KEBIJAKAN FISKAL



BAB I
PENDAHULUAN

A.       LATAR BELAKANG

Menurut Wolfson sebagaimana dikutip Suparmoko, kebijakan fiskal (fiscal policy) merupakan tindakan-tindakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan umum melalui kebijakan penerimaan dan pengeluaran pemerintah, mobilisasi sumberdaya, dan penentuan harga barang dan jasa dari perusahaan. Sedangkan Samuelson dan Nordhaus menyatakan bahwa “kebijakan fiskal adalah proses pembentukan perpajakan dan pengeluaran masyarakat dalam upaya menekan fluktuasi siklus bisnis, dan ikut berperan dalam menjaga pertumbuhan ekonomi, penggunaan tenaga kerja yang tinggi, bebas dari laju inflasi yang tinggi dan berubah-ubah.”
Dari dua definisi di atas dapat ditarik benang merah, bahwa kebijakan fiskal merupakan kebijakan pemerintah terhadap penerimaan dan pengeluaran negara untuk mencapai tujuan-tujuannya. Penarikan kesimpulan ini bertujuan agar definisi kebijakan fiskal mengandung makna umum, artinya ia merupakan suatu gambaran yang bisa terjadi dalam berbagai sistem ekonomi.
Selanjutnya, karena instrumen yang digunakan dalam kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran negara, maka kebijakan fiskal dalam konteks Sistem Ekonomi Kapitalis sangat erat kaitannya dengan target keuangan negara yang ingin dicapai. Dengan kata lain, target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ingin dicapai oleh pemerintah.

B.       RUMUSAN MASALAH
Di dalam makalah ini akan dibahas yaitu :
1.    Bagaimana ulasan lengkap kebijakan fiskal dalam Islam ?
2.    Apa saja aspek-aspek yang ada di dalam kebijakan fiskal dalam Islam?
3.    Bagaimana penerapan kebijakan fiskal dalam Islam ?

C.       TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.    Untuk memahami isi dari materi kebijakan fiskal dalam islam
2.    Untuk memahami secara lengkap dan menyeluruh dari aspek-aspek kebijakan fiskal
3.    Untuk bisa mengetahui pengertian kebijakan fiskal, peran kebijakan fiskal serta berbagai aspek yang berkaitan dengan kebijakan fiskal.



D.       METODE PENGUMPULAN DATA
Dalam penyusunan makalah ini, perlu sekali pengumpulan data serta sejumlah informasi aktual yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. Sehubungan dengan masalah tersebut dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data, diantaranya :
1.    Membaca buku sumber pendukung penulisan makalah.
2.    Mencari informasi terkait melalui internet.

E.       SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika terbagi menjadi 3 bagian :
·         BAB I Pendahuluan
·         BAB II Pembahasan
·         BAB III Penutup


















BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN KEBIJAKAN FISKAL
Kebijakan Fiskal adalah langkah yang digunakan oleh pemerintah terkait dengan kebijakan sistem pajak dan pembelanjaan negara serta moneter dan perdagangan sehingga kebijakan fiskal ini mempengaruhi Anggaran Pendapatan dan Belanja suatu Negara (APBN). Sementara tujuan utama dalam kebijakan fiskal adalah tercapainya kesejahteraan dengan mengalokasikan sumber daya secara efisien, menjaga stabilitas ekonomi, pertumbuhan dan distribusi, tujuan ini menjunjung nilai benefit utama individual tanpa melihat aspek lain.
Kebijakan fiskal dan keuangan mendapat perhatian serius dalam tata perekonomian Islam sejak awal. Dalam negara islam, kebijaksanaan fiskal merupakan salah satu perangkat untuk mencapai tujuan syariah yang dijelaskan Imam Al-Ghazali termasuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan dan kepemilikan.
B.     KEBIJAKAN FISKAL ISLAM

Dalam ekonomi konvensional kebijakan fiskal dapat diartikan sebagai langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem pajak atau dalam pembelanjaan(Dalam konsep makro disebut government expendeture). Tujuan kebijakan fiskal dalam perekonomian sekuler adalah tercapainya kesejahteraan yang didefinisikan sebagai adanya benefit maksimal bagi individu dalam kehidupan tanpa memandang kebutuhan spritual manusia. Fiskal terutama ditujukan untuk mencapai alokasi sumber daya secara efisien, stabilisasi ekonomi, pertumbuhan, dan distribusi pendapatan serta kepemilikan.
Pandangan ini berbeda dengan gagasan Ekonomi Islam dimana dalam fiskal ekonomi islam, kebijaksanaan fiskal merupakan salah satu perangkat untuk mencapai tujuan syariah yang di jelaskan oleh Imam Al-Ghazali, termasuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan, dan kepemilikan. Jadi, tujuan utama dalam kebijkan fiskal bukan hanya untuk mencapai keberlangsungan (pembagian) ekonomi untuk masyarakat yang paling besar jumlahnya, tapi juga membantu meningkatkan spiritual dan menyebarkan pesan dan ajaran Islam seluas mungkin.
Sumber kebijakan pendapatan fiskal saat ini berasal dari penerimaan negara berupa pajak, penerimaan non pajak dan hutang luar negeri, namun ketidakharmonisan antara besarnya pendapatan dan pengeluar pemerintah atau lebih besar pasak dari pada tiang saat ini berimplikasi terhadap tidak adanya kesinambungan fiskal dimana terjadi ketidakseimbangan antara rasio penerimaan dan aset (atau utang) pemerintah untuk membiayai total pengeluaran pemerintah. Kondisi ini bisa mengakibatkan budget deficit atau kondisi dimana penerimaan lebih kecil daripada pengeluaran serta mampu mengakibatkan gejolak ekonomi dalam masyarakat.
Pemerintah biasanya mengatasi budget deficit dengan memaksa penerimaan negara melalui menaikkan pajak atau melakukan pinjaman dana baik kepada masyarakat melalui obligasi atau keluar negeri atau jalan terakhir dengan mencetak uang namun ini dapat beresiko terhadap potensi terjadinya inflasi sehingga kebijakan fiskal yang secara konvensional cacat serta penuh dengan resiko gagal untuk mensejahterahkan masyarakat. Kebijakan Fiskal Islam.
Dalam gagasana ekonomi Islam masalah ketidaksinambungan fiskal dan budget deficit tidak terjadi karena sumber pendapatan dalam ekonomi Islam tidak bertumpuh pada pajak semata dan utang namun memiliki banyak sumber penerimaan dan pendapatan negara yaitu Zakat, infak, sedekah, wakaf (ZISWA) serta sumber lain seperti Kharaj (pajak bumi), Ghonimah (harta rampasan perang) pada zaman nabi Muhammad dan sahabat, Jizyah (pajak kepada non-muslim) atau secara umum  pendapatan tersebut dapat diklasifikasikan yang bersifat rutin seperti: zakat, jizyah, kharaj, ushr, infak dan shadaqah. Seperti pajak jika diperlukan, dan ada yang bersifat temporer seperti: ghanimah, fa.i dan harta yang tidak ada pewarisnya, yang diselenggarakan pada lembaga Baitulmal (national treasury).


C.    POSISI KEBIJAKAN FISKAL ISLAM

Bila dikatakan, kebijakan fiskal memegang peranan penting dalam sistem ekonomi islam bila dibandingkan kebijakan moneter. Adanya larangan tentang Riba serta kewajiban tentang pengeluaran zakat menyiratkan tentang pentingnya kedudukan kebijakan fiskal dibandingkan dengan kebijakan moneter. Larangan Bunga yang diberlakukan pada tahun Hijriah keempat telah mengakibatkan sistem Ekonomi Islam yang dilakukan oleh Nabi terutama bersandar pada kebijakan fiskalnya saja.
Pada masa kenabian dan kekhalifaan setelahnya, kaum muslimin cukup berpengalaman dalam menerapkan beberapa instrumen sebagai kebijakan fiskal yang diselenggarakan pada lembaga baitulmal(national treasury). Dari berbagai macam instrumen, pajak diterapkan atas individu(jizyah dan pajak khusus muslim), tanah kharaj, dan ushur(cukai) atas barang impor dari negara yang mengenakan cukai terhadap pedagang kaum muslimin, sehingga tidak memberikan beban ekonomi yang berat bagi masyarakat. Pada saat perekonomian sedang krisis yang membawa dampak terhadap keuangan negara karena sumber-sumber penerimaan terutama pajak merosot seiring dengan merosotnya aktivitas ekonomi maka kewajiban-kewajiban tersebut beralih kepada kaum muslimin. Semisal krisis ekonomi yang menyebabkan warga negara jatuh miskin otomatis mereka tidak dikenai beban pajak baik jisyah maupun pajak atas orang islam, sebaliknya mereka akan disantuni negara dengan biaya yang diambil dari orang-orang muslim yang kaya.
Aspek politik dari kebijakan fiskal yang dilakukan oleh khalifah adalah dalam rangka mengurusi dan melayani umat, kemudian dilihat dari bagaimana islam memecahkan problematika ekonomi, maka berdasarkan kajian fakta permasalahan ekonomi secara mendalam terungkap bahwa hakikat permasalahan ekonomi terletak pada bagaimana distribusi harta dan jasa di tengah-tengah masyarakat sehingga titik berat pemecahan permasalahan ekonomi adalah bagaimana menciptakan suatu mekanisme distribusi ekonomi yang adil. Allah SWT mengingatkan kita tentang betapa sangat urgennya masalah distribusi harta ini dalam firman-Nya, yang artinya sebagai berikut:                                                                         
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (QS. Al- Hasyr: 7).
Sejarah Islam mencatat bagaimana perkembangan peran kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi Islam mulai dari zaman awal Islam sampai kepada puncak kejayaan Islam pada zaman pertengahan. Setelah zaman pertengahan, seiring dengan kemunduran- kemunduran dalam pemerintahan Islam yang ada pada waktu itu, maka kebijakan fiskal Islam tersebut sedikit demi sedikit mulai ditinggal dan digantikan dengan kebijakan fiskal lainnya dari sistem ekonomi yang sekarang kita kenal dengan nama sistem ekonomi konvensional.

D.    KOMPONEN KEBIJAKAN FISKAL ISLAM

Dalam Islam kita kenal adanya konsep Zakat, infak, sedekah, waqaf dan lain-lain (ZISWA). Zakat merupakan kewajiban untuk mengeluarkan sebagaian pendapatan atau harta seorang yang telah memenuhi syarat syariah Islam guna diberikan kepada berbagai unsur masyarakat yang telah ditetapkan dalam syariah Islam. Sementara Infaq, Sedekah, Waqaf merupakan pengeluaran ‘sukarela’ yang juga sangat dianjurkan dalam Islam. Dengan demikian ZISWA merupakan unsur-unsur yang terkandung dalam kebijakan fiskal. Unsur-unsur tersebut ada yang bersifat wajib seperti zakat dan ada pula yang bersifat sukarela seperti sedekah, infak dan waqaf. Pembagian dalam kegiatan ‘wajib’ dan ‘sukarela’ ini khas di dalam sistem ekonomi Islam, yang membedakannya dari sistem ekonomi pasar. Dalam sektor Ekonomi pasar tidak ada sistem sukarela.
Sebagai salah satu kebijakan fiskal Islam, ZISWA merupakan salah satu sendi utama dari sistem ekonomi Islam yang kalau mampu dilaksanakan dengan baik akan memberikan dampak ekonomi yang luar biasa. Diharapkan sistem ekonomi Islam ini mampu menjadi alternatif bagi sistem pasar yang ternyata menunjukkan berbagai masalah di dalam pelaksanaannya. Jelas ini memerlukan kerja keras dari berbgai unsur keahlian untuk mewujudkannya apa yang dinamakan Sistem Ekonomi Islam.
Dalam konsep ekonomi Islam, kebijaksanaan fiskal bertujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spritual pada tingkat yang sama (Abdul Manan, M,. 1993).
Kebijakan Fiskal Islam terbukti di jaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin, karena Nabi dan Sahabat memegang prinsip bahwa pengeluaran hanya boleh dilakukan apabila ada penerimaan. Pada jamannya Nabi budget deficit hanya pernah sekali terjadi dikeranakan banyak orang masuk Islam (muallaf) sehingga pengeluaran Zakat lebih besar daripada yang diterima, namun setelah itu, tidak pernah terjadi lagi budget deficit, bahkan mengalami budget surplus di jaman Utsman Ibn Affan R.A dengan kondisi surplus, monetary expansion dapat dicegah karena tidak dibutuhkan untuk mencetak uang lain.
Menurut Mustafa Edwin Nasution et al. (2006) menyatakan bahwa dalam hal pengelolaan keuangan publik, dunia Islam saat ini kehilangan minimal dua hal yaitu menghilangnya spirit religiositas dan kehilangan meknisme teknik yang bermanfaat. Pertama, menghilangnya spirit keagamaan dalam pemenuhan dan penggunaan keuangan Negara disebabkan oleh pandangan sekularisme yang melanda dunia Islam, hal ini menyebabkan dunia islam kehilangan daya dorong internal yang sangat vital. Kedua, tidak digunakannya berbagai  mekanisme yang berbau Islam, justru dunia Islam kehilangan metode menyejahterakan rakyatnya.
Sebagai gambaran, Zakat saat ini pelaksanaan masih setengah hati oleh pemerintah, menyebabkan ummat Islam kehilangan kemampuan dan kekuatan menjalankan program welfare. Berbagai program kemiskinan dan bencana sosial seperti dibidang kesehatan, pangan, balita jauh dari standar yang memuaskan. Zakat merupakan pilar utama dalam sistem keuangan Islam sekaligus sebagai instrument utama dalam kebijakan fiskal Islam. Sementara sumber lain tetap dibolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan Syariah dan melalui kajian figh yang berdasarkan dengan Al Quran dan Al Hadist.
Zakat sendiri bukanlah satu kegiatan yang semata-mata untuk tujuan duniawi, seperti distribusi pendapatan, stabilitas ekonomi dan lainnya, tetapi mempunyai implikasi untuk kehidupan di akhirat hal ini yang membedakan kebijakan fiskal dalam islam dengan kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi pasar/kapitalis. Berdasarkan QS. At-Taubah: 103. Yang artinya sebagai berikut:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan [658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda, zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka. (QS. At-Taubah: 103).
Menghilangnya religioilitas dari panggung ketatanegaraan dengan serta-merta mengadopsi sekularisme dan materialisme yang tidak dipahami mendorong moralitas yang bobrok. Korupsi yang berupa perlawanan terhadap aturan legal (mark up, penyelewengan, peembobolan, komisi, dan sebagainya) sangat mencoreng dan memalukan dunia Islam. Korupsi yang legal menyangkut angka yang lebih besar lagi yaitu tidakk dipahaminya visi dan misi pemerintahan dengan baik. Akibatnya 70 persen dan Negara secara legal/sistematis tidak ditujukan kepada pelayanan dan kesejahteraan Rakyat. Dana-dana ini diizinkan secara legal untuk digunakan secara elitis dan bias kepada kekuasaan (Setiaji 2005).
E.     KEBIJAKAN FISKAL DAN DISTRIBUSI EKONOMI

Secara umum fungsi kebijakan fiskal adalah fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi perekonomian. Dalam hal alokasi, maka digunakan untuk apa sajakah sumber-sumber keuangan negara, sedangkan distribusi menyangkut bagaimana kebijakan negara mengelola pengeluarannya untuk menciptakan mekanisme distribusi ekonomi yang adil di masyarakat, dan stabilisasi adalah bagaimana negara menciptakan perekonomian yang stabil.
Kebijakan fiskal dalam Sistem Ekonomi Kapitalis “hanyalah merupakan suatu kebutuhan” untuk pemulihan ekonomi (economy recovery) akibat krisis dan untuk menggenjot perekonomian agar dapat mencapai pertumbuhan yang positif sehingga tumpuan utama kebijakan fiskal Negara Kapitalis adalah pertumbuhan ekonomi (economic growth). Dalam Sistem Ekonomi Islam, kebijakan fiskal merupakan suatu kewajiban negara dan menjadi hak rakyat sebagai wujud ri’ayatusy syu’un sehingga kebijakan fiskal bukanlah semata-mata sebagai suatu kebutuhan untuk perbaikan ekonomi maupun untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Juga kebijakan fiskal dalam Sistem Ekonomi Islam tidak bertumpu pada pertumbuhan ekonomi seperti dalam Sistem Ekonomi Kapitalis tetapi mengacu pada penciptaan mekanisme distribusi ekonomi yang adil, karena hakikat permasalahan ekonomi yang melanda umat manusia adalah berasal dari bagaimana distribusi harta di tengah-tengah masyarakat terjadi.
1.      Pos pemasukan dan pengeluaran negara Islam (daulah Islamiyah)
Abdul Qadim Zallum dalam bukunya al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, membagi sumber-sumber pendapatan negara dalam 3 kelompok yaitu :
1. Bagian Fai dan Kharaj; meliputi harta yang tergolong fai bagi seluruh kaum Musliminin dan pajak (dlaribah) terhadap kaum Musliminin sebagai kewajiban mereka ketika negara mengalami krisis keuangan sehingga tidak mampu membiayai belanja negara terutama yang berifat wajib. Kelompok ini terdiri atas:
a. Seksi ghanimah, mencakup ghanimah, anfal, fai, dan khumus.
b. Seksi kharaj.
c. Seksi status tanah, mencakup tanah-tanah yang ditaklukkan secara paksa (uswah), tanah “˜usyriyah, as shawafi, dan tanah-tanah yang dimiliki oleh negara, tanah-tanah milik umum dan tanah-tanah yang dipagar dan dikuasai negara.
d. Seksi jizyah.
      e. Seksi fai, yang meliputi data-data pemasukan dari (harta) as shawafi, “˜usyur, 1/5 harta rikaz dan barang tambang, tanah yang dijual atau disewakan, harta as shawafi dan harta waris yang tidak ada pewarisnya.
      f. Seksi pajak (dlaribah)
2. Bagian Pemilikan Umum; harta dari kepemilikan umum ini adalah milik seluruh kaum Musliminin, sedangkan negara berfungsi mewakili ummat dalam mengelola harta jenis kepemilikan umum ini, untuk kemudian digunakan bagi kemaslahatan kaum Musliminin dan seluruh warga negara (termasuk non muslim). Kelompok ini dibagi berdasarkan jenis harta kepemilikan umum, yaitu:
a. Seksi minyak dan gas.
b. Seksi listrik.
c. Seksi pertambangan.
d. Seksi laut, sungai, perairan dan mata air.
e. Seksi hutan dan padang (rumput) gembalaan.
f. Seksi tempat khusus (yang dipagar dan dikuasai oleh negara).

3. Bagian Shadaqah; bagian ini menyimpan harta-harta zakat yang wajib beserta catatannya. Kelompok ini berdasarkan jenis harta zakat, yaitu:
a. Seksi zakat (harta) uang dan perdagangan.
b. Seksi zakat pertanian dan buah-buahan.
c. Seksi zakat (ternak) unta, sapi, dan kambing.

Kemudian untuk pengeluaran (belanja) negara, Abdul Qadim Zallum mengelompokkannya menjadi 8 bagian yang meliputi pembiayaan bagian-bagian Baitul Mal itu sendiri, seksi-seksinya, dan biro-biro.
1. Seksi dar al Khilafah, yang terdiri dari:
a. Kantor Khilafah.
b. Kantor Penasihat (Mustasyaarin)
c. Kantor Mu’awin Tafwidl.
d. Kantor Mu’awin Tanfidz.
   2. Seksi Mashalih ad Daulah, yang terdiri dari:
a. Biro Amir Jihad.
b. Biro para Wali (gubernur)
c. Biro para Qadli.
d. Biro Mashalih ad Daulah, seksi-seksi dan biro-biro lain, serta fasilitas umum.
3. Seksi Santunan; seksi ini bertugas memberikan santunan kepada yang berhak menerimanya, seperti orang-orang fakir, miskin, yang dalam keadaan membutuhkan, yang berhutang, yang sedang dalam perjalanan, para petani, para pemilik industri, dan lain-lain yang menurut Khalifah mendatangkan kemaslahatan bagi kaum Muslimin serta layak diberi subsidi.
4. Seksi Jihad, meliputi:
a. Biro pasukan, yang mengurus pengadaan, pembentukan, penyiapan dan pelatihan pasukan.
b. Biro persenjataan (amunisi).
c. Biro industri militer.
5. Seksi Penyimpanan Harta Zakat; bagian ini menyalurkan zakat kepada hanya 8 golongan yang berhak menerima zakat, selama masih ada harta zakat yang di dalam Baitul Mal, dan jika tidak terdapat lagi harta zakat di dalam Baitul Mal maka seksi ini tidak dibiayai.
6. Seksi Penyimpanan Harta Pemilikan Umum.
7. Seksi Urusan Darurat/ Bencana Alam (ath Thawaari).
8. Seksi Anggaran Belanja Negara (al Muwazanah al Ammah), Pengendali Umum (al Muhasabah al Ammah), dan Badan Pengawas (al Muraqabah).

F.      KEBIJAKAN FISKAL DARI SISI PENERIMAAN NEGARA

Dalam perekonomian Ka pitalis, sumber utama penerimaan negara berupa pajak dan hutang. Di luar kedua sumber utama penerimaan negara tersebut, negara juga memperoleh pendapatannya dari restribusi (pungutan/ semacam pajak yang berlaku di tingkat daerah), keuntungan BUMN, denda-denda dan perampasan yang dijalankan pemerintah, pencetakan uang kertas, hasil undian negara (seperti SDSB), dan hadiah (hibah).
Hal tersebut berbeda dengan kebijakan fiskal dari sisi penerimaan Baitul Mal. Pertama dilihat dari pos Bagian Fai dan Kharaj. Dalam bagian ini, sebagian seksi-seksi penerimaan Baitul Mal berhubungan langsung dengan dakwah dan jihad. Daulah Khilafah yang menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia dan jika berhasil melakukan penaklukan (futuhat) baik di negeri-negeri Islam yang sebelumnya berada dalam kekuasaan bangsa-bangsa kafir. maupun di negeri-negeri bangsa kafir itu sendiri, maka akan banyak pemasukan Baitul Mal dari anfal atau ghanimah (spoils), fai (booties), dan khumus. Jadi semakin Islam disebarkan ke seluruh penjuru dunia melalui dakwah dan jihad semakin banyak harta pemasukan bagi Baitul Mal dari harta rampasan perang (the spoils of war).
Pemasukan lainnya adalah kharaj (the land tax). Kharaj merupakan hak kaum Muslimin atas tanah yang diperoleh (dan menjadi bagian dari ghanimah) dari orang-orang kafir, baik melalui peperangan maupun melalui perjanjian damai. Terhadap tanah kharaj dan tanah kharajiyah (negeri taklukan yang penduduknya telah masuk Islam) seperti Irak, Syam, Mesir, Libya, Aljazair, Maroko, Albania, Bosnia, Negeri-negeri di Asia Tengah maka disana berlaku kharaj (the land tax) sampai kiamat. Setiap penduduk (Muslim dan non Muslim) yang memanfaatkan tanah kharaj diwajibkan membayar kharaj kepada negara. Nilai kharaj yang diambil oleh negara atas tanah tersebut dihitung berdasarkan kandungan tanahnya dengan memperhatikan kondisi lingkungan tanah tersebut. Sedangkan terhadap negeri yang penduduknya masuk Islam seperti Indonesia, atau tanah yang statusnya bukan tanah kharaj, maka kharaj tidak berlaku, karena tanah tersebut merupakan tanah “˜usyuriyah yang wajib dikeluarkan zakatnya.
Seksi pemasukan lainnya adalah jizyah (the head tax). Jizyah merupakan hak Allah yang diberikan kepada kaum Muslimin dari orang-orang kafir sebagai tanda tunduknya mereka kepada Islam. Jizyah masih terkait dengan hasil dakwah dan jihad kaum Muslimin dalam Daulah Khilafah. Pihak yang wajib membayar jizyah adalah para ahli kitab yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani dan yang bukan ahli kitab seperti orang-orang Majusi, Hindu, Budha dan Komunis yang telah menjadi warga negara Islam. Jizyah diambil dari orang-orang kafir laki-laki, telah baligh dan berakal sehat. Jizyah tidak wajib atas wanita, anak-anak dan orang gila. Jizyah akan berhenti dipungut oleh negara jika orang kafir tersebut telah masuk Islam. Juga jizyah tidak wajib jika orang kafir yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan membayarnya karena kefakiran atau kemiskinannya.
Sumber penerimaan lainnya dalam bagian ini adalah “˜Usyur. “˜Usyur dipungut terhadap pedagang penduduk kafir harby atas barang dagangan mereka yang melewati perbatasan negara. Tindakan ini dilakukan sebagai perlakuan setara karena negara mereka telah melakukan pungutan (cukai) atas pedagang Muslim yang melewati perbatasan negara mereka. “˜Usyur juga dipungut terhadap pedagang kafir dzimmi yang melewati perbatasan, disebabkan adanya perjanjian damai antara kaum Muslimin dengan mereka yang salah satu poinnya menyebutkan tentang “˜usyur ini, tetapi jika “˜usyur tidak disebutkan dalam perjanjian damai maka tidak boleh mengambil “˜usyur dari pedagang kafir dzimmi. Jadi “˜Usyur dipungut karena adanya sebab-sebab syara’. Sedangkan jika tidak ada sebab-sebab seperti di atas, maka pungutan terhadap perdagangan lintas negara (cukai) hukumnya haram, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Uqbah bin “˜Amir, Nabi SAW bersabda:
“Tidak akan masuk surga orang yang memungut bea cukai (pajak)”
Selain itu, jika negara mengalami suatu kondisi sehingga Baitul Mal tidak mampu membiayai kewajiban-kewajibannya, maka kewajiban ini beralih kepada kaum Muslimin. Dengan kondisi seperti ini, negara berhak memungut pajak (dlaribah/ taxes) terhadap kaum Muslimin.
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian” (QS. Adz-Dzariyaat: 19)
“Sesungguhnya pada harta benda itu ada hak (untuk diambil) di luar zakat.”
(HR Turmudzi)
Pajak ini hanya dikenakan terhadap kaum Muslimin, dan tidak boleh terhadap warga negara non Muslim. Pengenaan pajak dilakukan dari sisa nafkah (setelah dikurangi kebutuhan hidup), dan harta orang-orang kaya yaitu dari sisa pemenuhan kebutuhan primer dan sekundernya yang ma’ruf. Jumlah pajak yang dipungut secara makro harus ekuivalen dengan jumlah kebutuhan Baitul Mal yang dipergunakan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban Baitul Mal, sehingga pajak tidak boleh dipungut melebihi kebutuhan sebagaimana mestinya. Kemudian jika kebutuhan Baitul Mal telah terpenuhi dan Baitul Mal sudah mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya dari sumber-sumber penerimaan rutin, maka pungutan pajak harus dihentikan. Negara juga mendapatkan penerimaan dari 1/5 harta rikaz, harta warisan yang tidak ada lagi ahli warisnya, harta tidak sah yang dimiliki pejabat negara dan harta orang murtad.
Dilihat dari penerimaan Bagian Fai dan Kharaj ini terdapat perbedaan yang jelas dengan sumber utama penerimaan negara yang menerapkan Sistem Ekonomi Kapitalis. Pajak dalam Kapitalisme ditetapkan melalui undang-undang yang dibuat di parlemen sehingga bagaimana pajak diterapkan sangat tergantung kepada isi kepala dan keinginan para anggota parlemen dan pemerintah, sedangkan dalam Islam ditetapkan berdasarkan nash-nash syara’.
Secara substansi pajak dalam Kapitalisme diterapkan terhadap perorangan, badan usaha dan lembaga-lembaga masyarakat, tanah dan bangunan, terhadap barang-barang produksi, barang-barang perdagangan dan jasa sehingga secara keseluruhan masyarakat dibebankan pajak secara berganda. Pajak ini diterapkan dari tingkat pusat sampai daerah dengan berbagai jenis dan nama pajak. Tentu keadaan ini sangat membebani perekonomian (inefisiensi) dan menyebabkan harga-harga barang dan jasa termasuk barang-barang kebutuhan pokok jauh di atas harga sewajarnya. Sedangkan dalam Islam pajak diterapkan atas individu (jizyah dan pajak atas kaum Muslimin), tanah kharaj, dan cukai atas barang impor dari negara yang mengenakan cukai terhadap pedagang kaum Muslimin, sehingga tidak memberikan beban ekonomi yang berat bagi masyarakat.
Jika perekonomian sedang krisis sehingga membawa dampak terhadap keuangan negara karena sumber-sumber penerimaan terutama pajak merosot seiring dengan merosotnya aktivitas ekonomi, maka negara Kapitalis menghadapi dilema apakah meningkatkan penerimaan pajak (dengan menaikan tarif pajak) supaya beban keuangan negara tertutupi tetapi beban masyarakat menjadi bertambah, ataukah memilih mengurangi beban masyarakat dengan menurunkan tarif pajak supaya perekonomian masyarakat kembali bergairah tetapi penerimaan negara menjadi turun. Namun pada akhirnya langkah yang ditempuh pemerintah dalam sistem ekonomi ini, baik dalam keadaan krisis ataupun tidak, dalam keadaan keuangan negara defisit ataupun surplus semuanya harus ditutupi dengan hutang, di samping pengurangan dan penghapusan subsidi, pengurangan anggaran untuk rakyat, privatisasi BUMN dalam rangka liberalisme ekonomi. Bagi negara-negara berkembang, sebagian besar ketidakmampuan keuangannya ditutupi dengan jalan melakukan pinjaman luar negeri. Akibatnya negara-negara kreditur dan lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan ADB termasuk IMF dapat mengontrol kebijakan ekonomi dan politik negara yang bersangkutan sehingga kebijakan-kebijakan yang lahir di negara tersebut sangat merugikan rakyatnya sendiri dan hanya memberikan keuntungan kepada negara-negara kreditur, investor asing dan swasta. Di negara-negara maju defisit anggaran selalu ditutupi dengan pinjaman domestik. Pemerintah akan mengeluarkan obligasi dan menjualnya kepada para investor dari dalam dan luar negeri. Pada akhirnya beban hutang luar negeri dan hutang domestik akan menjadi beban rakyat, karena pembayaran hutang tersebut diperoleh melalui pajak.
Sebaliknya di dalam Islam, jika keuangan negara mengalami krisis karena pos-pos penerimaan negara dari Bagian Fai dan Kharaj, Bagian Pemilikan Umum, dan Bagian Shadaqah tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban Baitul Mal, maka kewajiban-kewajiban tersebut beralih kepada kaum Muslimin. Juga akibat krisis ekonomi yang menyebabkan warga negara jatuh miskin otomatis mereka tidak dikenai beban pajak baik jizyah maupun pajak atas orang Islam sebaliknya mereka akan disantuni negara dengan biaya yang diambil dari orang-orang Muslim yang kaya. Sedangkan melakukan pinjaman luar negeri dan pinjaman domestik seperti yang dilakukan oleh negara-negara maju dan berkembang sekarang ini, menurut syara’ tidak diperbolehkan, karena utang tersebut hanya akan menyebabkan kaum Muslimin berada dalam kekuasaan asing dan para investor, serta pinjaman ini termasuk riba. Jika negara-negara Kapitalis hanya memiliki pajak sebagai sumber utama penerimaan negara, maka tidak demikian dengan Sistem Ekonomi Islam. Masih ada dua bagian sumber-sumber penerimaan di dalam Baitul Mal yang semuanya itu merupakan sumber utama penerimaan negara, yaitu Bagian Pemilikan Umum dan Bagian Shadaqah.
Sistem Ekonomi Kapitalis tidak memiliki sumber penerimaan dari pemilikan umum karena sistem ini hanya mengakui dua macam kepemilikan, yaitu pemilikan individu (private proverty) dan pemilikan negara (state proverty). Sistem ini juga menempatkan kebebasan individu dalam hal kepemilikan selama diperoleh dengan cara-cara yang sah menurut hukum Kapitalisme. Maka tidaklah aneh jika suatu badan usaha ataupun sumber-sumber ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak boleh dimiliki oleh individu dan bebas diperjualbelikan. Tidak aneh jika tambang minyak dan gas bumi, tambang emas dan tembaga, separuh hutan Indonesia (pada masa Orba hingga sekarang) dikuasai oleh beberapa konglomerat, sehingga kekayaan alam Indonesia yang merupakan bagian dari pemilikan umum tersebut jatuh manfaatnya ke tangan segelintir individu saja. Akibatnya rakyat tidak mendapatkan manfaat sama sekali dari kekayaan alam anugerah Tuhan tersebut melainkan kerusakan alam akibat eksploitasi yang tidak bertanggung jawab. Negara hanya mendapatkan tetesan kekayaan alam tersebut dari pajak ataupun dari hasil production sharing (bagi hasil) yang jumlahnya tidak seberapa dibandingkan dengan yang diperoleh individu yang memiliki pertambangan tersebut. Dan kalaupun negara ingin mendapatkan kekayaan dari pertambangan maka negara harus mendirikan badan usaha yang menggali pertambangan tersebut ataupun mengolahnya menjadi barang yang sudah jadi seperti Pertamina dan PT Timah. Akan tetapi inipun bukan sebagai bagian dari pemilikan umum, namun hanya merupakan milik negara yang sewaktu-waktu oleh negara dapat dijual kepada swasta ataupun kepada asing. Pengakuan Islam akan kepemilikan umum (Al Milkiyyah al Ammah/ collective proverty) selain kepemilikan individu dan kepemilikan negara, didasarkan pada dalil syara’ berikut: Dari Abu Khurasyi dari sebagian sahabat Nabi SAW, Rasulullah bersabda:“Kaum Muslimin itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.”
“Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan Rasulnya.”
An-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan umum itu adalah :
1. Fasilitas/ Sarana umum yang jika tidak ada pada suatu negeri/ komunitas akan menyebabkan banyak orang bersengketa untuk mencarinya, seperti air, padang rumput, jalan-jalan umum.
2. Barang tambang yang jumlahnya tak terbatas (sangat besar), seperti tambang minyak dan gas bumi, emas dan logam mulia lainnya, timah, besi, uranium, batu bara, dan lain-lainnya.
3. Sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki individu, seperti laut, sungai, danau.
Sumber penerimaan Baitul Mal dari Bagian Pemilikan Umum yang mempunyai potensi sangat besar dalam membiayai pengeluaran Baitul Mal adalah dari barang tambang dan sumber daya alam. Negeri-negeri Islam yang sebagian besar terletak di bagian Selatan bumi ini telah dianugerahi Allah SWT dengan kekayaan alam yang sangat melimpah. Anugerah ini merupakan suatu potensi yang sangat besar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kekuatan negara. Satu contoh kekayaan alam Indonesia yang jatuh ke tangan asing adalah pertambangan emas dan tembaga PT Freeport Indonesia di Irian. Menurut laporan Kompas, kawasan pertambangan Blok A yang dikuasai PT Freeport mengandung 2.615 juta ton biji batu-batuan dan dengan perkiraan kasar setiap tonnya mengandung 1 gram emas, maka paling tidak PT Freeport akan mendapatkan emas sebanyak 2.615 miliar gram emas. Jika harga 1 gram emas Rp 100 ribu, maka nilai kekayaan yang dikeruk PT Freeport dari perut bumi Indonesia setara dengan Rp 261,5 trilyun dan belum termasuk jenis logam lainnya. Jenis pertambangan yang diberikan pemerintah Indonesia kepada PT Freeport termasuk dalam pemilikan umum sehingga tidak boleh dikuasai dan dieksploitasi oleh indvidu atau swasta baik asing maupun dalam negeri. Sebaliknya ia adalah milik umat sehingga menjadi aset yang dicatat dalam Bagian Pemilikan Umum Baitul Mal, dan Daulah Islamiyah wajib (memagari dan) mengelolanya dengan baik dan hasilnya digunakan untuk kepentingan umat.
Sumber pemasukan Baitul Mal yang ketiga adalah Bagian Shadaqah. Bagian ini meliputi, pertama; zakat ternak unta, sapi dan kambing. Kedua; zakat tanaman (hasil pertanian) dan buah-buahan. Ketiga; zakat nuqud/mata uang (emas dan perak), dan keempat; zakat atas keuntungan dari perdagangan.  Zakat merupakan suatu kewajiban kaum Muslimin dan salah satu pilar dari rukun Islam. Seorang Muslim yang membayar zakat merupakan implimentasi (ibadah ritual) hubungannya dengan Allah SWT seperti halnya seorang Muslim yang melaksanakan kewajiban shalat, puasa dan ibadah haji.
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku.” (QS. Al-Baqarah: 43)
Tugas negara adalah memungut zakat dari kaum Muslimin dan mengumpulkannya di Baitul Mal pada pos Bagian Shadaqah, kemudian menyalurkannya sesuai ketentuan syara’. Jika wajib zakat menolak membayar zakat, maka negara berhak memaksanya agar memenuhi kewajibannya.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. “¦” (QS. At-Taubah: 103)
Zakat tetap dipungut oleh negara selama masih ada orang yang wajib zakat, dan tidak akan dihentikan kewajiban ini meskipun harta zakat yang terkumpul di Baitul Mal melimpah sedangkan orang yang berhak menerimanya tidak terdapat lagi di dalam negeri. Jadi fungsi negara dalam mengelola zakat semata-mata karena implimentasi ibadah ritual kaum Muslimin terhadap Allah SWT, bukan karena alasan ekonomi.
G.    KEBIJAKAN FISKAL DAN DISTRIBUSI EKONOMI DARI SISI PENGELUARAN NEGARA
Setiap pos pemasukan di dalam Baitul Mal mempunyai mekanisme masing-masing untuk dikeluarkan atau dibelanjakan oleh negara, sehingga akan mempunyai variasi dampak positif terhadap perekonomian negara dan masyarakat.
Pos penerimaan Baitul Mal dari Bagian Fai dan Kharaj harus dikeluarkan negara untuk pos pengeluaran Seksi dar al Khilafah, Seksi Mashalih ad Daulah, Seksi Santunan, Seksi Jihad, Seksi Urusan Darurat/ Bencana Alam (ath Thawaari), dan Seksi Anggaran Belanja Negara (al Muwazanah al Ammah), Pengendali Umum (al Muhasabah al Ammah), dan Badan Pengawas (al Muraqabah). Kemudian pos penerimaan dari Bagian Pemilikan Umum harus dikeluarkan untuk Seksi Jihad, Seksi Penyimpanan Pemilikan Umum dan Seksi Urusan Darurat/ Bencana Alam. Sedangkan pos penerimaan dari Bagian Shadaqah harus dikeluarkan hanya untuk Seksi Penyimpanan Harta Zakat dan Seksi Jihad.  Di dalam Sistem Ekonomi Kapitalis tidak mengenal mekanisme pemasukan dan pengeluaran keuangan dan harta negara seperti yang ada pada Baitul Mal. Setiap sumber pemasukan APBN (budget of state) tidak ada pengaturan harus dikeluarkan untuk anggaran apa saja, sebaliknya setiap sumber pemasukan penggunaannya terserah kepada pemerintah dalam membiayai belanja negara dari besaran anggaran yang sudah disetujui parlemen (DPR). Dilihat dari sisi ini saja sudah muncul kerancuan penggunaan keuangan negara dalam hal alokasi anggaran.
Sebagai contoh APBN Indonesia tahun 2002. Dari anggaran pendapatan negara sebesar Rp 301,8 trilyun, pemasukan dari pajak Rp 219,6 trilyun (72,76%) dan bukan pajak Rp 82,2 trilyun (27,24%), sedangkan belanja negara mencapai Rp 344,0 trilyun sehingga APBN mengalami defisit sebesar Rp 42,1 trilyun. Defisit ini ditutupi dengan pembiayaan luar negeri Rp 18,6 trilyun dan pembiayaan dalam negeri Rp 23,5 trilyun yang diperoleh dari privatisasi BUMN, penjualan aset BPPN dan penerbitan obligasi. Tidak ada pengaturan pemasukan dari pajak misalnya harus digunakan hanya untuk operasional negara dan pengeluaran negara yang berhubungan dengan rakyat, begitu pula dengan sumber pemasukan lainnya. Artinya sumber-sumber penerimaan negara tersebut dicampur aduk menjadi satu. Akibatnya kecenderungan pemerintah untuk mengabaikan hak rakyat untuk diurusi dan dilayani sangat terbuka. Sehingga kita bisa mengatakan berdasarkan komposisi belanja negara, bahwa 40,3% harta rakyat yang dikuras dari pajak dihabiskan negara hanya untuk membayar bunga utang obligasi bank rekap Rp 59,5 trilyun dan bunga utang luar negeri Rp 28,98 trilyun. Juga 7,6% atau Rp 16,7 trilyun digunakan untuk membayar cicilan pokok utang luar negeri. Sementara hanya 23,8% (Rp 52,3 trilyun) dana pajak yang digunakan untuk pembangunan. Dalam pembahasan kebijakan fiskal dari sisi pengeluaran negara ini, penulis akan memfokuskan pada kebijakan fiskal yang bertujuan mengatur distribusi ekonomi.  Aspek politik dari kebijakan fiskal yang dilakukan oleh khalifah adalah dalam rangka mengurusi dan melayani umat. Kemudian dilihat dari bagaimana Islam memecahkan problematika ekonomi, maka berdasarkan kajian fakta permasalahan ekonomi secara mendalam terungkap bahwa hakikat permasalahan ekonomi terletak pada bagaimana distribusi harta dan jasa di tengah-tengah masyarakat. sehingga titik berat pemecahan permasalahan ekonomi adalah bagaimana menciptakan suatu mekanisme distribusi ekonomi yang adil. Allah SWT mengingatkan kita tentang betapa sangat urgennya masalah distribusi harta ini dalam firman-Nya:
”¦Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”¦(QS. Al-Hasyr: 7)
”¦Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS. At-Taubah: 34)
Juga dalam hadits Nabi SAW: “Jika pada suatu pagi di suatu kampung terdapat seseorang yang kelaparan, maka Allah berlepas diri dari mereka.” ” Tidak beriman pada-Ku, tidak beriman pada-Ku, orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara ia tahu tetangganya kelaparan.” (Hadits Qudsi)
Karena itu, kebijakan fiskal di dalam Islam didasari oleh suatu politik ekonomi (as siyasatu al iqtishadi) yang bertujuan mencapai distribusi ekonomi yang adil, sebagaimana yang dikemukakan Abdurrahman Al Maliki, yaitu menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah/ basic needs) perindividu secara menyeluruh, dan membantu tiap-tiap individu di antara mereka dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya (al-hajat al-kamaliyah) sesuai kadar kemampuannya. Jaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer ini meliputi; pertama, jaminan kebutuhan-kebutuhan primer bagi tiap-tiap individu dan kedua, jaminan kebutuhan-kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan. Jaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer katagori pertama adalah jaminan akan sandang, pangan dan papan dan merupakan jaminan secara langsung terhadap setiap individu yang mempunyai penghasilan tetapi tidak mencukupi untuk memberikan nafkah kebutuhan-kebutuhan pokok terhadap diri dan keluarganya, atau terhadap setiap individu yang tidak memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah kebutuhan pokok terhadap diri dan keluarganya. Kebijakan ini termasuk kebijakan transfer payment karena negara memberikan secara cuma-cuma harta berupa uang atau barang kepada seseorang. Sedangkan pembiayaan pemenuhan kebutuhan primer katagori pertama ini oleh negara dianggarkan pada Seksi Santunan. Jaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer katagori kedua meliputi keamanan, pendidikan dan kesehatan. Tiga perkara ini, merupakan unsur penting bagi perekonomian. Keamanan berfungsi melindungi dan mengayomi aktivitas perekonomian masyarakat sehingga kegiatan ekonomi menjadi lancar. Pendidikan merupakan pilar yang melahirkan sumber daya manusia yang sangat dibutuhkan untuk melakukan pembangunan fasilitas-fasilitas negara dan fasilitas-fasilitas umum yang dibutuhkan rakyat termasuk yang dibutuhkan bagi aktifitas perekonomian, untuk membangun sistem pertanian, industri (termasuk industri senjata), perdagangan dan jasa yang tangguh, berkualitas dan efisien. Kesehatan merupakan unsur yang sangat mempengaruhi kinerja seseorang bagi ekonomi dirinya dan keluarganya, bagi syirkah tempat dia bekerja, bagi perekonomian masyarakat dan negara. Dalam menjamin keamanan di dalam negeri, dilakukan dengan cara menegakkan syariat yang berkaitan dengan sanksi terhadap orang yang melanggar dan memperkosa hak-hak asasi manusia. Sedangkan jaminan keamanan dari ancaman musuh di luar negeri dilakukan dengan menegakkan jihad. Pembiayaan terhadap jaminan keamanan ini terletak pada anggaran belanja negara Seksi Mashalih ad-Daulah dan Seksi Jihad.
Negara menjamin pendidikan dari tenaga pengajar (guru/dosen), tempat pendidikan dan berbagai fasilitas yang dibutuhkan untuk penyelenggaraannya. Jaminan akan pendidikan ini juga termasuk jaminan hidup yang layak bagi para guru. Pada masa Khalifah Umar bin Khatab, seorang guru diberi gaji 15 dinar setiap bulannya. Satu dinar setara dengan 4,25 gram emas, 15 dinar berarti setara dengan 63,75 gram emas. Jika harga emas sekarang Rp 100.000 per gram, maka gaji seorang guru di jaman Khalifah Umar dengan nilai uang sekarang adalah Rp 6,375 juta per bulannya. Padahal di jaman kejayaan Islam dulu, sumber-sumber ekonomi terutama dari sumber daya alam, juga produksi barang dan jasa serta perkembangan sains dan teknologi belum semaju dan sebanyak seperti sekarang ini. Akan tetapi jaminan pendidikan gratis dengan berbagai fasilitasnya, serta taraf hidup para guru jauh lebih baik pada masa Islam dibandingkan masa hegemoni ekonomi Kapitalis sekarang. Pembiayaan anggaran pendidikan ini terdapat pada Seksi Mashalih ad-Daulah.  Dari aspek kesehatan, negara berkewajiban menyediakan dokter, obat-obatan, rumah sakit dan tempat pelayanan kesehatan lainnya, serta berbagai sarana kesehatan, termasuk riset di bidang kesehatan. Pelayanan kesehatan ini diberikan secara cuma-cuma (gratis) kepada seluruh masyarakat sehingga negaralah (Baitul Mal) yang menanggung seluruh biaya kesehatan ini bukan masyarakat. Anggaran yang menangani pembiayaan kesehatan terdapat pada Seksi Mashalih ad-Daulah.
Pemenuhan atas tiga kebutuhan primer katagori kedua ini bersifat menyeluruh, artinya seluruh rakyat apakah orang miskin atau kaya, dari keluarga pengusaha atau bukan, pria atau wanita, tua atau muda, kulit hitam atau putih, Muslim atau non Muslim, memiliki hak yang sama untuk mendapatkan jaminan keamanan, pendidikan dan pelayanan kesehatan secara gratis.  Karena perkara pemenuhan kebutuhan primer ini menjadi sasaran utama kebijakan fiskal dibandingkan anggaran yang lainnya, maka khalifah tidak boleh melalaikan anggarannya di dalam Baitul Mal, sebab ia merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan negara dan merupakan hak setiap individu yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya akan pangan, sandang dan papan. Juga hak seluruh rakyat untuk mendapatkan jaminan keamanan, pendidikan dan pelayan kesehatan secara gratis. Bahkan jika Baitul Mal tidak mampu lagi membiayai anggaran ini, sedangkan perkara ini merupakan kewajiban negara terlepas apakah ada harta di dalam Baitul Mal ataukah tidak, maka kewajiban untuk membiayai anggaran perkara tersebut beralih kepada kaum Muslimin, yakni dengan berhaknya negara memungut pajak (dlaribah) terhadap kaum Muslimin yang mempunyai kelebihan harta.
Dengan satu langkah kebijakan fiskal dalam penjaminan kebutuhan primer di atas, maka negara telah membangun suatu infrastruktur ekonomi dan dengan itu terbentuklah suatu karakteristik struktur perekonomian sehingga negara telah membuka satu pintu distribusi ekonomi yang adil, karena orang-orang yang kurang memiliki kemampuan dari sisi ekonomi disantuni oleh negara dengan penjaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokoknya. Juga setiap orang mendapatkan hak yang sama dalam keamanan akan hartanya, akan usahanya (pertanian, industri dan perdagangan, jasa, dan lain-lain), jiwanya dan keluarganya. Hak yang sama akan pendidikan, sehingga semua orang pada hakikatnya memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh ilmu dan keahlian (skill). Dengan ilmu dan keahlian inilah modal dasar bagi seseorang mencari nafkah bagi diri dan keluarganya, serta untuk meningkatkan kekayaannya.  Baitul Mal masih memiliki dua instrumen dari dua sumber pemasukan negara untuk semakin mempertajam distribusi harta di tengah-tengah masyarakat. Yaitu instrumen Seksi Penyimpanan Harta Kepemilikan Umum dan instrumen Seksi Penyimpanan Harta Zakat.  Harta yang termasuk kepemilikan umum merupakan harta milik umat sehingga umat berhak mendapatkan manfaat dari harta milik umum dan tidak seorangpun yang berhak menguasai harta milik umum tersebut. Dalam memanfaatkan harta milik umum ada yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh umat seperti air, padang rumput, api, jalan-jalan umum, laut, sungai, danau dan terusan yang besar, dan ada juga yang tidak mudah memanfaatkannya secara langsung seperti minyak bumi, gas, dan barang-barang tambang. Untuk dapat memanfaatkannya, aset milik umum tersebut harus dieksplorasi dan diolah dengan usaha yang keras dan biaya yang besar. Maka pihak yang wajib untuk mengelola kepemilikan seperti ini adalah negara selaku wakil umat.
Pendapatan yang diperoleh dari eksplorasi dan produksi (pengolahan) atas harta milik umum tersebut digunakan untuk menutupi seluruh biaya operasional pengelolaannya serta dibelanjakan untuk kepentingan umat sebagai bagian dari kebijakan ekonomi negara.  Pembelanjaan dari harta milik umum ini dianggarkan dalam pos pengeluaran Seksi Penyimpanan Harta Pemilikan Umum.  Pada sisi kebijakan negara atas pemanfaatan hasil pengelolaan harta milik umum untuk kepentingan umat inilah diatur mengenai mekanisme distribusi ekonomi. Kebijakan ekonomi negara ini dilakukan berdasarkan aspek strategis dari sisi sosial ekonomi masyarakat dan keuangan negara. Bisa saja khalifah melakukan kebijakan membagikan harta milik umum seperti air ledeng, listrik, BBM, gas elpiji secara gratis (transfer payment) ke tempat-tempat tinggal ataupun tempat usaha masyarakat, atau menjualnya dengan harga yang murah (subsidi) atau dengan harga pasar. Dengan harta milik umum ini pula negara melakukan transfer payment terhadap penduduk yang mengalami musibah atau bencana alam dan dialokasikan dalam anggaran Seksi Urusan Darurat/ Bencana Alam. Perkembangan zaman dari sisi sains dan teknologi, luasnya wilayah dan besarnya jumlah penduduk serta ancaman dari luar negeri berpotensi besar menambah beban keuangan negara sehingga bisa jadi sumber-sumber penerimaan negara dari pos penerimaan Bagian Fai dan Kharaj tidak mencukupi untuk menutupi seluruh kewajiban-kewajiban Baitul Mal. Untuk menutupi kekurangan anggaran ini, sebelum khalifah melakukan kebijakan penarikan pajak atas kaum Muslimin, maka negara boleh menutupinya dari penerimaan harta milik umum sehingga jika mencukupi belanja negara, penarikan pajak tidak boleh dilakukan.  Dengan mengambil kebijakan ini, pos penerimaan dari Bagian Pemilikan Umum sebagian digunakan untuk membiayai pos pengeluaran lainnya seperti pos Seksi Dar al-Khilafah, Seksi Mashalih ad-Daulah, Seksi Santunan, dan Seksi Jihad. Dari penerimaan harta pemilikan umum, negara dapat membelanjakannya untuk membangun fasilitas-fasilitas umum yang dianggarkan dalam Seksi Mashalih ad-Daulah dan membantu perekonomian masyarakat dalam bentuk subsidi ataupun pinjaman modal di sektor pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan, industri, perdagangan dan jasa yang dianggarkan dalam Seksi Santunan.
Instrumen terakhir Baitul Mal yang berfungsi pula dalam menciptakan mekanisme distribusi ekonomi adalah zakat. Akan tetapi zakat tidak murni sebagai kebijakan ekonomi. Zakat semata-mata merupakan implimentasi ibadah ritual seorang Muslim kepada Tuhannya yang mempunyai dampak sosial ekonomi di masyarakat. Penyaluran harta zakat dari anggaran Seksi Penyimpanan Harta Zakat harus dilakukan hanya terhadap 8 golongan yang disebutkan dalam firman Allah SWT:
“Sesungguhnya zakat itu hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para “˜amilin zakat, muallaf, budak, orang-orang berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil.” (QS. At-Taubah: 60)
Karena itu, menurut Abdul Qadim Zallum, zakat tidak boleh dikeluarkan di luar delapan golongan tersebut sehingga tidak boleh harta zakat digunakan misalnya untuk membangun sarana-sarana umum, digunakan untuk kebijakan ekonomi.



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Kebijakan fiskal (suatu istilah yang baru) di dalam Sistem Ekonomi Islam bukanlah merupakan suatu hal yang baru seperti halnya dalam Sistem Ekonomi Kapitalis tetapi ia sudah dipraktekkan sejak negara Islam pertama kali berdiri.
Kebijakan fiskal dari sisi penerimaan negara didasarkan atas sumber-sumber penerimaan negara yaitu dari Bagian Fai dan Kharaj, Bagian Pemilikan Umum, dan Bagian Shadaqah. Jika sumber-sumber penerimaan negara tidak mencukupi belanja negara terutama yang sifatnya wajib, maka negara diperbolehkan menarik pajak dari kaum Muslimin untuk menutupi kekurangan anggaran negara.
Kebijakan fiskal dari sisi pengeluaran negara dilandasi oleh suatu politik ekonomi Islam, yaitu menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah/ basic needs) perindividu secara menyeluruh, dan membantu tiap-tiap individu di antara mereka dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya (al-hajat al-kamaliyah) sesuai kadar kemampuannya. Atas dasar politik ekonomi inilah negara melakukan kebijakan fiskal dari sisi pengeluaran untuk menciptakan suatu mekanisme distribusi ekonomi yang adil.







DAFTAR PUSTAKA
 Al-Badri, Abdul Aziz, Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam, (Al-Islam, Dlaaminun lil Haajaat al-Asaasiyah likulli Fardin wa Ya’malu lirafaahiyatihi), alih bahasa Tjetjep Suhandi dan Muhammad Thoha Idris, cet. VIII, (Jakarta; Gema Insani Pers, 1999).
Al-Maliki, Abdurrahman, Politik Ekonomi Islam, (As-Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-Mutsla), alih bahasa Ibnu Sholah, cet. I, (Bangil: Al-Izzah, 2001).
An-Nabhani, Taqiuddin, The Economic System of Islam, (London: Al-Khilafah Publication, 1421 AH/ 2000 CE).
An-Nabhani, Taqiyuddin, Peraturan Hidup dalam Islam, (Nizham al-Islam), alih bahasa Abu Amin dkk, cet. II, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2001).
Institute Manajemen Zakat, Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Syari’ah, Kompas, Fokus; Ketika Maling Kuras Kekayaan Negara, 16 Februari 2003
Kurnia, MR, Syariat Islam Rahmat bagi Seluruh Manusia, dalam Panitia Diskusi Publik Selamatkan Indonesia dengan Syariah, Bunga Rampai Syariat Islam, cet. I (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2002).
Samuelson, Paul dan Nordhaus, William D., Makroekonomi: Edisi Keempatbelas, (Macroeconomics: Fourteenth Edition), Alih bahasa Haris Munandar dkk, cet. IV, (Jakarta; Penerbit Erlangga, 1997).
Suparmoko, M, Keuangan Negara dalam Teori dan Praktik, cet. VII (Yogyakarta; BPFE-YOGYAKARTA, 1997).
Yusuf Qardhawi, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, (Musykilah al-Faqr wakaifa A’alajaha al-Islam), alih bahasa Syafril Halim, cet. I, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995).
Zallum, Abdul Qadim, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, (Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah), alih bahasa Ahmad S. dkk, Cet. I, (Bogor; Pustaka Thariqul Izzah, 2002).

















           









                              





Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANAN DAN FUNGSI PEMERINTAH DALAM PEREKONOMIAN

Pengaruh Pengetahuan, Religiusitas, dan Promosi Perusahaan terhadap Minat Menabung di Perbankan Syariah (Studi Kasus Mahasiswa Muslim Kota Pontianak)

Makalah Pasar dan Harga dalam Ekonomi Islam