dalam kehidupan ini,kebutuhan sendiri tanpa bantuan negara lain.
5.    Investasi harta untuk mencapai kemakmuran bersama.
Masyarakat memerlukan Layanan dan tatanan kehidupan yang mampu membangkitkan aktifitas ekonomi,menambah semangat hidup,memberikan kemampuan untuk menciptakan kebaikan dan kebahagian bagi lingkungan masyarakatnya. Hanya saja aturan-aturan yang sudah ada justru memperlemah tujuan individu dan kelompok dalam melaksanakan tugas keseharian,baik tidak tersedianya fasilitas penunjang finansial dan minimnya kemampuan tehnik atau karena banyaknya beban yang di tanggung.

E.       Sebab-sebab dan Hikmah Kepemilikan
1.        Sebab-sebab Kepemilikan
           Sebab-sebab tamalluk (memiliki) yang ditetapkan syarak, terdiri atas empat sebab sebagai berikut:
a.       Ihrazul Mubahat
     Ihrazul Mubahat merupakan sebab timbul atau sifat memiliki atas benda oleh seseorang. Yang dimaksud dengan mubah dalam ihrazul mubahat adalah harta yang tidak masuk ke dalam milik yang dihormati (milik seorang yang sah) dan tidak ada pula suatu penghalang yang dibenarkan syarak dari memilikinya.
Untuk memiliki benda mubahat diperlukan dua syarat, yaitu:
1)        Benda mubahat belum di ikhrazkan (dikuasai) oleh orang lain. Seperti seseorang mengumpulkan air dalam satu wadah, kemudian air tersebut dibiarkan, maka orang lain tidak berhak mengambil air tersebut, sebab telah di ikhrazkan (dikuasai) orang lain.
2)        Adanya niat (maksud) memiliki. Jika seseorang memperoleh harta mubahat tanpa adanya niat, tidak termasuk ikhraz, umpamanya seorang pemburu meletakkan jaringnya di sawah, kemudian terjeratlah burung-burung, bila pemburu meletakkan jaringnya sekedar untuk mengeringkan jaringnya, ia tidak berhak memiliki burung-burung tersebut.



b.      Khalafiyah
     Yaitu bertempatnya seseorang atau sesuatu yang baru bertempat di tempat yang lama, yang telah hilang sebagai macam haknya. Khalafiyah ada dua macam, yaitu:
1)      Khalafiyah syakhsy’an syakhsy, yaitu si waris menempati tempat si muwaris dalam memiliki harta yang ditinggalkan oleh muwaris, harta yang ditinggalkan oleh muwaris disebut tirkah.
2)      Khalafiyah syai’an syai’in, yaitu apabila seseorang merugikan milik orang lain atau menyerobot barang orang lain, kemudian rusak di tangannya atau hilang, maka wajiblah dibayar harganya dan diganti kerugian-kerugian pemilik harta. Maka khalafiyah syai’an sya’in disebut adlmin atau ta’widl (menjamin kerugian).

c.       Al-‘Uqud
     Al-‘Uqud (akad) merupakan sebab terjadi kepemilikan. Akad ini lazim disebut dengan transaksi pemindahan hak. Maksud akad dalam sistem kepemilikan, ada dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu:
                                  i.              Uqud jabariah
          Akad-akad yang harus dilakukan berdasarkan pada keputusan hakim, seperti menjual harta orang yang berutang secara paksa.
                                ii.              Istimlak untuk muslahat umumMisalnya, tanah-tanah disamping masjid apabila diperlukan untuk masjid harus dimiliki oleh masjid dan pemilik harus menjualnya.

d.      At-Tawallud mim Mamluk
     At-Tawallud mim mamluk adalah segala yang terjadi dari benda yang telah dimiliki menjadi hak bagi pemilik benda tersebut. Misalnya, seseorang memiliki pohon yang menghasilkan buah, buah ini otomatis menjadi milik bagi pemilik pohon; seseorang memiliki ternak kambing lalu mengambil susunya, susu yang diperoleh dari kambing tersebut menjadi milik pemilik kambing.



K.      Hikmah Kepemilikan
Dengan mengetahui cara-cara pemilikan harta menurut syariat Islam banyak hikmah yang dapat digali untuk kemaslahatan hidup manusia, antara lain:
1)        Manusia tidak boleh sembarangan memiliki harta, tanpa mengetahui aturan-aturan yang berlaku yang telah disyariatkan Islam.
2)        Manusia akan mempunyai prinsip bahwa mencari harta itu harus dengan cara-cara yang baik, benar, dan halal.
3)        Memiliki harta bukan hak mutlak bagi manusia, tetapi merupakan suatu amanah (titipan) dari Allah swt. yang harus digunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan hidup manusia dan disalurkan dijalan Allah untuk memperoleh ridha-Nya.
4)        Menjaga diri untuk tidak terjerumus kepada hal-hal yang diharamkan oleh syara’ dalam memiliki harta.
5)        Manusia akan hidup tenang dan tentram apabila dalam mencari dan memiliki harta itu dilakukan dengan cara-cara yang baik, benar, dan halal, kemudian digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan panduan (aturan-aturan) Allah swt.












BAB III

PENUTUP


3.1.  Kesimpulan
Hak milik, Pendapatan dan kerja ini merupakan suatu hal yang saling berkaitan dan ketergantungan di mana seseorang akan mendapatkan pendapatan ketika mereka sudah bekerja, melakukan suatu usaha dengan sungguh-sungguh dan kerja keras. Sehingga setelah kerja dan mendapatkan penghargaan berupa pendapatan atau upah maka mereka dapat membeli sesuatu yang berguna untuk kehidupan mereka. Sehingga semua barang tersebut dapat menjadi hak milik orang yang sudah membelinya dengan hasil keringat, kerja keras mereka sendiri. Kebutuhan memang menjadi alasan untuk mencapai pendapatan minimum. Sedangkan kecukupan dalam standar hidup yang baik adalah hal yang paling mendasari dalam sistem distribusi redistribusi kekayaan, setelah itu baru dikaitkan dengan kerja dan kepemilikan pribadi.
Sehingga apabila seseorang yang tidak memiliki kerja, otomatis mereka tidak memiliki pendapatan dan mereka tidak bisa membeli sesuatu. Sehingga jika mereka tidak memiliki pendapatan, bisa saja mereka melakukan kejahatan karena sudah terpaksa. Akhirnya segala cara dilakukan untuk medapatkan uang. Dari sini juga bisa disimpulkan bahwa kejahatan meningkat karena pengangguran, seseorang tersebut tidak bekerja, tidak memiliki pendapatan, dan tidak memiliki hak atas sesuatu contohnya barang.

3.2.  Saran
Dengan penjelasan di atas diharapkan kepada para pembaca untuk dapat memahami dan mampu untuk mengaplikasikannya. Juga dapat memberikan saran kepada penulis terkait makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA


Sholahuddin, Muhammad,2007. Asas-Asas Ekonomi Islam.Jakarta:PT Raja Gravindo Persada.
A.Karim, Adiwarman.2015.Ekonomi Mikro Islami.Jakarta: Rajawali Pers.
K.Lubis, Suhrawardi, 2004. Hukum Ekonomi Islam.Jakarta: Sinar Grafika.
Hakim, Lukman, 2012. Prnsip-Prinsip Ekonomi Islam.Jakarta:Erlangga.
Wardi Muslich,2015.Fiqh Muamalah.Jakarta:Amzah.
An-Nabhani, Taqiyyudin.2015.Sistem Ekonomi Islam.Jakarta:HTI Press
Tasmara, Toto.2002.Membudayakan Etos Kerja Islami.Jakarta:Gema Insani.
Karim, Adiwarman.2007.Ekonomi Mikro Islami.Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada.
Hendi, Suhendi. 2002. Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo.
Idri. 2015. Hadis Ekonomi, Ekonomi dalam Perspektif Hadis Nabi. Jakarta: Prenadamedia Group.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANAN DAN FUNGSI PEMERINTAH DALAM PEREKONOMIAN

Pengaruh Pengetahuan, Religiusitas, dan Promosi Perusahaan terhadap Minat Menabung di Perbankan Syariah (Studi Kasus Mahasiswa Muslim Kota Pontianak)

Makalah Pasar dan Harga dalam Ekonomi Islam